Membuat kue

1.4K 169 3
                                    

Pukul setengah empat ketika Sanee baru saja pulang dari sekolah, kedua adiknya sudah rusuh memintanya buru-buru ganti baju agar bisa melanjutkan rencana berikutnya. Sekarang ketiga beruang itu berkumpul di ruang tamu. Ziba dan Agya duduk mengapit Sanee yang sedang menelepon Arya. Mereka harap-harap cemas karena Arya adalah orang yang bisa membuat rencana berhasil, itu rencana pertama. Sedangkan rencana cadangannya adalah meminta bantuan Tante baik hati yang punya adik bayi, karena kebetulan Jen sudah bekerja jadi mereka tidak perlu susah-susah menyingkirkan Jen dari rumah dulu.

Seandainya tadi Arya menjemput Lando maka Agya bisa mengatakannya langsung. Sayangnya kata Lando papanya itu ada meeting sampai jam tiga, jadi tidak bisa menjemput Lando. Lando sempat bertanya ada apa Agya dan Ziba mencari papanya, tetapi kedua anak itu memilih untuk langsung mengatakannya saja pada Arya.

Sanee menekan tanda panggil sekali lagi, berpuluh-puluh detik berlalu tanpa tanda-tanda akan dijawab. Ketiganya tampak cemas, bisa jadi rencana mereka tidak akan behasil dan harus memakai rencana kedua. Masalahnya tante baik hati belum tentu bisa membantu karena punya adik bayi.

Namun sepertinya mereka beruntung, sebab lima detik setelahnya Arya mengangkat telepon Sanee. Mereka tampak senang luar biasa, padahal belum mendengar jawaban dari pria itu apakah bisa membantu atau tidak.

“Halo, Om. Ini Sanee, aku ganggu Om Arya nggak? Ada yang mau kubicarain sama Om Arya nih.” Sanee memandang kedua adiknya bergantian. Mereka bertiga memasang telinga lebar-lebar.

“Oh Sanee, Om kira siapa. Apa, San? Ngomong aja, Om dengerin kok.”

Kondisi di seberang sana tampak senyap, Sanee bisa memastikan bahwa Arya sedang sendirian. Atau paling tidak, tak sedang sibuk-sibuk amat. Yah, walau hal itu tidak bisa menjadi patokan. Namun setidaknya, ia tidak merasa bersalah-bersalah sekali menelepon Arya saat ini.

“Gini lho, Om. Ziba sama Agya rencananya mau minta maaf sama Kak Jen. Mereka mau buat sesuatu supaya Kak Jen terharu, lagian kami emang kayaknya nggak pernah ngelakuin apa-apa buat Kakak.”

“Heem, Om dengerin,” kata Arya memberi isyarat bahwa diamnya adalah mendengarkan.

“Jadi kami punya rencana mau buat kue dan minta tolong sama Om Arya, karena kata Ziba sama Agya, Om bisa masak. Kami nggak tahu mau minta tolong sama siapa soalnya, Om.” Sanee menggigit-gigit kukunya. “Tapi kalau Om Arya nggak bisa nggak apa-apa, kami pakek cara lain nanti,” tambah Sanee buru-buru, merasa tidak enak.

Arya terkekeh di seberang sana. “Boleh boleh, Om mau bantu kalian. Lagian Ziba sama Agya salah karena belain Om sama Lando. Jadi, sekalian aja ini juga tanda permintaan maaf dari kami berdua.” Ziba memekik senang, Sanee tersenyum lebar, sedangkan Agya tampak puas sekali wajahnya walau hanya diam. Mereka semua merasa lega karena rencana sepertinya akan berjalan lancar.

“Jadi, kapan rencananya?”

“Om Arya bisanya kapan?”

“Hmmm, sebentar Om lihat jadwal.” Sanee mengangguk-angguk dengan bodohnya walau tahu Arya tidak akan bisa melihat. Mereka menunggu jawaban dengan sabar, terdengar bunyi kertas yang dibalik.

“Sore ini bisa, gimana? Ini kerjaan Om tinggal sedikit, nanti jam empat paling udah selesai. Terus jemput Lando di rumah dan ke rumah kalian, paling enggak magrib lah baru sampek sana. Cukup nggak ya waktunya?”

Sanee menatap Agya meminta jawaban, anak lelaki itu mengira-ngira. Jen biasa pulang pukul delapan lebih, maka pasti waktunya akan cukup kalau hanya membuat kue. Membuat kue tidak membutuhkan waktu lebih dari dua jam, kan?

“Kurasa cukup, Om.”

“Oke, kalau gitu nanti sore Om ke sana ya.”

“Terus bahannya gimana? Apa yang perlu kita beli, Om?” Padahal Sanee tahu, uangnya tidak akan cukup untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan. Namun, tak apa kalau harus ambil ke ATM, toh masih sore begini, mereka berani untuk ke ATM terdekat.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang