Interogasi

1.7K 197 0
                                    

Handoko masuk ke mobil Jen, meski marah ternyata anaknya itu masih mau menunggunya untuk pulang bersama-sama. Selama perjalanan, suasana hati Jen tampaknya tidak baik. Handoko tahu itu dan berusaha untuk tidak memancing keributan.

Sesampainya di rumah, Jen lekas turun dan meninggalkan Handoko. Pria itu sebetulnya ingin marah pada anaknya karena pergi dengan tidak sopan, tetapi melihat lelaki yang Jen akui sebagai pacar tadi sedang menggandeng perempuan lain, Handoko sadar diri untuk tidak menambah runyam pikiran gadis itu.

Hatinya sendiri tertohok dengan ucapan sang anak tadi di depan temannya. Memang benar ia tidak mengenal Jen sebagaimana mengenal anak-anaknya dari istri kedua, tetapi ia tetap ingin yang terbaik untuk Jen, tentu saja.

Ketika Handoko masuk ke dalam rumah, ia menemukan pria yang ia lihat ketika pertama kali datang ke rumah Jen. Pria itu sedang bermain dengan ketiga adik Jen dan seorang anak laki-laki di ruang tamu, mereka duduk di lantai dan memainkan sebuah permainan yang menurut Handoko buang-buang waktu.

“Kenapa kamu bisa di sini lagi?”

“Kok kamu bisa di rumah Jen setiap malem?” tanya pria itu lagi.

Jen yang tadinya sudah masuk pun keluar lagi. “Aku yang suruh dia ke sini buat jagain adik-adikku.” Dengan penekanan pada kata adik-adikku, ia berharap Handoko sadar bahwa yang orang asing di sini justru adalah dirinya. Bukan adik-adiknya atau Arya atau Lando.

Arya berdiri dan terlihat tidak enak hati. Pria itu menggaruk tengkuknya dan menatap Handoko serta Jen bergantian. “Maaf membuat Om nggak nyaman.” Pria itu maju dan mendekati Handoko, lalu mengeluarkan dompetnya dan mengulurkan sebuah kartu nama pada Handoko.

Arya melirik Jen dan tersenyum. Saat-saat seperti ini adalah saat yang membahagiakan untuk memamerkan pangkatnya pada calon mertua. Siapa tahu Handoko terharu melihat anak gadisnya digilai seorang pengusaha tampan dan kaya. Siapa yang tahu, kan?

“Oh hotel ini, saya tahu. Kemarin saya hampir menginap di sini, tapi saya kira rumah anak sendiri jauh lebih nyaman daripada hotel bintang empat sekalipun,” sindir Handoko, ia ingin mengatakan pada Arya bahwa dirinya tidak tergiur dengan harta. Yang ia ingin adalah kebaikan untuk putrinya dan memilih pasangan terbaik untuk Jen adalah tujuannya belakangan ini.

“Pasti, Om. Rumah anak sendiri pasti lebih nyaman dari apa pun. Apalagi rumah Jen yang nyaman ini,” kata Arya berusaha untuk terlihat tidak terpengaruh dengan sindiran Handoko.

Handoko berjalan ke sofa, lalu menghempaskan tubuhnya di sana. Lelah juga walau hanya berjalan cepat mengejar Jen. “Ya ... senyaman itu sampek setiap malem ada cowok yang main di rumahnya. Gitu maksudnya?”

Jen memutar bola matanya malas. Lalu berjalan mendekati Arya, menyentuh lengan pria itu untuk tidak terpancing ucapan Handoko. Mengisyaratkan pada Arya bahwa lebih baik pulang saja daripada mendengar celoteh papanya yang tidak tahu apa pun tentang kehiduapannya.

Namun, Arya justru bersikeras untuk mendengarkan semua yang ingin Handoko katakan. Tidak menghiraukan kode dari Jen, pria itu ikut duduk di sebelah Handoko dan menghadapkan tubuhnya pada pria paruh baya itu.

“Iya Om, saya senang mengantar anak saya yang nyaman main di rumah Jen dan akrab sama adik-adiknya.”

Handoko tampak terkejut dan melihat ke arah Lando. “Anak? Kamu punya anak?” tanyanya tak percaya dengan wajah syok. Handoko mencari mata Jen untuk mempertanyakan kegilaan ini. Namun, anak gadisnya itu hanya mengedikkan bahu.

“Sebetulnya pacar kamu itu yang tadi kita ketemu di kafe atau dia?”

Kali ini Arya menaikkan sebelah alisnya mendengar apa yang dikatakan Handoko. Pasti yang dimaksud adalah Kenzo. Namun, kalau mereka bertemu kenapa Jen pulang lebih cepat dari perkiraan? Seharusnya mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol, kan? Walau Arya tidak suka membayangkan itu.

“Dua-duanya Papa nggak suka, Jen,” kata Handoko tegas tak peduli bahwa yang mereka bicarakan sedang ada di hadapan. “Kamu yang bener aja, Jen. Yang tadi ketahuan selingkuh, yang ini punya anak? Bisa nggak kamu cari cowok yang bener Jen?”

Jen melipat kedua tangannya di dada. Ingin berteriak, tetapi matanya jatuh pada keempat anak yang sedang tertunduk dan mendengarkan perbincangan mereka. Jen menarik napas dalam-dalam dan mengontrol emosinya, ia mendekatkan jarak dengan Handoko dan Arya lalu berkata lirih, “Yang baik-baik nggak menjamin bakal bahagiain sampek akhir kan, Pa?” sindir Jen telak ke ulu hati sang papa.

“Lagian, Papa nggak kenal sama mereka, gimana bisa nilai segampang itu? Papa juga nggak kenal sama aku, gimana bisa Papa menganggap putri Papa ini selayak itu dapet yang baik?”

“Jen.” Arya berdiri dan menyentuh lengan perempuan itu, mengingatkan Jen agar tidak berlaku begitu pada Handoko. Di tengah-tengah perseteruan, seseorang tiba-tiba masuk ke dalam karena pintu tidak dikunci, semua mata memandang ke arahnya.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang