Pukul sepuluh ketika Jen mengantarkan Arya dan Lando ke depan, mereka dikejutkan oleh seseorang yang berdiri ragu-ragu di depan rumah Jen. Perempuan itu tentu terkejut, ia tidak pernah menduga bahwa akan dikunjungi setelah sekian lama.
“Anda cari siapa, Pak?” tanya Arya ketika tidak ada satu pun di antara mereka yang membuka suara.
“Beliau Papa saya,” jelas Jen cepat.
Mata Arya membulat, lalu mengambil tangan Papa Jen dan menciumnya penuh takzim. “Maaf Om, saya enggak tahu.” Sedangkan pria paruh baya yang masih terlihat bugar dan tampan itu menatap Arya tanpa suara.
“Papa kenapa ke sini?” tanya Jen, ia tahu pertanyaan itu tidak sopan sekali. Bukannya mempersilakan masuk malah bertanya begitu, tetapi Jen benar-benar tidak bisa menyangkal rasa penasarannya.
Arya yang paham situasi pun pamit pulang. “Ah, maaf, kalau gitu saya pulang dulu. Saya pamit, Om.” Pria itu sedikit menunduk pada papa Jen walau tidak direspons.
“Lando pulang dulu ya Tante, Kakek,” pamit Lando sopan sembari mengambil tangan Jen untuk dicium, tak lupa ia juga mencium punggung tangan papanya Jen yang sedikit terkejut dipanggil Kakek oleh bocah kecil yang baru ia temui.
“Hati-hati ya, Lando.” Jen melambaikan tangan pada bocah menggemaskan itu sampai mobil Arya berlalu menjauh dari pekarangan rumahnya. Papa Jen berdeham, membuat Jen mengalihkan atensi pada koper yang saat ini pria tua itu bawa.
Dengan kerutan di dahinya Jen bertanya, “Papa mau nginep di sini?”
“Jen, apa Papa nggak disuruh masuk dulu?”
Jen mempersilakan masuk papanya itu, Handoko, yang akhirnya menyeret kopernya masuk ke dalam rumah dan mendudukkan tubuh ke sofa. Sanee, Ziba, dan Agya muncul dari dalam, mata mereka membulat melihat tamu yang tak terduga datang ke rumah kakak mereka. Ketiganya merasa tidak senang atas kehadiran orang itu, tetapi mereka paham betul untuk menghormati Handoko sebagai papa dari kakak mereka.
Adanya Handoko, selalu membuat ketiga beruang itu merasakan jurang pemisah yang begitu dalam di antara diri mereka bertiga dan Jen. Mereka merasa seperti orang asing yang kebetulan lahir dari dalam rahim yang sama dengan Jen. Sedangkan Handoko adalah orang terdekat Jen, memiliki darah yang sama dengan kakaknya itu.
Entah bagaimana perasaan semacam itu muncul di dalam hati Sanee, Ziba, dan Agya. Mereka hanya tidak suka saja bila diingatkan bahwa Jen bukan kakak kandung mereka.
“Sanee, Ziba, Agya, salim dulu sama Pakde.”
Jen juga merasakan lidahnya gatal tiap kali memilihkan panggilan untuk Handoko. Dia merasa tidak enak pada ketiga beruangnya tiap kali Handoko datang ke rumah Talita dulu. Betapa, ketiga beruang itu pasti merasakan ketidaknyamanan melihat kakak mereka memanggil seorang pria asing dengan sebutan papa, tetapi bukan papa mereka juga.
Perasaan yang rumit memang.
Ketiga beruang itu menurut dan mencium punggung tangan Handoko bergantian. Wajah pria itu tidak melembut sedikit saja, bahkan mengabaikan ketiga adik Jen. Jen tahu tidak ada keharusan untuk pria itu berbaik hati pada ketiga beruangnya, tetapi melihatnya langsung membuat dadanya terasa nyeri entah kenapa.
Awalnya, Sanee, Ziba, dan Agya bahkan enggan tiap kali Handoko menemui Jen di rumah Talita. Mereka akan bertindak tidak sopan dengan berlalu pergi tanpa mau mencium tangan Handoko, mungkin itu juga yang membuat papa Jen tidak begitu suka dengan ketiga adik-adiknya.
Namun, Talita berpesan pada ketiganya, yang Jen dengarkan diam-diam. Bahwa jika mereka bertindak begitu di depan Handoko, berarti mempermalukan Talita karena dikira tidak bisa mendidik anak dengan sopan di depan orang tua. Talita bahkan lirih memohon agar mereka bertiga menjaga sikap di depan Handoko demi kakak mereka. Karena pria itu tidak akan pernah lama berkunjung, jadi ketiga beruang itu berkompromi untuk menjaga sikap selama beberapa saat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...