Sepulang dari jalan-jalan dan belanja, Sanee, Ziba, dan Agya menghempaskan tubuh mereka ke atas sofa. Tampak lelah padahal mereka hanya jalan-jalan di dekat rumah saja, bahkan lebih sering berhenti karena banyak yang bertanya-tanya tentang ketiga beruang itu. Mereka pun lebih banyak jongkok atau duduk di pinggir jalan daripada berjalan.
“Lemah,” celetuk Jen, mereka bertiga berdecak kesal pada kakak mereka. Jen langsung menuju dapur dan menaruh belanjaannya di sana, menuang air, menarik kursi, lalu minum. Menarik napas sejenak baru kemudian mulai memasak.
Butuh waktu sekitar satu jam untuk memasak semua, tetapi Jen masih tetap bisa sembari mendengarkan lagu atau scroll media sosial ketika menunggu ayam ungkepnya empuk. Matanya melihat tiga beruang yang sedang tiduran di ruang tamu, ia menggeleng-geleng heran.
Betapa lemah dan manjanya anak zaman sekarang itu, hanya jalan beberapa langkah saja sudah tepar. Bagaimana kalau jam olahraga? Kalau diingat-ingat kembali, dulu saat ia masih sekolah pun rasanya benci sekali dengan olahraga. Sekarang? Menjadi kebutuhan yang amat penting baginya, agar mendapat tidur yang berkualitas dan energi yang baik sepanjang hari. Supaya tahan di dapur berjam-jam.
Setelah masakannya sudah siap semua dan waktu menunjukkan pukul delapan lebih, Jen memanggil ketiga adiknya. Mereka semua tentu tahu untuk apa Jen memanggil diiringi dengan semerbak bau harum yang menggugah nafsu makan.
“Yeay,” teriak Ziba senang sekali. Mendadak lupa kekesalannya pada Jen. Mereka duduk dengan tertib di kursi masing-masing, Jen senang jika ada yang menyukai masakannya, karena itu dia tersenyum lebar sekali. Bukan senang ketika melihat tiga beruang itu senang, tentu bukan.
Beberapa menit kemudian, bel rumah berbunyi. Jen mengernyitkan dahi, siapa yang bertamu di hari Minggu? Kenzo? Rasanya bukan, pria itu habis begadang semalaman menyelesaikan tugas kantor yang dibawanya pulang. Bukan hal yang aneh bagi lelaki itu untuk memiliki pekerjaan yang jauh lebih banyak daripada teman-temannya. Entah bagaimana, bagi Kenzo itu justru adalah bentuk percaya atasan kepadanya. Agar segera dapat kesempatan promosi, katanya.
Jen berdiri dan keluar untuk melihat siapa yang datang, di saat adik-adiknya bahkan pura-pura tidak mendengar agar Jen tidak menyuruh mereka membukakan pintu. Lagian mereka sudah lapar, membuka pintu hanya akan menunda cacing-cacing di perut mendapat jatah makan. Apalagi sedari tadi, terutama Sanee, perutnya sudah berbunyi terus.
Perempuan itu membuka pintu rumah dan melihat Arya sedang tersenyum sambil menggandeng Lando. Anak kecil itu nyengir sambil menunjukkan gigi-giginya dan melambai pada Jen. “Halo, Tante. Selamat pagi,” sapa anak itu.
“Iya pagi, Lando,” jawab Jen setengah hati, tak mungkin mengabaikan sapaan anak semanis Lando yang ceria dan ramah pada sesama. “Udah tau pagi ngapain ke rumah orang,” lirih Jen yang masih didengar oleh Arya, tetapi tidak didengar oleh Lando yang sibuk mengintip rumah Jen. Arya terkekeh dan membiarkan perempuan itu beranggapan dia tidak mendengar apa-apa.
“Ada perlu apa Mas Arya ke sini?” tanya Jen tanpa basa-basi.
“Ini saya enggak disuruh masuk dulu, Jen?” Arya sengaja menjebak perempuan itu agar tidak bisa melarang mereka masuk.
“Em. Oke, masuk dulu.” Lando senang dan langsung lompat masuk ke dalam, Arya mengikuti, baru kemudian Jen masuk dan menutup pintu rumahnya. Dia mengembuskan napas berat sampai membuat Arya menoleh.
“Kenapa, Jen?” tanya Arya.
Jen membelalak dan menggeleng. “Nggak apa-apa, bukan apa-apa,” jawab Jen. Arya ber-oh ria dan melanjutkan jalannya, dia duduk di sofa ruang tamu tanpa disuruh, sedangkan Lando sudah lebih dulu masuk ke ruang makan menghampiri Agya dan Ziba.
“Jadi, Mas Arya ada apa ke sini?” tanya Jen lagi.
“Bener-bener to the point ya, Jen?” Jen mengedikkan bahu seolah berkata bahwa begitulah dia, mau bagaimana lagi memangnya, kan?
“Lando merengek dari tadi malem, minta maen ke sini. Saya udah berusaha supaya kami enggak perlu ke sini, tapi dia tetep aja mau ke sini. Saya nggak bisa apa-apa, Jen. Saya hanya seorang ayah yang kalah dari anaknya, tolong maklumi saya ya?” pinta Arya sembari menunjukkan wajah sedih, hal yang sama sekali tidak cocok dilakukan pria dewasa. Namun, itu tidak mengurangi kadar ketampanan Arya.
“Oke. Tapi Mas Arya nggak di sini, kan? Pulang dan nanti jemput Lando, kan?” tanya Jen berusaha membuat pria itu sadar, bahwa perempuan itu tidak nyaman jika Arya tetap di sana dalam waktu yang lama.
“Om Arya, sini, ayo sarapan bareng,” teriak Ziba dari ruang makan membuuat Jen harus mengembuskan napas agar tetap bersabar. Dia menepuk dahinya dan mendengkus. Padahal niatnya mengusir Arya.
“See?” tunjuk Arya dengan tangannya. “Adik kamu pengen saya ada di sini. Maaf, Jen, kayaknya Minggu ini bakal kita habiskan berdua. Nggak apa-apa, kan? Supaya saya semakin mengenal kamu dan kamu semakin mengenal saya. Kalau udah kenal, siapa tahu kamu suka,” celoteh Arya yang membuat Jen kesal.
“Udah mabuk aja pagi-pagi,” kata Jen dan berlalu dari hadapan Arya lebih dulu.
“Mabuk cinta bukan? Kalau iya, seratus buat Jen karena udah jawab bener dan seratus buat Jen karena udah buat saya mabuk cinta,” kata Arya pelan saat berhasil mensejajarkan tubuh mereka. Jen mempercepat langkahnya dan duduk di kursinya. Sengaja, agar Arya tidak kebagian tempat duduk sebab kursi yang kosong tempat Talita biasa duduk saat ini diduduki Lando.
Jen tersenyum senang. Ia merasa menang.
Ziba melihat kursi yang semuanya sudah penuh. “Om Arya nggak dapet tempat duduk ya?” tanyanya, kemudian dia mendapatkan ide untuk mengambil sebuah kursi yang ada di dekat jendela—biasa Jen gunakan untuk mengganti korden rumah—mengangkatnya dengan susah payah agar Arya bisa duduk.
Sebegitu terpesonanya Ziba kepada Arya, sehingga mengusahakan yang terbaik untuk pria yang menyukai kakaknya itu. “Duduk di sini, Om,” suruh Ziba kepada Arya untuk duduk di kursi yang sudah ia ambilkan.
“Terima kasih, Ziba.” Arya mengelus kepala anak itu sehingga membuat Ziba tampak merona dan tersenyum malu-malu.
“Sama-sama, Om,” jawabnya manja.
Jen yang melihat hal itu kesal sekaligus geli dengan tingkah genit adiknya. Sebetulnya, Ziba ini keturunan siapa sih? Talita yang anggun luar biasa bisa memiliki anak seperti Ziba yang seperti cacing kepanasan bergerak-gerak ketika disiram air garam.
Kali ini, Arya yang melihat Jen dengan tatapan menang. Menyenangkan sekali memiliki kubu pendukung seperti Ziba. Ia jadi tidak perlu susah payah mendekati Jen. Sebab ketika Arya mendekat selangkah saja, kubu pendukungnya akan menyambut dengan berlari.
Jen harus siap-siap untuk kalah dari pertarungan ini. Karena Arya sudah mendapat pintu masuk yang amat sangat cukup untuk menjadi bagian dari keluarga ini. Tinggal bersabar dan berusaha sebentar untuk mendapatkan hati Jen saja. Lalu, mission complete. Arya yang akan benar-benar memenangkan pertarungan dengan telak.
“Kak Jen, Om Arya nggak diambilin piring? Tamu harus dijamu loh kata Mama. Om Arya juga harus sarapan sama kita,” celetuk Ziba.
Sanee yang melihat kakaknya seperti tidak senang dengan kehadiran Arya pun mengalah dan berkata, “biar aku aja yang ambilin nasi buat Om Arya.”
“Oh, makasih Sanee,” kata pria itu.
“Sama-sama, Om.”
Ziba berdecih kepada Jen. “Gimana sih, Kak. Nggak sopan banget sama tamu.”
“Kan, udah diambilin Kak Sanee, Ziba. Terus Kakak harus apa?” tanya Jen tidak terima.
“Kamu bisa buatin saya kopi sebagai bentuk menjamu tamu kamu ini,” jawab Arya tak kalah cepat dari bibir Ziba yang seperti kereta kalau sudah berbicara. Jen mengembuskan napas dan memutar bola matanya malas. Menyebalkan sekali hari Minggunya semenjak pasukan beruang itu ada di rumah dan mulai mengenal Arya.
**
Mianhae, aku menghilang lama sekali :(
Aku akan publish beberapa setelah ini ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...