Rusuh

4.4K 432 23
                                    

Pukul setengah enam, Jen sudah dibuat kesal karena adik-adiknya tidak kunjung bangun untuk bersiap ke sekolah. Padahal ia sedang menyiapkan makanan untuk bekal mereka dan sarapan.

“Sanee, bangun! Udah siang!” Jen menoel-noel lengan Sanee, tetapi anak itu tak bergerak sedikit pun. Lalu beralih pada Ziba dan mendapat reaksi serupa. Jen meninggalkan kamar adik-adik perempuannya dan beralih ke kamar Agya. Ia mendapati adik lelakinya sudah bangun, tetapi justru tengah bermain game.

“Kak, kalau masuk, ketuk pintu dulu dong,” kata Agya.

“Eh iya, maaf.” Jen hendak menutup pintu lagi, tetapi dia sadar ada kesalahan di sini. Lalu ketika sadar dia lantas melotot dan berteriak. “Agya! Yang sopan kamu ya!” Teriakan menggelegar di pagi hari, membuat saraf-saraf Jen menjadi waspada dan lebih aktif. Tak terkecuali Sanee dan Ziba yang langsung terbangun dan waspada mendengar teriakan itu.

Keduanya lantas turun dari tempat tidur dan berlari ke arah sumber suara. Menemukan Jen sedang murka dengan mata melotot dan menjewer telinga Agya. Mereka tampak ngeri melihat Agya disiksa pagi-pagi.

Tatapan Jen beralih ke Sanee dan Ziba, ia melepaskan jewerannya pada telinga Agya. “Kenapa kalian susah banget dibangunin?” tanya Jen frustrasi. Perempuan itu menunjuk jam. “Lihat, itu udah jam berapa?”

“Jam enam,” jawab mereka bertiga kompak.

“Oke kalian buruan mandi, Kakak mau masak,” putus Jen setelahnya, lalu turun ke bawah.

“Kamu kenapa sih pagi-pagi bikin Kak Jen marah, Gya?” tanya Ziba kesal. Dia mendengkus pada Agya dan tidak direspons oleh anak lelaki itu, membuat Ziba menghentak-hentakkan kaki dan masuk ke kamarnya sendiri, bersiap-siap untuk mandi.

“Kamu jangan main hp terus di depan Kak Jen, Gya. Nanti hp kamu disita.” Bocah berusia sembilan tahun itu nampak mengerutkan dahi. Perasaan takut menyeruak ke dalam hatinya, bukan takut dimarahi Jen. Lebih kepada takut jika harus berpisah dengan telepon genggamnya.

“Terus harus ngapain kalau nggak main game?” tanya Agya, mendesah kesal dengan pembatasan bermain game seperti itu. Sanee tak menjawab, hanya mengedikkan bahu kepada Agya, lalu menyusul Ziba masuk ke dalam kamar dan menunggu giliran untuk mandi. Sedangkan Agya masih mematung di tempat, bingung harus bagaimana supaya telepon genggamnya tidak disita.

Agya buru-buru mandi agar tidak dimarahi lagi oleh Jen, tidak mau nilainya semakin minus di depan kakaknya itu. Bersiap-siap secepat yang ia bisa agar menjadi yang pertama duduk di meja makan. Benar saja, Agya adalah orang pertama yang sudah duduk di meja makan, disusul oleh Sanee.

Sepuluh menit berlalu ketika Jen sudah selesai menyiapkan bekal dan sarapan, serta sudah duduk manis di meja makan. Amarahnya meledak-ledak lagi ketika Ziba tak kunjung turun. Ia kemudian naik ke atas, membuka pintu kamar Sanee dan Ziba. Menemukan bocah itu sedang menyisir rambutnya pelan-pelan layaknya tuan putri. Jen harus menutup matanya sebentar lalu mengembuskan napas keras-keras, berusaha semaksimal mungkin agar suaranya tidak meninggi.

Mungkin hal itu tidak berhasil, karena Ziba sampai terlonjak ketika mendengar suara Jen. “Sampai kapan kamu mau nyisir rambut? Tahun depan?” tanyanya sarkastis. Ziba lantas buru-buru menyisir dan asal mengucir rambutnya, lalu keluar dari kamar menghindari amukan Jen. Jen ikut turun dan duduk di meja makan, barulah mereka bisa makan dengan tenang.

Namun, lagi-lagi Ziba menjadi yang paling lelet, nasi di piring anak itu masih ada setengah, sedangkan teman-temannya sudah habis semua. Jen mencoba bersabar agar setidaknya ada satu ruang yang tersisa untuk menampung mood baiknya. Mereka menunggu Ziba sampai lima menit lagi, itu pun juga karena Ziba memasukkan nasi ke mulutnya lagi dan lagi bahkan saat belum dikunyah. Ziba cukup tahu diri ditatap kesal oleh tiga orang.

Jen ingin melarang karena takut Ziba tersedak, tetapi dia tahu, waktu sedang tidak berpihak sekarang.

Mereka semua berangkat begitu Ziba selesai makan, Jen harus mengantarkan Sanee terlebih dahulu, baru Ziba dan Agya yang masuk di satu sekolah. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang tiga menit saat mereka turun dari mobil. Jen ikut turun dan berlari mengejar kedua adiknya karena bekal dan topi mereka tertinggal.

“Ziba, Agya, topinya! Kalian ini gimana sih!” Jen tidak lagi memikirkan urat malu, ia berteriak-teriak, meski banyak sekali orang tua siswa di sini. Beberapa orang berbisik-bisik, tetapi lebih banyak yang tertawa. Usai memberikan bekal dan topi kedua beruang itu, baru Jen mengembuskan napas lega dan berjalan santai. Ia tak mengindahkan tatapan beberapa orang. Cukup. Ia sudah cukup kebal untuk merasa malu.

Lalu tiba-tiba sebuah suara menegur Jen. “Anaknya?” Seorang pria berusia empat puluhan dan bertubuh tinggi, membuat Jen yang hanya tinggi seratus lima puluh delapan mendongak pada pria yang ada di sampingnya.

Jen terkekeh geli, memangnya ada tampang-tampang seorang ibu yang mengasihi anak pada wajahnya? Bukannya lebih tepat kalau ekspresi Jen justru ingin memasukkan kedua beruang itu ke koper, dan membuang mereka agar pergi sejauh mungkin dari hidupnya?

“Sepertinya bukan ya.” Pria itu menjawab pertanyaannya sendiri. Jen mengangguk-angguk.

“Saya Arya.” Ia mengulurkan tangan pada Jen. Perempuan itu menatap uluran tangan dan pemiliknya bergantian.

“Janneva, panggil aja Jen.” Jen menyambut uluran tangan Arya, mereka berdua saling tersenyum.

“Mas sendiri, nganterin anak?”

Arya mengangguk-angguk. “Iya, anak saya sekelas dengan Agya. Makanya saya berniat menyapa keluarga Agya, saya pikir ibunya, ternyata kakaknya. Benar?” Kali ini Jen mengangguk. “Karena biasanya bukan kamu yang nganter dan saya belum pernah menyapa keluarga Agya sebelum ini.”

Jen tidak tahu harus merespons seperti apa selain tersenyum dan mengangguk. Melihat hal itu, Arya buru-buru menambahkan. “Oh ya, kamu mau langsung pulang?”

“Iya, Mas Arya sendiri?” tanya Jen senang sekali, saat Arya akhirnya peka terhadap ekspresinya yang tidak tertarik melanjutkan obrolan lama-lama.

“Kamu mau ke mana? Naik mobil sendiri?” tanya Arya lagi.

“Mau ke kafe, kerja. Saya bawa mobil.”

“Maaf, Jen. Boleh saya minta nomor kamu?” Jen terdiam sesaat, tahu bahwa apa yang Arya lakukan sebetulnya tidak perlu dilakukan oleh seseorang yang baru saja bertemu dan tidak akan punya keperluan apa-apa. Namun, Jen tidak menolak, ia tetap memberikan nomor ponselnya. Siapa tahu kebiasaan orang tua wali di sekolah adiknya memang begitu.

“Terima kasih, nanti saya hubungi.”

Jen menaikkan sebelah alisnya bingung, untuk apa pria itu menghubunginya? Mereka tidak punya keperluan apa pun. Namun, Jen tidak ingin berlama-lama memandangi punggung pria itu yang juga kian menjauh. Dia harus segera ke kafe, tempat yang sekarang sama berisiknya dengan rumahnya. Namun, tidak membuatnya gila seperti di rumah menghadapi kelakuan pasukan beruang itu.

Sesaat setelah Jen berada di dalam mobil, ponselnya bergetar.

Kamu tahu, ada yang disebut jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan saya telah merasakannya. Jatuh cinta pada perempuan yang teriak-teriak sampai mukanya merah karena marah. Perasaan yang aneh, tapi saya suka.

Ini nomer saya.

Arya.

Jen terkejut dan tidak percaya pada apa yang ia baca, tiba-tiba bulu kuduknya meremang.

“Astaga, ini cheesy banget sumpah. Itu om-om nggak sadar umur apa ya? Udah married padahal.” Jen menggeleng-geleng. Membiarkan pesan itu teronggok tanpa berniat membalas atau menyimpan nomornya.

**
Haiii, bab ketiga nih. Duh.
Semoga suka ya, selamat bermalam Minggu. Besok libur yayyy.
Buat yang merayakan hari libur sih hihi, karena kalau cuma jomlo mah udah biasa, kalau enggak bisa libur itu yang nelangsa :(

Kalau ada typo kasih tahu aku ya.
Kalau ada saran juga kasih tahu pokoknya.
😘

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang