24. ISTIKHARAH

7.4K 829 42
                                    

Haiii gaeess🙋😘
Long time no see✌😆
Update lagi nih😘

Selamat membaca😘

🍀🍀🍀🍀🍀

Lamaran mendadak mas Sapta beberapa hari lalu benar-benar menyita pikiran. Membuatku nggak fokus karena terus memikirkannya. Rasanya seperti dejavu, dulu mas Ferdy juga pernah melamarku secara mendadak. Walaupun kutolak, tapi dia tetap ingin mengenalku lebih dekat, dan aku kuatir jika mas Sapta juga meminta hal seperti itu. 

Dalam beberapa hari ini juga baik mas Ferdy maupun mas Sapta bak hilang di telan bumi. Gak ada kabar beritanya. Mungkin mereka mencoba memberiku waktu untuk berpikir. 

Sebenarnya bukannya hatiku tidak bisa memilih atau tidak punya pilihan. Tapi aku hanya tidak mau terburu-buru dalam menentukan pilihan. Aku tahu hatiku mengarah kepada siapa, tapi sekali lagi aku tidak mau terburu-buru. 

Jika ada istilah hati tidak pernah salah memilih, aku setuju. Tapi akan lebih baik jika mengikuti kata hati diimbangi dengan kematangan berpikir. Apalagi untuk memilih pendamping hidup, tidak cukup hanya sekedar mengikuti kemauan hati. 

Seperti halnya menentukan pilihan antara mas Sapta dan mas Ferdy. Perlu pertimbangan dan pemikiran yang matang. Misalkan aku memilih menikah dengan mas Sapta, sebelumnya aku perlu memikirkan apakah aku akan siap mendampingi seorang prajurit yang sewaktu-waktu bisa pergi karena negara memanggilnya bertugas. Apa aku akan siap jika di saat aku sakit, hamil, melahirkan, ataupun di saat aku Membutuhkan mas Sapta di sampingku tetapi dia tidak ada karena bertugas. Begitu juga sebaliknya jika aku memilih menikah dengan mas Ferdy, sebelumnya aku juga perlu memikirkan apakah aku siap menjadi ibu bagi Adelia, apakah aku mampu menyanyangi Adelia dengan tulus layaknya putri kandungku sendiri. Aku tidak mau keraguan akan hal tersebut  kelak menjadi sandungan dalam menjalani rumah tangga. Banyak yang bilang semua itu bisa dipelajari, bisa pelan-pelan beradaptasi. Tapi bagiku belajar maupun beradaptasi butuh kesiapan, layaknya seorang murid yang berangkat sekolah untuk belajar, sebelumnya pasti mereka sudah mempersiapkan segala keperluan belajar yang dibutuhkan. 

Beberapa hari ini aku tidak hanya sekedar berpikir tapi juga ber istikharah, memohon petunjuk dari Sang Maha Kuasa. Bahkan aku sudah melaksanakan istikharah ketika ibu masih mengabaikanku. Aku berusaha sebisa mungkin apapun yang kulakukan ke depannya tidak menimbulkan penyesalan. 

Aku beranjak turun dari ranjangku lalu kelaur dari kamarku menuju ke kamarnya Sukma. 

"Geseran dikit dong" aku sedikit mendorong badan Sukma yang sedang tengkurap membaca novel dengan badanku. Kami berdua kini rebahan malas di atas ranjang milik Sukma. 

"Ck, ngapain sih mbak rebahan disini? Di kamar mbak sendiri aja sana. " protes Sukma yang dengan terpaksa menggeser badannya mepet ke tembok. 

"Nggak ah, enakan di sini aja." Kataku. 

"Sukma, bapak sama ibu belum pulang? 

" Kayaknya belum deh mbak, barusan aku ambil minum di dapur kulihat garasi masih kosong berarti bapak sama ibu belum balik."

Aku ber oh ria mendengar jawaban Sukma. Selepas maghrib tadi bapak dan ibu berpamitan mau menjenguk rekan kerja ibu yang dirawat di rumah sakit. 

"Malam banget nggak ya bapak sama ibu pulang?" 

Sukma memutar bola mata jengah. "Ya mana aku tahu mbak. Emang ada apa sih mbak nyariin bapak sama ibu?"

"Ada yang mau mbak omongin sama bapak dan ibu. Kalau pulangnya kemalaman kan nggak enak mau ngobrol, bapak sama ibu pasti udah capek."

MENIKAHI DUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang