Jen menggelengkan kepala heran dengan pertanyaan absurd Arya, perempuan itu berlalu begitu saja dan masuk ke dalam rumah. Arya mengekor Jen untuk mengetahui bagaimana reaksi perempuan itu seandainya tahu adik-adiknya sudah beres-beres rumah sore ini. Benar saja, Jen tampak memelankan langkahnya ketika melihat rumah jadi jauh lebih rapi dan wangi dari tadi pagi. Pasalnya, setiap hari rumah sudah tidak pernah rapi karena ketiga adiknya sangat aktif sekali. Jen meneruskan langkahnya dan melihat ketiga beruang ditambah Lando sedang membereskan sesuatu di dapur.
“Kalian ngapain?” tanya perempuan itu sembari mengerutkan dahi. Matanya melihat sebuah kue di atas meja dan anak-anak yang sedang mengembalikan beberapa peralatan masak ke tempat semula.
Agya dan Ziba mendekati Jen sembari menundukkan kepala. Perempuan itu jadi makin tidak mengerti dan sedikit ngeri, tidak pernah beruang-beruang itu tunduk padanya. Jangan-jangan, pikir Jen, mereka sudah melakukan sebuah kesalahan yang amat fatal dan tidak bisa termaafkan.
“Tunggu bentar, ini kalian nggak abis ngelakuin sesuatu yang horor dan bakal bikin Kakak jantungan, kan?” Mata Jen tampak ngeri, meminta jawaban pada Sanee yang hanya mengedikkan bahunya. Sedangkan Lando tertawa cekikikan melihat Agya dan Ziba melongo menatap kakaknya.
“Jangan suuzon, Jen.” Arya menimpali, lalu menyeret sebuah kursi dan mendudukkan Jen di sana. Kepalanya mengedik pada Ziba dan Agya memberi isyarat untuk mengambil kue yang sudah jadi dan sudah dihias dengan cantik. Kedua anak itu menurut, lalu kembali ke hadapan Jen membawa kue.
“Kami berdua mau minta maaf, Kak,” lirih Ziba. Mengulurkan kue ke depan Jen. Perempuan itu terkejut, memandang kue dan kedua adiknya bergantian. Jen mengedarkan pandangan pada semua orang yang ada di sini. Mereka semua mengangguk-angguk.
“Aku minta maaf karena nggak hargain semua usaha Kak Jen buat aku. Minta maaf karena rewel banget. Minta maaf karena udah lupa sopan santun sama Kak Jen. Maaf karena udah bikin Kak Jen sakit juga,” kata Ziba tulus memandang mata Jen lekat-lekat.
“Aku juga minta maaf karena udah nggak sopan. Maaf Kak Jen.” Kini giliran Agya yang meminta maaf. Anak lelaki itu tak pernah terlihat sebegini sedihnya, wajah mereka tampak pekat dengan penyesalan. Lalu, Sanee mendekati ketiga saudaranya.
“Aku juga minta maaf, Kak. Karena cuma mikirin diri sendiri, nggak sadar kalau Kak Jen selama ini kesusahan mikirin kami, tapi kami malah seenaknya.”
Lalu Lando mengangkat tangannya tiba-tiba. “Aku juga minta maaf, Tante. Karena aku, Agya jadi marah sama Tante. Maaf kalau aku suka berisik di sini, nyusahin, tapi aku seneng main di sini sama Agya. Aku juga seneng karena merasa punya keluarga di sini, Tante Jen juga baik, masakannya enak. Perhatian sama aku juga walau nggak suka sama Papa.” Lando berkata dengan jujur dan polos sekali.
Arya menunjuk dirinya pada Lando yang hanya menipiskan bibir kepada papanya itu. Jen? Tidak suka dengannya? Lando salah kali ini, perempuan itu sudah mengakui bahwa senang dekat dengannya.
Jen terkekeh dan membuat situasi mengharukan tadi berubah lebih santai. “Lando kamu nggak salah apa-apa. Tante nggak pernah terganggu kamu di sini. Nggak perlu minta maaf.”
“Tapi Tante terganggu, kan, kalau Papa ada di sini?”
Jen menoleh pada Arya dan mereka berdua beradu tatap beberapa detik. “Enggak, Tante juga nggak terganggu Papa kamu di sini. Papa kamu udah banyak bantu Tante, harusnya Tante bilang terima kasih sama kamu dan Papa kamu.”
Diam-diam Arya tersenyum mendengar jawaban Jen barusan. Berbanding terbalik dengan suasana hati duda itu, Sanee, Ziba, dan Agya agaknya merasa tidak dihiraukan di sini. Kakak mereka tidak menjawab permintaan maaf mereka bertiga. Bahkan tidak menatap mereka bertiga sama sekali.
“Terus kalau kita gimana?” tanya Ziba tidak sabar, bibirnya maju beberapa mili, wajahnya dibuat semenyedihkan mungkin.
“Emangnya kenapa sama kalian?” goda Jen pada ketiga adiknya.
“Kami bertiga minta maaf lho, Kak,” kata Ziba tidak terima, wajah sedihnya tadi seketika hilang sudah.
“Kalian tulus nggak minta maafnya?” Ketiganya kompak mengangguk. “Kalau tulus nggak perlu jawaban dari Kakak seharusnya udah cukup. Kan, yang tulus nggak mengharap imbalan.”
Ketiganya terdiam seketika, menatap Jen tidak mengerti. Perempuan itu merasa geli dengan ekspresi adik-adiknya sampai tertawa terbahak-bahak. Arya tidak pernah melihat Jen tertawa sebegitu lepasnya, semua yang di sana menatap Jen heran. Ini aneh, sungguh. Jen sepertinya sudah salah minum obat atau efek sakit kemarin membuat kepala Jen agak bermasalah.
Jen berdeham ketika sadar tengah diperhatikan. “Yang buat kuenya pasti Papanya Lando, kan?”
“Aku juga ikut buat,” protes Sanee, tetapi tidak dihiraukan Jen. Perempuan itu justru mengulurkan tangan, membuat ketiga adiknya bingung. Jen mendesah lalu berkata, “Pisau sama sendoknya mana? Kak Jen harus makan bulet-bulet begini? Serius? Kalian suruh Kakak makan bulet-bulet?”
Agya cepat tanggap dengan melesat ke tempat di mana pisau berada dan tak lupa juga sendok. Sanee yang melihat Agya hanya membawa kedua barang yang disebutkan Jen tadi berdecak, lalu ia mengambilkan piring juga dan menyerahkannya pada Jen.
Jen mulai memotong kue itu, semua orang memperhatikan gerak-geriknya tanpa ada yang mau berkedip. Bahkan ketika kue itu sudah ia sendok dan hampir sampai ke mulutnya, semua orang yang di sana masih menatap Jen dengan begitu penuh minat. Jen mengurungkan niatnya menyicipi kue itu.
“Kenapa semuanya masih berdiri, ayo duduk. Makan kuenya bareng-bareng,” kata Jen sembari tersenyum. Kendati mereka masih tidak mengerti dengan perubahan suasana hati Jen hari ini, yang begitu manis dan jenaka. Mereka menuruti perkataan perempuan itu dengan duduk di tempat masing-masing.
Bahkan kini Arya dan Lando punya tempat duduk mereka di meja makan itu. Jen berdiri dan mengambilkan mereka semua piring, memotongkan kuenya dan membagi sama rata. “Ayo dimakan.”
Tak seperti biasa, Sanee, Ziba, Agya, Lando, dan Arya diam saja menuruti semua perintah Jen tanpa membantah. Sepertinya mereka semua sudah jinak, Jen jadi gemas dibuatnya. Dia seperti seorang ibu yang bangga melihat anak-anaknya menurut.
“Makasih ya,” katanya kemudian, kelima orang yang sedang menikmati kue itu tiba-tiba berhenti mengunyah. Sudah begitu saja, tidak ada jawaban dan tidak ada kalimat lanjutan dari Jen. Karena setelah mengatakannya, Jen memakan kue yang dibuat khusus untuknya dengan lahap.
Ia tak pernah mengira dalam hidup akan dibuatkan kejutan begitu. Dia paham betul dirinya selalu galak kepada ketiga adiknya, Jen bahkan tak pernah berharap mereka bertiga memahami maksud dari galaknya dia. Tak ambil pusing bila di mata adiknya, dia hanya seorang kakak yang menyebalkan. Namun, siapa yang menyangka kalau ketiga beruang itu sadar sendiri?
“Makasih, karena kamu, Lando jadi seneng merasa diterima di sini,” bisik Arya ke telinga Jen, mereka memang duduk bersebelahan. Jen menoleh pada pria itu yang sedang tersenyum dengan manis. Entah sejak kapan, Jen tidak merasa kesal dengan senyum itu. Padahal dulu sempat geli dengan sikap Arya yang cheesy. Nampaknya sekarang perempuan itu sudah terbiasa.
Tatapan dua orang itu terputus karena sebuah pertanyaan.
“Apa kami bertiga juga harus minta maaf sama pacar Kak Jen?” Agya yang bertanya, bagaimanapun juga Kenzo adalah pacar Jen. Mereka sudah tidak sopan sekali karena membentaknya.
“Kak Ken?” lirih Jen lebih seperti bertanya pada dirinya sendiri. Benar juga, Jen sempat lupa jika Kenzo bahkan belum menjawab pesannya. Lelaki itu tidak ada kabar sampai hari ini, Jen tidak sadar itu bila Agya tidak bertanya. Dia sudah terbiasa dihampiri oleh Kenzo bahkan di saat ia belum sadar bahwa sedang lupa karena pikirannya sudah tersita oleh banyak hal dan melupakan berbagai hal pula. Kenzo selalu memaklumi itu dan menjadi pihak yang selalu mengalah untuk membuat hubungan mereka berjalan dengan baik.
Jen sebetulnya tahu jika dirinya tidak tahu diri sekali.
“Kak Kenzo ke luar kota, nanti kalau dia ke sini kalian bisa minta maaf sama Kak Kenzo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...