Jen bertanya-tanya ke mana Lando pergi karena anak itu tidak masuk sekolah, sebab ketika ia menjemput adik-adiknya, Lando tidak ada. Itu juga berlaku untuk keesokan harinya sampai ia merasa perlu bertanya kepada adiknya ke mana Lando pergi, mereka tidak tahu, yang pasti Lando tidak sakit, guru mereka bilang anak itu izin karena harus pergi ke suatu tempat.
Agya tampak sedih karena tidak ada teman bermain seperti biasanya, ia sudah telanjur biasa bermain bersama Agya di rumah. Ziba mengeluh karena tidak bisa bertemu dengan om tampannya. Sedangkan Jen merasa ada sesuatu yang hilang. Besok hari Minggu dan tentu saja dia tidak akan bisa melihat Lando, mungkin saja Arya sengaja memperpanjang kepergian mereka sampai Minggu.
Beberapa kali Jen ingin mengirimkan pesan kepada Arya untuk sekadar bertanya apakah semuanya baik-baik saja. Namun, Jen merasa tidak punya kepentingan sampai harus mengirim pesan kepada pria itu bernada ingin tahu dan perhatian. Dia sadar bahwa Arya punya kehidupan sendiri yang dirinya tidak tahu.
Minggu sore, Jen sudah mengirim pemberitahuan kepada ketiga beruangnya bahwa dia tidak bisa pulang cepat karena pelanggan semakin banyak. Pukul tujuh malam dia bergantian memasak dengan karyawannya, ia izin istirahat setengah jam sebelum memasak lagi sampai pukul sembilan nanti.
Baru saja ia keluar dari dapur, sebuah suara membuatnya terkejut. Di sana, berdiri seorang pria yang dua hari ini membuatnya bertanya-tanya. Pria itu berdiri di tengah puluhan mata yang sedang menatapnya penuh rasa ingin tahu. Tak jauh dari pria itu, terlihat ketiga adiknya dan Lando, serta Papanya. Sanee juga melambaikan tangan dan sebelah tangan bocah itu memegang ponsel dengan wajah Talita di sana.
Jen tampak mengerutkan kening ketika Arya semakin melangkah mendekatinya, pria itu dengan setelan jas berwarna biru tua berjalan kian memperpendek jarak mereka. Arya mengulurkan tangan kepada Jen yang disambut gelengan ringan.
“Apa sih?” tanya Jen lirih, Arya hanya tersenyum dengan tangan yang tetap terulur. Mau tidak mau Jen menerima uluran tangan Arya dan membawa perempuan itu ke tempatnya semula.
Jen menatap adiknya dengan pandangan bertanya-tanya, tetapi mereka hanya melambaikan tangan dan tersenyum sampai memperlihatkan gigi.
“Jen, apa kamu tahu ke mana saya pergi selama dua hari ini?” tanya Arya.
“Mana saya tahu?”
Arya terkekeh kecil dan menoleh kepada papanya Jen. “Saya ke rumah papa kamu sama Lando, minta izin untuk melamar kamu.”
“Me-melamar?”
Arya mengangguk.
“Saya tahu Jen, mengikat hubungan kita nggak akan menjamin bahwa semuanya akan baik-baik aja, bahwa kita akan terus saling mencintai dengan romantis. Tapi, ini satu-satunya cara supaya kamu yakin kalau saya enggak main-main. Nggak ada nanti di mana saya tiba-tiba pergi dengan alasan lelah berjuang, karena saya inginnya mengajak kamu berjuang berdua. Saya nggak akan membiarkan kamu lupa waktu dan lupa saya, saya akan buat kamu ingat kalau ada kita yang perlu diperhatikan daripada diam dan diam-diam merasa kamu enggak perhatian.”
Jen memandang Arya lekat-lekat karena tiap kata yang meluncur dari bibir pria itu mengaduk-aduk perasaannya. Berulang kali ia ingin menarik tangannya dan tegas berkata tidak, tetapi tatapan Arya memikatnya. Tatapan penuh keyakinan, bukan pandangan menahan kecewa seperti miliki Kenzo, tetapi benar-benar pandangan penuh percaya. Iya, percaya kepadanya.
“Saya enggak akan buru-buru meminta jawaban dari kamu tentang kapan sebaiknya kita menikah, tapi kalau kamu menerima lamaran ini berarti kamu siap mempersiapkan segalanya sama saya. Terutama mempersiapkan keyakinan. Gimana, Jen, apa kamu mau menerima lamaran saya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...