Menyusun Rencana

1.5K 164 0
                                    

Ketika Sanee sudah pulang sekolah, tepat saat Lando dan Arya pamit pulang, Ziba menyambut kedatangannya dengan berlebihan sekali. Pakai kode kedip mata sampai menempel-nempel tidak jelas, membuatnya heran dan geli sekaligus. Agya diam saja, walau mengekori kedua perempuan itu.

Jen yang tidak berpikir macam-macam berkata hendak istirahat di kamar saja. Karena ia masih merasa tidak enak badan, sedangkan besok dia berharap sudah sembuh dan bisa berangkat kerja. Yang paling penting sih bisa mengantarkan ketiga beruang itu untuk berangkat sekolah, supaya tidak merepotkan Arya atau orang lain lagi.

“Kenapa sih?” tanya Sanee dengan pandangan risih kepada Ziba yang terus menempel kepadanya.

“Kita punya rencana buat minta maaf sama Kak Jen, Kak Sanee harus bantu kita berdua ya?” pinta Ziba, tumben sekali dia bersikap semanis itu pada Sanee. Biasanya Ziba punya harga diri yang cukup tinggi dan menyebalkan, bahkan walau hanya untuk berkata tolong di saat dirinya sendiri yang butuh.

“Minta maaf ya tinggal minta maaf lah, Ziba. Rencana apa coba?”

“Kita mau minta maaf dengan cara yang bikin Kak Jen terharu, ya kan, Gya?”

Agya hanya mengangguk-angguk saja, kendati dirinya juga seperti Sanee, ingin langsung minta maaf tanpa drama. Namun, setelah ia pikir-pikir lagi, tak ada salahnya membuat sesuatu yang spesial untuk Jen. Mereka toh tidak pernah menyenangkan Jen.

“Lagian kita nggak pernah ngasih Kak Jen hadiah atau kejutan gitu kan.” Agya memberikan pendapatnya untuk membuat Sanee satu frekuensi dengan mereka. Benar saja, Sanee tampak menimbang-nimbang. Remaja itu bahkan baru duduk di atas kasur dan belum mengganti baju atau sekadar menaruh tasnya di tempat yang benar, karena tadi Ziba menahan lengannya dan menarik Sanee untuk duduk.

“Gimana kalau kita buat kue aja? Jangan beli, kalau beli, kan, nggak spesial, kita bisa cari resepnya di YouTube?” saran Sanee.

“Ah, setuju,” sahut Ziba tanpa pikir panjang. Namun, Agya masih terdiam seperti memikirkan bagaimana agar rencana mereka bisa matang dengan sempurna.

“Tapi, Kak Jen, kan, di rumah terus. Gimana caranya kita buat kejutan? Terus salah satu di antara kita nggak ada yang bisa bikin kue. Terlalu bahaya, Kak.” Ziba tidak jadi senang, sedangkan Sanee ikut termenung memikirkan apa yang dikatakan Agya yang memang benar.

“Om Arya bisa masak, waktu kita di kafe Kak Jen terakhir, Om Arya yang masakin kita. Gimana kalau kita minta tolong Om Arya?”

“Kamu yakin nggak apa-apa? Kita udah banyak ngerepotin Om Arya lho,” Sanee merasa sedikit tidak enak kepada pria itu.

“Menurutku Om Arya justru bakal seneng.” Agya tersenyum penuh arti, Sanee mengerti maksudnya, sedangkan Ziba sedikit tidak rela mengaitkan Jen dengan Om Arya tampannya. Karena yang boleh dikaitkan dengan Arya seharusnya dirinya. Ah, betapa bangganya dia menceritakan kepada teman-teman sekelasnya bahwa sering bersama dengan om tampan itu.

“Nanti kita minta Kak Jen ke rumah tetangga kita yang punya anak bayi itu, kita bilang juga sama Tante kalau mau bikin kejutan buat Kak Jen supaya Kakak ditahan di sana. Terus kita buat kue sama Om Arya di rumah deh, gimana? Rencana ini dipakek kalau Kak Jen enggak ke kafe, tapi kalau pas Kak Jen di kafe sih lebih bagus.”

“Setuju.” Mereka semua sepakat, tampak senyum mengembang di wajah masing-masing. Menemukan ide baru memang menyegarkan pikiran, seolah-olah mereka akan melakukan sesuatu yang seru dan mendebarkan.

“Tapi aku nggak punya nomernya Om Arya,” ingat Ziba. Sanee dan Agya menepuk jidat mereka.

**

Esok paginya, Jen sudah siap dengan pakaian kebesarannya; kemeja dan celana jin, rambutnya juga sudah terikat sempurna seperti biasa. Ia sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk ketiga beruang yang belum juga turun. Jen memeriksa ponsel ketika teringat bahwa Kenzo belum menghubunginya lagi sampai hari ini.

Dia mengirimkan pesan kepada kekasihnya itu.

Aku udah baikan hari ini, bisa kerja lagi. Kamu gimana tugas luar kotanya? Lancar? Kapan pulang?

Hari masih begitu pagi, Jen tidak yakin Kenzo sudah bagun. Pun kalau sudah, Jen juga tidak yakin bahwa lelaki itu akan membalas. Sejak awal, mereka memang jarang berkomunikasi melalui ponsel, untung saja dulu satu jurusan kuliah sehingga kesempatan untuk bertemu jauh lebih besar.

Beberapa menit kemudian ada notifikasi masuk.

“Tumben,” kata Jen mengira kalau Kenzo membalas pesannya, tetapi ternyata bukan.

Udah baikan?

Dari Arya. Jen baru hendak membalas, tetapi sudah masuk lagi satu pesan.

Bukan apa-apa, saya cuma tanya, karena siapa tahu Sanee, Ziba, Agya butuh dijemput.

Jen tersenyum, merasakan betul bagaimana Arya berusaha menjaga perasaannya agar tidak defensif kepada pria itu. Tiba-tiba, ia jadi merasa bersalah sudah berkata jujur bahwa tidak suka dengan perlakuan pria itu sejak awal bertemu dulu.

Lagi pula, kenapa sih Arya yang dewasa dan terlihat begitu elegan dari luar bersikap cheesy sekali dengan mengiriminya kata-kata yang aneh? Apa karena faktor usia? Jen bahkan awalnya tak percaya bahwa yang mengiriminya kata-kata menggelikan itu Arya. Kontras sekali dengan usia dan penampilan pria itu.

 “Kak.”

Sepertinya Jen melamun di meja, di depan makanan yang sudah ia siapkan.

“Kak Jen masak?” tanya Ziba tidak percaya.

“Iya, ayo sarapan, nanti telat.”

Jen tampak tidak terusik dengan tatapan heran adik-adiknya, karena setahu mereka terakhir, Jen masih marah kepada mereka. Pikir Ziba dan Agya sih, walau Sanee tahu kakak mereka itu tidak marah sama sekali. Sanee duduk dengan santainya, sedangkan Ziba dan Agya duduk dengan perasaan yang makin berat oleh rasa bersalah.

“Kak, aku boleh minta nomernya Om Arya nggak?”

Jen menaikkan sebelah alisnya kepada Sanee, karena sepertinya anak itu tidak ada urusan yang berhubungan dengan Arya. Kalau Ziba dan Agya sih, Jen percaya mereka memang menyukai Arya setengah mati.

“Boleh, tapi buat apa?”

Sanee mengedikkan bahu dan menahan senyumnya. Jen tidak mempermasalahkan lebih jauh, toh mereka juga sudah dekat dengan Arya. Tidak ada gunanya melarang Sanee untuk tidak menghubungi pria itu. Jen mengambil ponselnya yang ia letakkan di sebelah kanannya, lalu mengirimkan nomor Arya kepada Sanee.

Ketiga beruang itu saling pandang dan tersenyum, rencana pertama berhasil. Padahal Agya bisa memintanya kepada Lando, tapi anak itu sejak kemarin tidak aktif nomornya. Memang Lando tidak begitu suka bermain ponsel, jadi Agya tidak bisa berharap banyak. Untung saja kakaknya tidak bertanya lebih jauh.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang