Usai pelanggan kafe mulai sedikit berkurang, Jen menyerahkan semua kepada kedua karyawannya. Dia masuk ke kantor tempatnya biasa istirahat di kafe, sekaligus tempatnya mengerjakan laporan dan segala macamnya. Jen melihat Arya sedang membaca buku, kakinya ia silangkan ke kanan.
Lalu, matanya melihat kedua adiknya dan Lando sedang tertidur telentang di atas sofa, dengan wajah kelelahan dan mimik tidak nyaman. Benar tidak nyaman, mereka tidur sambil duduk. Harusnya tadi ia meminta Arya mengantarkan dua beruang itu ke rumah saja. Sudah merepotkan, kenapa tidak sekalian?
"Kamu udah selesai?" tanya Arya menyadarkan Jen yang masih berdiri di pintu.
"Maaf saya nggak sadar kamu dateng," kata Arya sembari menaruh kembali buku bisnis yang Jen beli.
"Nggak apa-apa, saya baru masuk." Jen menggaruk tengkuknya tidak tahu harus apa berhadapan dengan Arya begini. Padahal dia yang meminta pria itu untuk menunggunya sampai selesai.
"Kamu udah makan?" tanya Arya pada Jen. Melihat bagaimana perempuan itu sibuk, Arya pikir perempuan itu tidak punya waktu untuk sekadar istirahat. "Kamu punya kafe, tapi justru nggak sempat makan sendiri," katanya berseloroh.
"Belum," jawab Jen singkat. "Mas Arya mau makan? Saya buatkan," tawarnya basa-basi.
Arya menggeleng. "Enggak, saya udah kenyang." Arya tampak berpikir. "Gimana kalau saya yang masakin kamu dan kamu lihatin aja sambil istirahat?"
"Ha?" Kedua alis Jen naik, dia tampak tidak yakin dengan ide yang Arya usulkan. Namun, sepertinya ide itu bukan hal yang buruk juga. Karena itu ia mengangguk-angguk dan mempersilakan Arya untuk keluar lebih dulu. Jen mengekor ke dapur dan menunjukkan tempat bahan-bahan masakannya berada.
Jen mengamati Arya yang mulai memotong-motong bahan masakan, sepertinya pria itu bisa masak. Sebab Jen tidak melihat kecanggungan di mata dan gelagat Arya. Seperti seseorang yang sudah biasa memasak. Bukan apa-apa. Jen paling suka pria yang bisa memasak dan bisa ia ajak memasak bersama.
Sebentar sebentar, pikiran Jen sepertinya sudah melantur jauh.
"Mas Arya nggak dicariin istrinya jam segini belum pulang? Maksudnya Lando," tanya Jen mengalihkan pikiran. Sebetulnya ia sudah penasaran sejak lama mengapa pria beranak seperti Arya mengiriminya pesan menjijikan seperti itu. Dia berspekulasi bahwa Arya adalah seorang duda, tetapi mungkin saja pemikirannya salah.
"Saya sudah nggak punya istri. Nggak mungkin juga saya kirim pesan begitu ke kamu kalau posisi saya punya istri." jawab Arya tanpa merasa terbebani dengan pertanyaan Jen. Bahkan ia menyempatkan diri menatap perempuan itu dan menyunggingkan senyum.
"Oh, maaf, saya nggak tahu," jawab Jen merasa tidak enak hati.
Arya tertawa kecil sembari memotong-motong bawang putih cepat. "Nggak apa-apa."
Jen terperangah ketika melihat ketangkasan Arya. Sepertinya bukan hanya bisa memasak, melainkan mahir memasak. Pria itu membuat daging panggang dengan bumbu barbeque yang aromanya menguar ke segala sudut. Perut Jen jadi perih dan ingin segera memakannya.
"Kamu mau makan nasi atau kentang?" tawar Arya.
"Kentang," jawab Jen cepat. Ia membayangkan mashed potatoes hangat menyentuh lidahnya. Apalagi melihat Arya mengambil kentang, susu, dan keju. Jen sudah bisa membayangkan makanan itu berada di lidahnya.
"Sabar ya," kata Arya ketika mendengar perut Jen berbunyi. Perempuan itu malu dan menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Wajahnya terasa panas sekali sekarang. Arya tidak tertawa sedikit pun karena pria itu tahu, Jen pasti belum sempat makan dan itu bukan hal yang patut ditertawakan.
"Mas Arya jago masak juga ya," basa-basi Jen yang sebetulnya tidak sepenuhnya basa-basi, karena sejak tadi perempuan itu memang ingin berkata begitu kepadanya.
"Saya sekolah perhotelan."
Mulut Jen membulat. "Woah, hebat. Jadi, Mas Arya sekarang punya hotel?" tebak Jen tepat pada sasarannya, membuat Arya tertawa dan mengangguk-angguk.
"Sejujurnya saya malah pengen punya kafe atau restoran dan menjalankannya sendiri, tapi ternyata Allah berkehendak lain. Memang apa yang kita dapat biasanya nggak sesuai dengan apa yang kita mau, tapi itulah yang paling tepat buat kita," kata Arya, lebih seperti mengasihani diri sendiri, tetapi kok justru terdengar menyebalkan ya di telinga Jen?
"Nggak semua orang bisa menjalankan bisnis hotel dan bisa punya bisnis seperti itu. Justru itu, kan, beruntung." Jen mengacungkan kedua jempolnya pada Arya, lalu ketika pria itu tertawa, Jen jadi salah tingkah. Rasanya dia dan Arya tidak sedekat itu untuk bisa bercanda seperti tadi.
"Iya, saya bersyukur kok," kata Arya dengan penuh semangat. "Apa yang pernah terjadi adalah hal terbaik untuk hari ini, contohnya bertemu kamu," lirihnya, walau masih tetap terdengar oleh telinga Jen.
Perempuan itu memiringkan kepala dan merasa ada yang aneh di sini. "Mas Arya mungkin duda, tapi apa bisa secepat itu perasaan diganti dengan orang lain? Bisa ya secepat itu?" tanya Jen penasaran.
Arya tertawa sekarang, dia mengeluarkan kentang dari kukusan, lalu menatap Jen lamat-lamat. "Istri saya udah meninggal sejak melahirkan Lando. Sembilan tahun yang lalu dan itu nggak sebentar. Walau saya sendiri juga nggak pernah menyangka akan jatuh cinta lagi."
Kali ini Jen menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan tampak menyesal. "Maaf saya nggak bermaksud."
Arya menggeleng sekali. "Itu udah sembilan tahun lalu dan nggak bikin saya sedih lagi sekarang."
"Walau istri Mas Arya udah meninggal, tapi kalian dulu saling mencintai dan bahagia. Bahkan kalian punya Lando. Saya nggak bisa membayangkan kalau istri Mas tahu Mas Arya suka saya." Kini Arya menatap Jen, menghentikan aktivitasnya. Dia mendekat ke arah perempuan itu yang tidak bisa mundur barang sejengkal karena belakangnya meja.
"Jadi, apa semua yang ditinggal meninggal harus menderita sendirian? Apa saya nggak boleh menikmati sisa hidup dengan baik? Bukannya kehidupan nggak berhenti di satu titik walau kita menyangkal?"
Arya semakin mendekat. "Saya bukannya melupakan dia atau bagaimana. Hati saya hanya menemukan cinta yang baru, bukan menggantikan cinta yang lama. Melainkan mengisi kekosongan di sana. Jadi, Jen, apa saya salah jatuh cinta lagi?"
Mulut Jen membuka dan menutup tanpa ada kata yang keluar dari sana. "M-mas Arya, maaf, Mas terlalu deket," jawab Jen dengan mencoba mengontrol jantungnya yang berdegup tak karuan.
"Oh, maaf, Jen." Arya mundur dan melanjutkan kegiatan memasaknya lagi.
Jen yang sudah bisa menguasai diri pun berkata, "Saya yang harusnya minta maaf, saya cuma orang asing yang nggak tahu apa-apa tentang hidup Mas Arya, tapi berani berkomentar."
Arya menoleh sekilas, senyumnya terlihat dari samping, sebab sudut bibirnya terangkat naik. "Kamu boleh jadi orang nggak asing di hidup saya yang bisa berkomentar apa pun, Jen."
**
Ehem, di sini Jen baru tahu dong kalau Mas Arya itu ganteng, eh pinter masak maksudnya.Psssttt, tapi emang ganteng sih di kepalaku. Hihi.
Selamat membaca ya😘
Jejaknya kalau suka yak💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...