Kerusuhan Datang

7.8K 564 19
                                    

Jen mengucir asal rambut ke atas ketika ada yang mengetuk pintu rumah. Padahal ini hari libur dan Jen tak punya janji dengan siapa pun. Ia hanya ingin menikmati hari libur dengan tenang, di rumahnya yang sunyi dan damai. Otak Jen hampir-hampir membeku dengan begitu banyak celotehan manusia di kafenya. Walau perempuan itu senang saat kafenya ramai pengunjung, tetap saja ia butuh menyendiri barang sehari dalam seminggu.

Matanya membeliak begitu membuka pintu dan melihat pasukan beruang berdiri di depan pintu rumah. Pasukan tiga beruang menyebalkan yang selalu membuat dia pening jika pulang ke rumah sang mama.

“Mama nggak disuruh masuk, Jen?” tegur Talita ketika Jen hanya mematung sembari melihat Sanee, Ziba, dan Agya. Ketiga adik Jen.

“Masuk, Ma,” ajak Jen. Namun, belum sempat sang mama duduk atau melangkah lebih jauh ke dalam rumah, Jen sudah menyuarakan berderet-deret pertanyaan.

“Ini kenapa bawa koper? Terus kenapa nggak bilang-bilang dulu kalau mau ke sini? Kenapa Agya sampek bawa PS-nya?” tanya Jen panik, dia punya firasat buruk saat ini. Ia memandang Talita dengan tatapan mengiba sembari menggeleng-geleng. Memohon agar apa-apa yang saat ini ia pikirkan tidak benar.

Talita menghempaskan tubuhnya ke atas sofa ruang tamu. Sanee, Ziba, dan Agya berdiri mengelilingi Talita sembari memandang ke arah Jen yang terlihat bingung.

“Duduk dulu, Jen. Mama mau ngomong,” kata Talita sembari mengeluarkan kertas berbentuk persegi panjang dan menaruhnya di atas meja.

“Bukannya kebalik ya, Ma? Harusnya Jen yang bilang duduk dulu ke Mama,” gerutu perempuan berusia dua puluh tiga tahun yang sudah tinggal di rumahnya sendiri selama setahun ini. Rumah yang ia hasilkan dari bisnisnya sendiri, mengorbankan waktu kuliah sampai molor dua tahun. Ya walau modalnya pun dari Talita.

Talita mendelik kepada Jen, membuat perempuan itu mengulum bibirnya rapat-rapat kendati masih banyak kalimat yang ingin ia utarakan, karena kunjungan pasukan beruang itu ke rumahnya. Sebab ketiga anak menyebalkan itu memang jarang sekali main ke rumahnya, enggan katanya, lebih memilih ditinggal di rumah ketika Talita mengajak ke rumah Jen.

Jen duduk dan mengambil kertas persegi panjang itu, matanya mendelik ketika mengetahui kalau itu adalah tiket pesawat ke Eropa dan tanggal keberangkatannya hari ini. Dada perempuan itu seketika sesak, dia kesal bukan main pada wanita di hadapannya karena tidak mau mendengar sarannya untuk istirahat. Lebih memilih mengganggunya dengan keluhan lelah, tetapi bersikeras tetap bekerja.

Apalagi yang mereka cari? Rumah dan tabungan ada, Jen sudah punya usaha, meski kuliahnya harus molor dua tahun demi mengembangkan usaha. Kuliah yang sudah ingin gadis itu hentikan, tetapi dicegah oleh Talita yang ingin melihat anaknya wisuda.

“Kan, Jen udah bilang, Ma! Mama harus kurangi kerjaan Mama itu.” Jen menaruh tiket pesawat yang ada di tangannya dengan mata berembun.

“Jen dengerin Mama.” Talita menyela segala ucapan yang akan dilontarkan oleh Jen, setelah rengekan yang sudah ia hapal betul di luar kepala. “Udah berapa kali Mama bilang? Mama nggak bisa berhenti sekarang, adik-adikmu masih kecil, mereka tanggung jawab Mama, Jen.” Talita mendekati Jen dan mengelus kepala anak gadis pertamanya itu, permata hatinya. Sebab Jen adalah orang yang selalu berada di sisi Talita sejak bercerai dari suami pertamanya, ayah Jen. Entah suka atau duka, Jen bertahan di sisinya walau sang ayah menawari kemewahan.

“Dulu, sewaktu kecil sampai kuliah, Jen selalu sedih lihat Mama capek sepulang kerja. Semakin sedih karena Jen nggak bisa ngapa-ngapain. Sekarang Jen udah punya usaha dan bisa bantu Mama, tapi Jen juga nggak bisa buat Mama istirahat,” lirih gadis itu sembari memeluk tubuh Talita dan menyandarkan kepalanya di dada wanita itu.

Talita paham betul kesedihan Jen. Ia mengelus punggung sang anak lembut dan menenangkannya. “Nggak sekarang, Jen. Enggak sekarang. Belum waktunya buat Mama berdiam diri. Adik-adikmu masih kecil. Makasih karena kamu udah selalu memikirkan Mama sebegitunya. Makasih, Sayang.” Talita mengecup dahi Jen. Pipi anaknya itu sudah dibanjiri air mata.

Usia Jen dan ketiga adiknya memang terpaut cukup jauh. Dengan Sanee, anak kedua Talita, adik pertama Jen, usianya terpaut sepuluh tahun. Dengan Ziba, terpaut dua belas tahun. Lalu dengan Agya, anak lelaki Talita satu-satunya, terpaut empat belas tahun.

Memang bukan adik dari satu ayah.
Suami pertama atau ayah Jen, Talita harus menceraikan pria itu karena mereka benar-benar sudah tidak bisa bersama. Hanya akan saling melukai jika pernikahan itu diteruskan. Lalu suami kedua Talita bernasib nahas ketika Agya baru menginjak usia lima bulan. Pria itu meninggal tertimpa besi dari gedung yang akan dibangunnya.

Jen menjadi saksi bagaimana Talita jatuh dan bangun menata hati. Sampai akhirnya bisa setegar ini, menjadi wanita paling memesona seantero dunia, di mata Jen. Talita berjuang untuk anak-anaknya yang masih kecil-kecil, di saat hatinya belum sepenuhnya sembuh dari luka. Wanita itu kalang kabut bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga, sekaligus mengurus keempat anaknya.

Sejak remaja, Jen sudah membiasakan diri untuk dewasa, mengurus ketiga adiknya yang masih kecil-kecil. Sehingga wajar bila dia menjadi begitu cerewet dan galak melebihi Talita. Karena tuntutan peran untuk menggantikan Talita memarahi dan mengurus ketiga adiknya. Meski ada baby sitter, pengasuhan ketiga adiknya tetap sepenuhnya ada pada Jen. Talita memakai baby sitter paruh waktu karena saat itu keuangan mereka belum stabil. Jadi ketika Jen pulang sekolah ia akan lekas pulang.

Karena itu sebetulnya yang lebih sedih di sini adalah para beruang, mereka harus rela masuk ke kandang macan. Macan yang setahun ini pergi dari kehidupan mereka dan membuat ketiganya bebas. Telinga mereka terselamatkan satu tahun ini, dan belum genap rasa bahagia itu kini harus kembali ke habitat lama.
Namun, daripada harus ke rumah Kakek dan Nenek yang ada di desa, mereka lebih memilih ikut Jen. Mereka tidak mau jauh-jauh dari tempat menyenangkan yang sudah membuat mereka nyaman.

“Kenapa nggak bilang-bilang sama Jen dulu sih, Ma? Jen, kan, bisa ngabisin waktu sama Mama dulu sebelum pergi,” rengek anak itu, masih tidak terima karena Talita tiba-tiba memberitahunya.

“Kalau Mama bilang, Mama yakin Jen bakal neror Mama dan nyuruh buat enggak pergi.” Talita menangkup wajah anak gadisnya yang sudah besar itu. Waktu cepat sekali berlalu, meski Talita masih ingin memandikan Jen seperti saat kecil dulu. Rasanya justru ia akan disemprot habis-habisan oleh mulut cerewet anaknya itu jika mengutarakan keinginannya.

“Jen, Eropa Indonesia itu deket. Kalian bisa main ke sana nanti kalau liburan. Mama juga akan pulang sesekali. Kita bisa video call. Kamu bisa tanya kesehatan Mama tiga kali dalam sehari. Mama cuma minta tolong, jagain adik-adikmu dulu ya?”

Jen cemberut, matanya beralih menatap pasukan beruang yang juga tengah menatapnya dan Talita. Sanee sudah menangis, Ziba diam saja, sedangkan Agya memandangi Talita dengan mata berkaca-kaca.

Jen berdecih dalam hati, saat ini ketiganya anteng dan terlihat lucu. Namun, lihat saja nanti, mereka akan berulah dan membuat kepala Jen pening bukan main. “Sebenernya, Jen lebih sedih karena harus teriak-teriak lagi setiap hari sih, Ma,” rengek Jen membuyarkan momen serius yang sejak tadi melingkupi mereka. Pasukan beruang itu memandang Jen tidak terima, sedangkan Talita tertawa terbahak-bahak.

Jen hanya tidak sadar, bagi Talita, dia juga sama beruangnya seperti tiga adik yang resmi ia nobatkan sebagai beruang karena selalu membuat rusuh.

**

Halo, apa kabar?
Sudah lama aku enggak post cerita apa pun di sini, tentu selain 'Jeda' ya. Di sana aku masih sesekali nulis kalau ada ide yang tiba-tiba dateng.

Semoga ada yang membaca ini dan menikmati ceritanya.
Aku berharap teman-teman meninggalkan pesan apa pun supaya aku tahu kalau ada yang membaca kisah Jen.

See you di bab selanjutnya🐱

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang