Part Tiga

9.1K 914 27
                                    

Happy reading

Gama terdiam di sofa masih sambil menatap ponselnya tanpa bosan seolah benda itu yang paling menarik. Karena barusan, ia baru membalas pesan dari ibunya yang menyuruhnya pulang ke rumah. Namun, dengan alasan Gama menolak halus permintaan ibunya yang sekarang pasti tengah merajuk
Karena saat Gama mengirim pesan, tidak kunjung di balas. Bahkan saat Gama menelepon balik pun, tidak di angkat. Karena jujur, otak Gama masih ngeblank karena kejadian beberapa saat lalu. Saat ia bertemu Tasya.

*

Setelah Gama sampai ke apartemen-nya usai dari Cafe, ia langsung menemukan Tasya berada di depan pintu. Gama berjalan mendekat, namun rupanya, Tasya tidak sendirian melainkan ada sosok laki-laki yang memang Gama kenal. Namanya Dani. Gama baru akan sekedar menyapa namun Tasya buru-buru menarik lengannya.

"Kenapa nggak langsung masuk aja?" Gama bertanya karena ia sudah memberikan kode apartnya ke Tasya semenjak mereka berpacaran.

Tasya menggeleng. "Aku nunggu kamu."

Setelah pintu terbuka, Tasya segera menarik lengan Gama dan mengajaknya duduk di sofa.

"Dani diluar nggak apa-apa?"

"I--iya. Nggak apa-apa."

Gama mengangguk lalu berpindah duduk di sebelah Tasya yang langsung memundurkan badannya seolah sedang menjaga jarak. Gama mengangkat kedua alisnya, namun setelahnya ia segera mengembuskan napas pelan lalu mulai bertanya.

"kamu dari mana aja?" mulainya.

"Kenapa ngilang gitu aja nggak ada kabar? Mama kamu nyariin. Beliau khawatir nyariin anaknya dimana, sementara aku juga nggak tau pacar aku ke mana." Gama menatap Tasya yang tampak menundukan kepalanya. "Aku tanya temen-temen kamu tapi mereka pada nggak tau kamu dimana. Kamu tau nggak, gimana khawatirnya aku?"

Tasya masih belum bersuara. Perempuan itu masih menunduk seakan tidak berani menatap Gama.
Melihat dari wajah Tasya yang entah kenapa terlihat pucat, perasaan Gama yang tadinya sedikit kesal mulai melunak. Ia menatap penampilan Tasya yang berubah dari sebelumnya.

Tasya mengubah bentuk rambutnya yang tadinya panjang sepunggung dan berwarna hitam alami, kini berubah menjadi pendek sebahu dan berwarna coklat. Tanpa sadar Gama tersenyum. Ia merindukan pacarnya. Merindukan Tasya.

"Sya?"

"A--aku, aku ada urusan kemarin, Gam."

Gama mengangguk. "Sampai nggak punya waktu minimal ngabarin orang tua kamu? Ngabarin aku?"

Tasya kembali menunduk. "Maaf."

Gama menyandarkan punggungnya ke sofa. Kepalanya mendadak sakit karena ia panik saat tadi tiba-tiba Tasya mengabarinya bahwa dia berada di Appartnya. Bahkan jantung Gama sampai sekarang masih berdetak keras. Ia melarikan pandangannya ke arah Tasya yang entah kenapa-masih tampak menunduk dengan tangannya yang sibuk memainkan tali tasnya.

"Gama---"

"Aku ambilin minum dulu."

Gama beranjak ke dapur untuk mengambilkan segelas air putih untuk Tasya. Ia khawatir karena melihat wajah Tasya yang pucat, pasti ia agak kaget karena serangan dari pertanyaan-pertanyaan Gama tadi. Ia kembali sambil membawa segelas air putih untuk Tasya yang langsung diteguk oleh perempuan itu. Sesaat, Gama membiarkan Tasya yang tengah menarik napas dalam-dalam seakan sedang mengumpulkan oksigen.

"Sya, kamu nggak apa-apa?"

Tasya mengangguk. "Aku baik-baik aja," jawabnya pelan.

Gama teringat sesuatu. "Oh, ya. Dani diluar--"

Amazing AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang