Badai lain di hati Jen

1.6K 180 1
                                    

Kamu udah sehat? Maaf ya, aku mendadak ada tugas ke luar kota seminggu. Jadi nggak bisa nemenin kamu yang lagi sakit.

Aku udah baikan kok, Ken.

Setelah membalas pesan yang baru saja dikirimkan Kenzo kepadanya, Jen merasa haus sekali. Perutnya juga terasa lapar, mungkin karena sejak tadi ia sudah berkali-kali ke kamar mandi. Jen ingin memakan sesuatu yang gurih dan pedas ketimbang sesuatu yang manis-manis. Ia mencari ikat rambutnya, tetapi tidak ketemu. Jen kesal dan memilih untuk turun tanpa mengikat rambut, walau sebetulnya dia tidak tahan juga kegerahan begitu, apalagi ia belum mandi sejak kemarin.

Ngomong-ngomong soal mandi, Jen jadi ingat kalau tadi Arya duduk di sampingnya tanpa terganggu aroma dari badannya sama sekali. Padahal Jen mencium bau menusuk dari badannya. Kalau ia sendiri saja tidak tahan, bagaimana pria itu bisa tahan?

“Bodo amat ah,” putus Jen setelahnya.

Perempuan itu ingat masih punya kentang di kulkas. Ia mengambil lima kentang berukuran sedang, lalu mencucinya, kemudian mengupas dan memotong-motongnya memanjang. Setelah itu ia melakukan proses marinasi dan menaburi kentang itu dengan mozarella sebelum masuk ke oven.

Jen melihat apel dan berniat memotongnya sembari menunggu kentang matang, untuk ditaruh di kulkas supaya kalau beruang-beruang itu ingin makan apel bisa langsung mengambilnya. Apalagi setahu Jen, Agya suka sekali apel, apa pun jenis apelnya, ia suka sekali. Kata anak itu, apel mirip sekali kapas. Padahal anak itu berkali-kali menyangkal sendiri pemikirannya bahwa apel keras dan tidak bisa disamakan dengan kapas yang lembut.

Tak lama setelah apel selesai ia potong-potong dan nikmati, ponselnya berdering. Talita menghubunginya melalui panggilan video, Jen mengabaikan kenyataan bahwa dirinya sedang sangat berantakan, kemungkinan besar Talita akan bertanya-tanya kenapa Jen di jam segini ada di rumah dengan wajah yang tidak karuan.

“Halo, Sayang.” Benar saja, setelah melihat Jen, dahi Talita berkerut-kerut. “Loh, kamu di rumah?”

“Iya, Ma.”

“Itu mukamu pucet banget, Jen. Kamu sakit ya?” Talita terlihat khawatir di sana, wanita itu tampak sedang berada di balkon.

“Udah mendingan kok, Ma.”

Talita tampak memperhatikan Jen dengan wajah yang keruh, kalau di sini, ia yakin mamanya itu akan mengurusnya seharian penuh dan kalau bisa sampai ia sembuh. Tiba-tiba ia jadi merindukan Talita dan ingin memeluk wanita itu erat-erat.

“Mama bikin kamu kesusahan ya karena udah nitipin adik-adikmu?” Suasana hati mereka berubah sentimentil, Talita merasa selama ini sudah menyusahkan Jen karena membebani seorang anak kecil yang masih harus belajar dan bermain untuk menjaga ketiga adiknya. Sekarang, ia juga membebani hal serupa padahal kehidupan mereka sudah jauh lebih baik.

“Apa perlu Mama cari orang buat nemenin adik-adikmu, Jen? Kalau kamu kesusahan, jangan diem aja, kasih tahu Mama. Kalau sampek sakit begini, Mama yang sedih dan merasa bersalah.”

Talita memang sering seperti itu, merasa tidak enak sendiri, merasa telah menyusahkan anak-anaknya, merasa paling bertanggung jawab untuk segala hal yang terjadi kepada mereka. Padahal, Jen baik-baik saja. Semua yang terjadi memang sudah porsi yang paling tepat, dan kalau Jen dilahirkan sebagai anak Talita maka cerita hidup seperti itulah yang memang sudah paling tepat untuknya.

“Ini aku sakit karena lupa makan aja, Ma. Bukan karena kesusahan jagain mereka. Toh mereka bisa ngapa-ngapain sendiri,” elak Jen berharap wajah Talita yang keruh itu segera cerah kembali, tidak enak melihatnya.

“Mama mau berangkat kerja?” tanya Jen melihat setelan kantor Talita yang begitu rapi. Tampak elegan sesuai usia, tidak berlebihan, mekap Talita pun bisa dibilang amat tipis.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang