Dari pagi Jen sudah sibuk di kafenya, kemarin ia meninggalkan kafe tanpa memberitahu ketiga karyawannya. Jen tidak mempekerjakan karyawan banyak-banyak karena merasa masih mampu meng-handle sendiri. Ia suka memasak, jadi kafe justru menjadi tempat Jen bersenang-senang.
“Mbak.” Seorang karyawan masuk ke dapur, wajahnya pucat, dan matanya cekung menghitam. Dia Arimbi, mahasiswa kelas malam yang bekerja di siang hari. Sebetulnya Arimbi baru kuliah sejak bekerja di kafe Jen. Ingin menaikkan derajat hidup, kata Arimbi. Sebab Jen akrab dengan karyawannya, sehingga mereka bisa dengan bebas curhat kepada perempuan itu.
“Kenapa, Mbi?” tanya Jen khawatir.
“Aku izin boleh? Badanku nggak enak banget, Mbak.” Jen melongokkan kepalanya ke depan, melihat pengunjung tampak ramai sekali hari ini. Namun, Jen tidak ingin memaksakan Arimbi bekerja. Salah-salah, jika pingsan, ia juga yang repot.
“Kamu mau dianter ke dokter?” tawar Jen, Arimbi menggeleng.
“Aku diizinin pulang cepet aja udah seneng Mbak, istirahat di rumah sehari, besok pasti sembuh. Ini semalem karena kehujanan aja, makanya pusing.” Jen paham betul bagaimana rasanya menjadi mahasiswa, walau Talita sudah bangun dari keterpurukan ekonomi ketika ia kuliah. Namun, Jen tetap berusaha mengontrol keuangannya agar tidak boros.
Karena ia sadar diri belum bisa menghasilkan uang sendiri. Jen bahkan kerap melewatkan makan siang hanya demi menabung untuk membeli ponsel, karena ponselnya sudah sering mati dan dia tidak bilang kepada Talita. Hal-hal kecil yang membuat Jen tangguh sampai hari ini.
Jen mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan, mengulurkannya pada Arimbi. “Ini, buat beli makan, makan makanan yang kamu suka, yang banyak. Aku tahu kamu semalem enggak makan lagi, iya kan?” Sebetulnya Jen miris, ia ingin menyuruh Arimbi untuk tidak mengirit makan. Padahal bekerja di kafe tempat makanan melimpah ruah, tetapi Arimbi justru kurus kering.
“Ya kalau lagi kerja makan, Mbak. Kan makan di kafe.” Arimbi masih sempat-sempatnya terkekeh. “Kalau beli, kadang sayang-sayang uangnya. Buat fotokopi aja kadang ngelebihin uang makan sehari.” Karena dua dari tiga karyawan Jen adalah anak kuliahan, ia tidak melarang karyawannya untuk makan siang di kafe.
“Makasih ya Mbak Jen, padahal nggak perlu dikasih uang juga,” kata Arimbi tidak enak. Jen hanya mengangguk dan menyuruhnya lekas pulang.
Setelah Arimbi pergi, Jen jadi punya dua tugas, yaitu memasak dan mengantarkan makanan ketika dua karyawan lainnya sedang sama-sama sibuk. Karena satu karyawannya memang khusus untuk kasir, satu untuk mengantar makanan, dan satu untuk membantunya dan membantu bagian depan mengantar makanan, yang ini tugas Arimbi.
Jen bahkan lupa jika waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia lupa bahwa sekarang sudah masuk waktu menjemput dua beruang, yang saat ini sedang menghentak-hentakkan kakinya di depan gerbang sekolah menunggu Jen.
“Kakak ke mana sih!” Ziba berdecak kesal, tubuhnya tak bisa berhenti bergerak-gerak. Sedangkan Agya tampak murung di sebelahnya. Ingin segera pulang dan bisa main game, begitu pikirnya tadi. Namun, Jen merusak rencananya.
“Kenapa Agya? Kak Jen belum jemput kalian lagi?” tanya Arya yang tiba-tiba datang dari arah belakang, setelah menjemput anaknya dan mengobrol sebentar dengan wali kelas.
Ziba yang tidak ditanya mengangguk-angguk. “Iya nih Om, padahal udah laper banget,” kata anak itu cemberut sembari memegangi perutnya. Padahal Ziba yang paling kurus di antara empat saudaranya, tetapi makannya paling banyak. Rambutnya juga paling beda, sedikit bergelombang, anak Talita yang lain berambut panjang, hitam, dan lurus. Bahkan memiliki bentuk mata bulat besar, bukan sipit seperti Ziba.
Dari mana Ziba mendapatkan bentuk fisik itu? Talita sendiri tidak tahu dan heran.
“Kalian laper? Mau makan dulu nggak sama Om?”
Agya dan Ziba saling berpandangan, lalu muncul ide di kepala mereka. “Kalau anterin ke kafe Kak Jen aja gimana Om? Kita makan di sana?” Ziba mengedip-ngedipkan matanya pada Arya, berusaha memperlihatkan wajah semanis mungkin. Agya berdecak kesal dan memukul lengan Ziba supaya tidak genit-genit.
“Yang ada Om Arya malah takut kalau Kak Ziba ngedip-ngedip gitu, takut kumat di dalam mobil.” Lalu Arya dan Lando terkekeh. “Kalau Om Arya nggak bisa nggak apa-apa. Kita nanti bisa naik taksi ke kafe Kak Jen,” kata Agya.
“Om enggak ada kerjaan habis ini, bisa nganterin kalian dulu. Yuk berangkat sekarang,” ajaknya. Mereka berempat masuk ke dalam mobil, Agya dan Ziba duduk di belakang. Agya menunjukkan jalan menuju kafe Jen walau sebetulnya Arya bisa mencari jalannya lewat Google Maps.
Mereka sampai di kafe yang lagi ramai-ramainya, bahkan lahan parkir juga penuh. Arya harus mencari tempat parkir lain setelah menurunkan tiga anak sekolah dasar itu di depan pintu kafe. Baru kemudian menyusul mereka yang menunggu Arya untuk masuk bersama-sama.
Arya membukakan pintu untuk ketiga anak itu, lalu matanya memindai seluruh sudut kafe. Menemukan Jen sedang beramah tamah dengan pelanggan sebelum kemudian lari ke belakang untuk memasak pesanan mereka. Dua karyawan lainnya juga tampak sibuk, yang satu mengantarkan pesanan, yang satu lagi membersihkan meja kosong dengan piring bertumpuk-tumpuk untuk pelanggan yang baru datang.
Arya baru tahu, ternyata maksud dari kerja di kafe oleh Jen adalah bekerja di kafenya sendiri. Ia pikir, Jen bekerja di kafe sebagai karyawan.
Arya melihat meja yang hendak ditinggal oleh pelanggan. Buru-buru mengajak ketiga bocah itu untuk mendekat ke sana. Merapikan piring-piring dengan menumpuknya menjadi satu, membuang beberapa sampah, dan mengelap meja yang kotor dengan tisu. Lalu membuang tisu itu ke tempat sampah.
Arya memesan makanan ketika karyawan Jen menghampiri meja mereka. Tidak mau mengganggu Jen yang sedang sibuk bekerja. Agya dan Ziba juga tahu diri untuk tidak menimbulkan kekacauan sekarang.
Pria itu bahkan mengambil sendiri pesanannya. “Biar saya aja, Mbak.” Pada saat Arya mengambil pesanannya, saat itu pula Jen melihatnya. Perempuan itu mengernyitkan dahi dan menghampiri pria itu.
“Mas Arya kok bisa di sini?” tanyanya penasaran.
“Iya, sama anak-anak, makan, mereka laper.” Jen melihat meja yang ditunjuk Arya dengan dagunya. Melihat Agya dan Ziba yang tengah menatapnya kesal, kemudian Jen menepuk dahinya karena hari ini lupa lagi untuk menjemput dua beruang itu. Jen merasa tidak enak hati, bukan karena ditatap Agya dan Ziba dengan penuh intimidasi, melainkan tidak enak hati karena Arya jadi kerepotan untuk kedua kalinya.
“Mbak, pesenannya mana?” Karyawan Jen berteriak pada Jen yang diam di tempat sedangkan pelanggan sudah menunggu pesanan mereka.
“Nanti tunggu di ruanganku ya, Mas. Jangan pulang dulu.” Jen bergegas masuk ke dapur dan menyiapkan pesanan pelanggannya. Ia jadi memikirkan kata-kata Arya yang pria itu kirim lewat pesan kemarin. Bahwa mereka akan saling berinteraksi setelah hari itu. Jen sadar bahwa yang membuka jalan interaksi itu adalah dirinya sendiri, kepikunannya. Sehingga dia tidak bisa menolak juga.
**
Aduh, ini aku baper sama Mas Arya pas baca ulang. Efek status single kalik ya. Hiks.Hai, apa kamu suka bab ini? Jika iya yuk tunjukkan tanganmu😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...