Yuvenile yang berarti remaja. Kehidupan remaja yang penuh kebebasan, ambisi, tantangan, emosi, konflik, energik, dan banyak cerita lainnya. Gadis bernama Alula yang identik dengan poni gemas miliknya dan ia selalu mencolok dalam hidupnya. Sehingga i...
Atau ada yang mau disampaikan buat Adel dan Zalfa?
Selamat membaca!
Jangan lupa vote dan komentar terus yaaa ...
_________________________________________
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Cara bagaimana angin membawa butiran pasir hingga mengambang di udara, mungkin sama halnya dengan keinginanku untuk bisa menyingkirkan semuanya agar hanya aku yang berkuasa."
.
.
.
Pria paruh baya nampak menikmati suguhan layar televisi didepannya. Meja kerjanya sudah ia tinggalkan setelah menyelesaikan koreksi atas kertas kerja dari sekretarisnya tadi sore. Ia duduk di sofa sambil bersender sesekali menyeruput kopi hangatnya.
Terdengar langkah kaki menghampiri pria itu, "Ayah, Lula boleh bicara sebentar?" usul Alula pada Akhmar.
Pria itu menggerakkan sedikit badannya ke samping agar bisa melihat keberadaan putrinya. Ia tatap lekat-lekat. Ada apa sebenarnya yang dipikirkan oleh putrinya sehingga ingin mengajaknya berbicara empat mata.
"Hm, ada apa?" sahutnya.
Alula masih berpikir. Lima detik berlalu akhirnya Alula mengatakannya, "Yah, menurut Ayah kenapa sih kita harus terus menjadi nomor satu?"
Akhmar berpikir sejenak, lalu mengelus lembut pangkal rambut anaknya.
"Do the best and be the best. Itu cara keluarga kita dalam menyikapi kehidupan ini. Dunia di luar sana sangat kejam, Lula. Ketika kamu menjadi yang terbaik, mereka tidak akan merendahkanmu justru kamu akan yang menjadi penguasanya."
"Apalagi saat kamu nanti sudah dewasa, akan semakin banyak orang-orang yang berjuang untuk kehidupannya, ya ... cara paling terbaik adalah menjadi yang paling hebat. Tahu 'kan maksud Ayah?" lanjut Akhmar menyahuti pertanyaan dari Alula.
Gadis itu hanya mengangguk paham, sekilas tersenyum samar. Sebenarnya ia ragu, apakah dirinya akan selamanya menjadi yang terbaik. Apalagi hingga kini masih ada satu pelajaran yang belum ia kuasai, kimia.
"Jadi?" selidik Akhmar.
Alula menggeleng, "Oh, enggak papa. Oke, Lula setuju, Ayah!" sahut Alula dengan berusaha menampilkan rasa antusiasnya.
Akhmar kembali menyeruput kopi yang semula diam dia meja. Kedua matanya kembali menatap depan, menyaksikan siaran televisi tadi. Beberapa menit keduanya terdiam tanpa pembicaraan lagi. Hingga pikiran Akhmar menyahut pada informasi yang ia ketahui tadi siang dari temannya yang mengajar di sekolah Alula.