Setelah putus

2.6K 216 2
                                    

Usai memergoki pacar anaknya selingkuh, Handoko pamit pulang esok harinya, padahal ia ingin berbincang dengan Jen dan menasihati anaknya itu. Namun, Jen dengan lirih berkata, “Papa nggak perlu mengkhawatirkanku, Papa juga nggak perlu mencoba melakukan sesuatu buatku karena Papa, kan, enggak kenal aku. Lagi pula, Pa, aku sejauh ini di sini bukti kalau aku cukup tahu apa yang harus kulakuin.”

Sejak hari itu Jen menghabiskan hari seperti biasa, memasak, membangunkan adik-adiknya, dan mengantar sekolah. Ia juga menyiapkan makan siang mereka untuk dihangatkan saat pulang sekolah, sorenya mereka bisa memesan makanan, Jen sengaja mengisi saldo aplikasi pesan makanan Sanee. Selain itu yang berubah hanya Jen pulang lebih larut.

Arya sampai jarang sekali bisa bertemu perempuan itu, pria itu mulai resah, rindu sekali melihat Jen dengan segala ekspresinya. Dia turut sedih karena Jen dikhianati begitu oleh Kenzo, dia tidak senang meskipun kini status Jen sudah tidak menjadi pacar siapa pun. Daripada perempuan itu yang memendam sedih seperti ini, Arya lebih suka statusnya yang mengejar pacar orang.

Ini sudah tiga minggu sejak perempuan itu mulai sulit ditemui, kali ini Arya sudah tidak bisa menahan rasa rindunya. Maka, dengan tekad yang bulat dia memberitahu ketiga adik Jen dan Lando bahwa mereka malam ini harus makan malam tanpa dirinya. Walau dia tidak bilang apa alasannya tidak bisa menemani anak-anak makan. Karena Arya akan mendatangi Jen, jika perempuan itu menghindar maka dialah pihak yang harus menghampiri. Tiga minggu pasti sudah cukup untuk Jen mengambil waktu sendirian.

Sesampainya di kafe Jen, Arya disambut oleh ramainya pengunjung yang rata-rata sepasang kekasih, ya walau ada juga orang tua dan anak, tetapi lebih didominasi oleh anak-anak muda. Pria itu langsung menuju dapur, tiga karyawan shift dua Jen menatapnya bingung, tetapi mereka tentu tidak akan pernah melupakan wajah tampan yang memasak untuk bos mereka.

Jen terkejut melihat Arya masuk ke dapur kafenya, matanya membola, tetapi sebisa mungkin menguasai diri.

“Hai, Jen,” sapa Arya mendekat pada perempuan itu.

“Hai?” Jen bingung kenapa Arya datang dan berkata hai seolah kedatangannya sesuatu yang sudah biasa lantas tidak perlu dipertanyakan.

Arya mengambil celemek dan memasang ke badannya. “Saya mau bantu kamu, lanjutin masak nanti pelangganmu protes kalau kelamaan.”

Jen mulai memasak kembali, tangan dan tubuhnya sibuk. “Kenapa Mas Arya ke sini?”

Arya tidak menjawab sampai beberapa saat lamanya sehingga membuat Jen menoleh. “Mas?”

“Saya nyari alasan buat ketemu kamu, tapi nggak ada. Boleh nggak kalau saya mau ketemu kamu tanpa alasan, Jen?”

Jen menggeleng dan mengembuskan napas berat, ada-ada saja pria itu. Ya mau dijawab apa juga kalau kenyataannya Arya sudah ada di sampingnya seperti ini? Maka mau tidak mau daripada sibuk bingung dan bertanya, Jen memanfaatkan tenaga Arya dengan baik. Perempuan itu menyuruh Arya mencuci sayuran, memotong, dan mengantarkan pesanan.

Dua jam yang terasa sangat panjang akhirnya selesai, kafe sudah memberi tanda tutup di depan pintu walau ada beberapa pelanggan yang masih makan. Karyawan Jen sedang mencuci piring dan membersihkan kafe, sedangkan Jen duduk di kursi yang ada di depan kafe dengan Arya. Es kopi menjadi teman mereka.

Arya tidak mengusik kebisuan Jen, sesekali ia melirik perempuan itu yang sedang memperhatikan jalan dengan banyak kendaraan itu. Seolah di sana ada pertunjukan yang sangat menguras perasaan. Jen mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya dengan berat hati menoleh kepada Arya.

“Saya biasanya di sini sampek malem.”

Arya mengangguk.

“Sebetulnya saya nggak mau diganggu, tapi ternyata ada Mas Arya di samping saya begini rasanya ... tenang.”

Jen tersenyum, senyum yang sangat memukau di mata Arya sampai pria itu tidak merespons apa-apa terhadap kalimat Jen barusan. Dia seperti ditarik paksa ke dimensi lain yang penuh rasa manis.

“Makasih karena Mas Arya nggak punya alasan ke sini, karena Mas Arya nggak tanya apa-apa.” Jen tersenyum miris, “Sebetulnya saya takut kalau-kalau ada yang tanya hubungan saya sama Kenzo.”

“Saya takut karena nggak tahu harus jawab apa. Karena ... saya sendiri enggak tahu gimana perasaan saya sekarang ini. Rumit.” Jen menunduk dan memainkan jari-jarinya.

Arya mengulurkan tangannya dan menepuk pundak Jen pelan, perempuan itu mengangkat wajahnya dan tersenyum. Arya kali ini membalas senyuman itu, ia tidak rela dirinya terseret ke dimensi lain saat ini walau rasanya seperti ingin terbang karena perlakuan manis Jen, sebab yang harusnya ia lakukan adalah menyadari keberadaannya di sini, di sebelah Jen.

“Kamu enggak perlu jelasin apa pun ke siapa pun, Jen. Asal kamu tahu cara keluar dari perasaan nggak bagus itu.”

Jen mengangguk. “Selama ini Kenzo yang selalu ada buat saya, selalu dateng ke saya lebih dulu walau dia tahu kadang saya bisa lupa sama apa pun termasuk dia. Saya kira saya udah ketemu sama laki-laki yang sabar dan menerima saya apa adanya, saya mengira kalau Kenzo yang nanti akan jadi pasangan saya. Saya mengira kalau dia akan selalu jadi dia di sisi saya. Saya lupa, Kenzo cuma manusia. Dia pasti capek selama ini bertahan sama saya yang seperti ini.”

“Hei-hei, jangan begitu Jen. Saya tahu kok kamu sekarang lagi di fase bertanya-tanya apa yang salah sampai sesuatu yang kamu jalanin enggak berhasil. Tapi coba lihat di sebelah kamu ini, Jen, saya bukti kalau kamu enggak seburuk apa yang ada di kepalamu.”

Jen terkekeh geli, “Dulu Kenzo juga segigih itu, tapi sekarang Mas Arya tahu, kan?”

Arya tidak bisa menjawab apa yang dikatakan Jen, karena mau berkata seperti apa pun Jen tetap akan berpikir seperti apa yang dia mau. Arya hanya memandang perempuan itu yang juga memandangnya.

“Oh, maaf, saya nggak bermaksud bilang kalau Mas Arya juga tipe laki-laki yang kayak gitu. Ini masalah saya sama kepercayaan diri saya aja.” Jen berkata tidak enak.

“Nggak apa-apa, Jen.” Arya membuang pandangan, melihat kendaraan yang tidak pernah ada habisnya lewat di depan kafe Jen. “Sebagai orang yang punya bisnis sendiri, saya tahu kamu paham kalau kita memukul rata satu kegagalan sebagai kegagalan selamanya, maka kita nggak akan ada sampai saat ini.”

Jen diam, dia seperti disadarkan oleh sesuatu.

“Nggak ada yang salah dari diri kamu. Orang yang mau pergi ya karena dia mau, dia nggak bisa jaga hatinya, kenapa harus kamu yang merasa punya andil di sana? Saya yakin kamu enggak secuek itu kok, kenapa? Karena saya lihat sendiri.”

Jen diam-diam tersenyum, Arya tidak tahu tentu, dia sibuk melihat jalan raya. Perempuan itu berdiri dan menepuk pahanya beberapa kali sembari mengembuskan napas panjang.

“Pulang?” tanya Jen kepada Arya yang mendongak menatapnya, pria itu mengangguk dan berdiri. Mereka mengambil barang masing-masing di dalam kafe kemudian pulang bersama-sama walau dengan mobil yang berbeda.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang