Talita menelepon anak-anaknya yang lain. Dia ingin mendengar kabar mereka, walau tidak bisa melihat ketiga anaknya yang lain secara lengkap karena Sanee pasti belum pulang. Wanita itu menelepon Ziba, tetapi tidak diangkat, lalu menelepon Agya, dan baru pada panggilan kedua diangkat oleh anak itu.
Panggilan Video itu menunjukkan kondisi kamar Agya yang hari ini sedikit berantakan dari biasanya. Ada tas dan seragam di atas tempat tidur Agya, lalu ada suara anak laki-laki lain, Talita tahu betul itu bukan suara Agya.
Saat ini panggilan videonya sudah diangkat, tetapi yang terlihat justru atap kamar. Sedangkan Agya terdengar sibuk berteriak-teriak, sedang bermain game.
“Kalau kamu angkat telepon Mama yang bener, Mama suruh Kak Jen buang semua game kamu ya Agya!” ancam Talita. Lalu atap kamar anaknya bergoyang-goyang, menandakan bahwa ponsel itu kini sedang dipegang oleh seseorang. Muncul sebuah wajah, tetapi bukan wajah Agya, melainkan wajah seorang anak lelaki, berkulit cokelat terang bersih dengan rambut lebat dan mata yang indah. Talita langsung jatuh cinta pada mata anak itu, mirip seseorang pikirnya. Namun ia lupa, di mana pernah bertemu wajah seperti itu.
“Maaf Tante, Agya lagi fokus banget. Lima menit lagi dia udahan, nggak apa-apa ya, Tan?” kata anak itu dengan wajah yang sopan dan manis. Benar, dia mirip seseorang.
“Kamu temennya Agya ya, Nak?”
Lando mengangguk-angguk. “Namaku Lando, Tan. Tante pasti Mama Agya ya?”
Seseorang menyenggol bahu Lando, itu Ziba yang sedang membaca komik bawaan Lando dari rumah. Bocah itu pernah berjanji untuk membawakan Ziba komik yang banyak dan hari ini ditepatinya. Lando menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa?” tanyanya dengan tanpa suara.
“Kamu panggil Kak Jen tante, kamu juga panggil Mamaku tante. Emang umur Kak Jen sama Mamaku samaan apa?” protes Ziba tak terima. Aneh saja mendengar Lando memanggil Jen dan Talita sama-sama dengan sebutan tante. Bayangkan saja kalau mereka bertiga berada dalam satu tempat yang sama, bukankah aneh?
“Terus panggil apa? Aku nggak tahu, masak Nenek?” Ziba mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada dagu, seolah sedang memikirkan ide yang genius untuk masalah urgent ini. Namun, keburu Agya menceletuk sembari mencubit pipi Ziba gemas.
“Udah bener panggil Nenek. Mau panggil apa lagi? Bude?”
Ziba menyorot Agya dengan tatapan tajam sembari berdesis dan membalas cubitan di pipi anak lelaki itu. Namun, Agya seolah tidak merasakan apa-apa, ia diam saja, lalu mengambil ponsel dari tangan Lando. Sedangkan Talita yang mendengar perdebatan harus memanggil apa itu hanya menggeleng-geleng. Pasalnya ia tidak peduli dipanggil apa saja asal yang sopan.
“Halo, Ma.” Muncul wajah Agya, membuat senyum mengembang di bibir Talita. Entah bagaimana, Agya selalu bisa meneduhkan hatinya. Anak yang super sensitif itu terkadang jauh lebih dewasa daripada ketiga kakaknya. Agya itu anak yang selalu berusaha menghindari konflik sebisa mungkin. Karena itulah anak laki-laki satu-satunya itu kadang bersikap acuh.
“Halo, Sayang. Anak Mama udah gede ya baru ditinggal berapa minggu.”
Agya terkekeh, kekehan yang mirip sekali dengan ayahnya. Hal yang kadang-kadang membuat Talita harus menahan napas karena merasa diingatkan kepada mendiang suami. Seolah suaminya itu sedang berkata bahwa selamanya benar-benar akan membersamai Talita meski raga tak lagi bersama.
“Mama mulai,” celetuk Ziba geli.
“Nggak boleh gitu, Ziba.” Lando mengingatkan Ziba sembari merapikan beberapa komik yang sudah selesai anak perempuan itu baca.
Agya mengabaikan kedua orang yang sedang saling adu tatap itu, memberikan atensi sepenuhnya pada Talita. “Mama mau berangkat kerja?” tanyanya. Talita mengangguk lalu memperlihatkan tasnya yang penuh dengan berkas dan laptop kepada Agya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...