18. MUNCULNYA SAINGAN

7.2K 783 28
                                    

Setelah mendengar perintah ibu disinilah aku berakhir, duduk di atas motor yang dikendarai oleh mas Ferdy. Mengantar snack ke rumah mbak Yana dan budhe Marti. 

Selama perjalanan tidak ada percakapan yang berarti kecuali aku yang menunjukkan arah jalan menuju rumah mbak Yana dan budhe Marti. Hanya sesekali kulihat mas Ferdy melirikku lewat spion motor. Entah kemana perginya mas Ferdy yang banyak bicara  menjawab semua pertanyaan mas Sapta sore tadi. Padahal semua pertanyaan mas Sapta ditujukan padaku tapi mas Ferdy yang menjawabnya. 

Sudah biasa aku menghadapi sikap diam mas Ferdy, semakin kesini aku mulai hapal sikap mas Ferdy. Jangan dibayangkan kita berdua naik motor dengan bercengkerama hangat duduk berdempetan, tidak ada hal seperti itu. Posisi dudukku saat ini sedikit menjarak ke belakang dengan tanganku berpegangan pada lutut ku sendiri. Untungnya sebelum berangkat tadi aku sempat mengganti gamisku dengan baju casual, celana jeans, sweater yang sedikit kebesaran dan jibab segi empat .

“Loh mas kok lewat sini?  mestinya kan kita belok kanan kalau mau pulang.” tanyaku ketika menyadari kalau mas Ferdy melajukan motornya lurus bukannya belok kanan.

“Hah?”

“Kok lewat sini sih?” tanyaku lagi dengan suara kencang.

“Hah?”

Aku berdecak kesal, terpaksa aku menggeser maju badanku lebih dekat ke arah mas Ferdy supaya suaraku terdengar. Aku menepuk bahu mas Ferdy. “Mas ditanyain kok malah hah heh aja.” kataku sewot.

“ Saya nggak dengar kamu ngomong apa, lagian kamu duduknya ke belakang banget, maju deketan kalau mau ngomong.”

“Ini juga aku udah maju deketan.”

“ Jadi kamu tadi ngomong apa?” 

“Ini kenapa jadi pelan gini laju motornya?”

“Biar saya dengar apa yang kamu omongkan. Jadi itu yang tadi kamu omongkan?”

“Bukan.”

“Apa?”

“Kok lewat sini? Harusnya kan kita belok kanan tadi kalau mau pulang. Itu yang tadi aku tanyain.” kataku di samping telinganya, karena posisiku yang tadi bergeser maju, jadi mau nggak mau kalau ngomong ya deketan gini.

“Oh itu, memang saya nggak pengen lewat situ, saya pengen keliling muter-muter dulu sebelum pulang.”

Aku memutar bola mata jengah. "Bilang dong dari tadi, diam mulu."

"Kamu nggak pegangan? nanti jatuh tahu rasa."

"Aku pegangan kok, nih." aku menepuk lutut ku.

"Pegangan sama saya, kayak gini lebih aman." Ucapnya lalu menarik tanganku dan melingkarkan di pinggangnya."

Aku terkesiap kaget dengan apa yang dilakukan mas Ferdy. Reflek aku menarik tanganku lalu menggeplak punggungnya. "Belum halal." ucapku lalu mengedarkan pandangan ke segala arah, pipiku menghangat aku salah tingkah. 

" Makanya ayo di halalkan." ucapnya dengan tenang lalu melirik ke arahku melalui spion. 

Aku terdiam, bukannya nggak mau menjawab tapi aku bingung harus menjawab apa. Aku ingin memastikan dulu ibu benar-benar ngasih lampu hijau dan restu nya. 

"Pegangan sini." ucapnya lagi, kali ini mas Ferdy menarik pelan tanganku lalu meletakkan di jaketnya.

"nggak masalah kan kalau pegangan jaket?" tanyanya dengan melirik kearahku melalui spion. Aku mengangguk dan menatap mas Ferdy lewat pantulan spion. 

MENIKAHI DUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang