Interogasi (2)

1.9K 205 11
                                    

Handoko tidak suka dengan kehadiran Kenzo dan mengardik lelaki itu. “Ngapain kamu ke sini?” Kenzo tidak bisa menjawab hardikan itu dan mencari-cari mata Jen untuk membiarkannya tetap di sana. Jen memalingkan wajah, Arya jadi penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Jen dan Kenzo. Jen yang merasa perseteruan akan semakin memanas pun menyuruh keempat anak-anak itu untuk naik ke atas. Mereka berempat menurut tanpa membantah sedikit pun.

“Saya tanya, kamu ngapain ke sini?” tanya Handoko lagi. “Masih berani ke sini padahal jelas-jelas kamu ketahuan selingkuh? Pria macem apa yang sebenernya dipacari anak saya?”

“Maaf Om, saya ke sini buat ketemu sama Jen. Saya mau jelasin semuanya.”

Handoko maju dan mendorong tubuh Kenzo. “Nggak perlu, kamu boleh pergi sekarang juga. Nggak ada yang perlu kamu jelasin di sini.” Handoko berteriak murka pada Kenzo yang diam di tempatnya.

Jen mendekati Kenzo. “Kenzo nggak salah, Pa. Aku yang salah karena nggak pernah jadi pasangan yang baik buat dia, aku terlalu sibuk sendiri sama semua yang mau kucapai. Sampai-sampai aku bahkan kadang lupa kalau punya pacar, kalau aja Kenzo nggak sesabar itu, dia pasti udah pergi dari dulu,” bela Jen.

Arya jadi merasa kasihan pada perempuan itu. Di saat ia sedang dikhianati, tetapi tetap merasa dirinya yang salah dan tidak berhak untuk marah karena alasan selama ini tidak cukup baik sehingga Kenzo boleh berselingkuh. Agaknya, Jen memang perlu ia ajari tentang seni mencintai. Sepertinya, Arya memang harus membawa Jen ke sebuah perjalanan cinta yang sesungguhnya.

“Aku mau minta waktu buat ngobrol sama Kenzo.” Jen menarik tangan Kenzo dan membawa lelaki itu keluar dari rumahnya. Sesampainya di depan rumah, Jen melepas tangan lelaki itu. Tangan yang sering memeluknya, tangan yang selalu menarik Jen ke atas ketika terjatuh di jurang kesedihan. Tangan yang Jen pikir akan ia genggam sampai akhir. Karena dia merasa sudah menemukan pria paling sabar sedunia. Karena mau bertahan dan berkorban di sisinya yang menyebalkan ini. Namun, tenyata Jen salah, Kenzo bukan pria yang ia cari. Kenzo hanya manusia biasa.

“Jen aku minta maaf,” mulai Kenzo sembari menyentuh tangan Jen, menggenggam, dan mengecupnya berkali-kali. Melihat mata Jen selalu membuat Kenzo luluh, selalu. Kenzo merasa ia menyayangi Jen dengan amat sangat, tetapi di lain sisi juga membutuhkan sosok yang bergantung padanya dan menjadikannya sandaran paling nyaman. Jen terlalu kuat untuk itu, bahkan Jen bisa melakukan semuanya sendiri.

“Aku sayang sama kamu, Jen. Kamu tahu, kan?”

Jen masih diam dan tak mau melihat mata Kenzo.

“Aku sayang sama kamu, Jen,” kata Kenzo lirih. Lelaki itu membawa Jen ke pelukannya. Jen tak menolak, dia menikmati pelukan yang selama ini menghangatkan hatinya. Pelukan yang membuat Jen berpikir bahwa kelak, lelaki inilah yang berhak untuk menerima curahan cinta darinya di saat ia siap untuk berkomitmen.

“Kamu pulang kapan, Ken?” Satu kalimat yang keluar dari bibir Jen justru adalah pertanyaan remeh begitu. Namun, seharusnya Kenzo tahu bahwa itu berarti Jen menanyakan semua ini bermula dari mana. Mengapa, Kenzo tidak menjawab pesannya?

“Aku minta maaf karena nggak bales pesanmu, Jen. Aku terlalu malu,” lirih lelaki itu.

“Kamu pulang kapan, Ken?” tanya Jen lagi, kini air matanya jatuh. Kenzo sigap mengusap pipi kekasihnya itu.

“Aku pulang tadi pagi, Jen.”

“Kamu pulang ke mana?” tanya Jen, Kenzo agak merasa aneh dengan pertanyaan itu. “Kenapa aku nggak lihat kamu pulang? Rumah siapa yang kamu masuki, Ken? Apa kamu nemu rumah yang jauh lebih bagus?”

Kenzo terdiam, kini ia mengerti arti dari pulang yang dimaksud Jen. Dia terdiam dan tidak bisa menjawab. Jen mundur dua langkah. “Aku nggak apa-apa, Ken. Kamu nggak perlu merasa bersalah.”

Kenzo hendak mendekat, tetapi tangan Jen terangkat mengisyaratkan lelaki itu untuk tidak mendekat. Mereka saling tatap untuk beberapa saat. Kenzo yang merasa bersalah bukan main dan Jen yang mencoba untuk tidak merasa tersakiti. Karena ia toh turut andil membuat semua ini terjadi.

“Kamu di situ aja. Jelasin dari situ,” pinta Jen.

“Dia anak baru di kantorku, Jen. Tiga bulan ini.” Kenzo memulai ceritanya. “Aku nggak tahu sejak kapan, tapi perasaanku ke kamu nggak sekuat dulu. Di saat kamu nggak pernah perhatiin aku, dia dateng dengan segala perhatiannya, Jen. Aku udah berusaha keras buat nolak.”

“Tapi akhirnya kamu luluh juga,” lanjut Jen dengan senyum miris tersungging di wajahnya.

“Aku tahu alesan itu brengsek banget, di saat kamu sibuk berjuang, sibuk kerja aku justru merasa nggak diperhatiin, tapi Jen, ini yang kurasain. Aku ingin diperhatikan, aku ingin menjadi prioritas. Dia memberiku itu semua, dia bahkan bergantung sama aku Jen. Aku merasa dibutuhin,” lirih Ken.

“Aku nggak mau ngerepotin kamu karena tahu gimana stresnya kerjaan, Ken.”

“Ya, aku tahu, Jen. Aku tahu maksud kamu baik.” Kenzo meremas-remas kepalanya, dia tampak frustrasi. “Tapi aku mau hubungan yang hangat, di mana aku dibutuhin di sana. Di mana kalau nggak ada, aku dicari. Dicemburui. Aku berharap itu dari kamu selama ini.”

“Karena aku percaya sama kamu sepenuhnya,” lirih Jen.

“Aku tahu.” Kenzo mengangguk-angguk. “Aku emang brengsek, Jen. Setelah selama ini memperjuangkanmu, dalam tiga bulan aja aku dibuat lupa sama perjuangan itu.”

Air mata Jen semakin mengalir deras. Mengingat semua kenangan yang pernah terjadi di antara mereka. Pedih bergumul di hatinya, menciptakan sesak tak terkira.

“Jen ... aku nggak punya pembelaan apa pun. Aku mengakui kebrengsekanku. Maaf karena nggak bisa nepatin janji buat perjuangin kamu sampek akhir. Maaf karena aku punya rumah baru. Aku udah berusaha lepas dari dia, tapi ternyata aku enggak bisa.” Kenzo menunduk dengan perasaan berkecamuk dan rasa bersalah yang amat besar.

Jen menatap Ken hangat. Kali ini tak ada kemarahan di sana walau kekecewaan begitu pekat menggelayuti matanya. “Makasih buat sabarnya selama ini, makasih karena kamu seenggaknya sampek akhir udah jadi temen yang baik, Ken.”

“Jen,” lirih Kenzo. Ingin mendekat dan mendekap gadis itu, tetapi tak berani karena ia tak berhak. Jauh di lubuk hatinya, Kenzo menyayangkan hubungan ini berakhir, jauh di lubuk hatinya Kenzo bingung kenapa masih menyayangi Jen. Namun, Kenzo juga menyukai perempuan lain. Hati Ken sudah tidak lagi setia.

“Nggak apa-apa, aku juga turut andil bikin kamu selingkuh. Kuharap setelah ini dia bisa jadi yang terakhir.” Jen mengusap air matanya. “Dan aku berharap setelah ini kita nggak perlu ketemu, Ken.”

“Kamu pulang ya, hati-hati di jalan, Ken.”

Pedih sekali rasanya ketika ia harus membalikkan badan dan meninggalkan Kenzo beserta hubungan mereka yang juga harus ia tinggalkan. Namun, dia tak bisa memaksa sesuatu tejadi sesuai keinginannya.

Benar kata Arya, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang