Sesaat setelah Arya dan anaknya pulang, Jen tampak mengembuskan napas lega. Namun, ternyata pertarungan belum selesai, Ziba dan Agya menatap dengan penuh intimidasi. Mereka berdua menatap Jen dan Kenzo bergantian, lalu tanpa berkata-kata naik ke atas dan masuk ke kamar.
Kenzo mengulum bibir dan mengedikkan bahunya kepada Jen. Dia merasa tidak diterima oleh adik-adik Jen. Terlebih karena dirinya, Jen lupa untuk menjemput mereka berdua. Kesan pertama yang buruk sekali.
Di dalam kamar Agya yang tampak rapi dengan barang-barang tertata tepat di tempatnya—tidak seperti kamar Ziba yang pastinya akan berantakan, karena itu Agya memilih mengajak Ziba ke kamarnya—anak lelaki itu mengambil ponsel yang tadi pagi ia taruh di atas meja belajar, lalu menghidupkannya.
“Kamu mau telepon Mama?” tanya Ziba penasaran dengan apa yang sang adik ingin lakukan.
Agya mengangguk-angguk. “Iya, aku harus bilang Mama kalau Kak Jen bawa pulang cowok ke rumah waktu kita-kita nggak ada.”
Ziba mengangguk paham. “Tapi, Gya,” katanya menahan tangan Agya yang hendak memencet tombol video call di kontak Talita.
“Kenapa?” tanya Agya tak terima dengan dahi berkerut-kerut.
“Kita mau bilang apa? Siapa tahu sebelum ini Kak Jen udah sering bawa cowok itu ke sini. Terus, siapa tahu Kak Jen udah pacaran lama sama dia tapi nggak bilang-bilang kita?”
Agya menepuk dahinya dan dahi Ziba bergantian. “Kak, kalau mau lemot jangan ajak-ajak. Kan, sama aja, kita bilang ke Mama kalau Kak Jen bawa cowok ke sini. Mama, kan, udah dewasa, udah ngerti, pasti bisa mikir sendiri.”
“Oh iya.” Ziba menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Sudah dering berkali-kali, tetapi Talita tak kunjung mengangkat telepon mereka. Membuat Agya gemas dibuatnya. Ziba apalagi, anak perempuan itu menggigit kukunya berkali-kali.
“Mama kerja mungkin,” terka Ziba.
Agya tampak berpikir. “Coba kita lihat, di sana udah jam berapa sekarang.” Agya mulai berselancar di internet. Satu hal yang Ziba tidak kepikiran sama sekali. Terkadang dia heran, di antara mereka berdua sebetulnya yang kakak dan adik itu siapa. Agya jauh lebih dewasa darinya dan Ziba sadar betul itu.
“Kayaknya di sana baru jam tujuh pagi. Mama mungkin mau berangkat kerja atau malah lagi siap-siap. Jadi kalau aku telepon terus, kayaknya bakal ganggu Mama, deh.”
Ziba menaruh jari telunjuknya di dagu, berusaha terlihat berpikir agar wibawanya meningkat naik di depan Agya. Namun, kelambanannya dalam berpikir justru membuat Agya memutar bola matanya malas.
“Kita harus tunggu lima jam lagi, paling jam dua belas Mama istirahat. Paling sih, nggak tahu di sana istirahatnya jam berapa,” lirih Agya lemas. Tidak jadi memberitahu berita hangat hari ini untuk sang mama.
Pasalnya Talita sudah sering menyuruh sang anak bergaul atau mencari pacar saja sejak dulu, tetapi tidak pernah ditanggapi oleh Jen.
Kakak mereka itu sejak remaja sudah seperti orang tua yang punya banyak tanggungan hidup. Terlihat lesu dan tua dari usianya. Tak banyak bergaul dengan teman-temannya dan lebih memilih berkutat di dapur kafe. Agya suka-suka saja sih, karena setiap ada acara ia bisa merayakannya di kafe Jen dan diberi diskon besar-besaran. Walau yang membayar Talita bukan dirinya, tapi dia tetap suka.
Mungkin saja Talita akan senang dengan kabar ini. Namun, yang membuat anak lelaki itu resah adalah, mengapa Jen tidak memberitahu mereka jika sudah punya pacar? Kan, dia jadi tidak perlu berharap kalau ayah dari temannya yang akan menjadi pacar Jen. Agya sudah telanjur menyukai Arya dan secara otomatis tidak menyukai Kenzo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...