Esok hari, ketika Sanee sudah selesai mandi dan berkemas, ingatannya berlabuh pada kejadian tadi malam, di mana Jen terlihat sangat pucat sekali. Ia buru-buru keluar dari kamar, sampai membuat Ziba menegurnya karena menabrak tubuh adiknya itu sembarangan.
“Maaf, nggak sengaja,” kata Sanee tanpa menoleh, Ziba berdecih dan melanjutkan aktivitas menyisir rambut.
Sanee berdiri di depan pintu kamar Jen, menimbang-nimbang apakah harus mengetuk pintu itu atau tidak. Ia mengurungkan niatnya dan turun ke bawah kalau-kalau kakaknya itu sudah di sana. Sanee melongokkan kepala ke dapur dan tidak melihat siapa pun ada di sana, ia naik ke atas lagi, benar, pasti Jen ada di dalam kamarnya. Tidak seperti biasa kakaknya itu masih berada di dalam kamar pukul segini.
Sanee mengembuskan napas dan mengetuk pintu kamar itu. Tidak ada jawaban, jantungnya bertalu dan pikiran buruk mulai muncul, manifestasi dari bayangan-bayangan seperti yang ada di film-film yang pernah ia tonton muncul ke permukaan. Ia membuka pintu kamar Jen, untung saja tidak dikunci, matanya menangkap Jen masih bergelung di bawah selimut dengan mata terpejam. Namun, dahi perempuan itu berkerut-kerut, seperti merasa tidak nyaman, mungkin pusingnya tadi malam belum sembuh.
“Kak Jen.” Sanee mendekati Jen, menyentuh kening kakaknya ragu-ragu. Panas, panas sekali kulit Jen. Bibir perempuan itu pucat dengan jemari yang erat menggenggam selimut seolah kedinginan. Sanee bingung, ia tidak pernah merawat orang sakit sebelumnya. Kalau salah satu dari mereka sakit, selalu ada Talita atau biasanya Jen yang akan merawat mereka. Namun, kalau orang dewasa yang sakit, anak-anak harus bagaimana?
Sanee berpikir keras sembari menggoyang-goyang lengan Jen. “Kak Jen bangun dulu.” Sanee hampir menangis, matanya sudah berkaca-kaca, ia tidak tahu harus apa. Benar-benar tidak tahu dan ia semakin panik saat Jen tidak lekas bangun.
Suara Sanee terdengar ke kamar Ziba, membuat anak itu mengernyit dan keluar. Lalu pelan-pelan mengintip kamar Jen dan melihat apa yang sedang terjadi, Ziba mengernyit ketika melihat Jen masih terpejam di atas kasurnya, ia buru-buru mendekat dengan panik.
“Kak Jen kenapa?”
Sanee menggeleng. “Kak Jen sakit, tapi nggak mau bangun. Panggil Agya!” Ziba berlari mengetuk pintu kamar Agya sekencang-kencangnya. Membuat Agya mau tidak mau tak bisa menunda untuk membuka pintu itu, jika tidak ingin pintu kamarnya berakhir mengenaskan.
“Kak Jen.” Ziba tak bisa melanjutkan ucapannya, tetapi anak laki-laki itu langsung keluar kamar menuju kamar kakaknya. Terlintas kata Kenzo terakhir kali kalau kakaknya itu sedang sakit. Agya memang seperti biasa, cepat tanggap.
Mereka bertiga berkumpul di kamar Jen. Kamar itu berisik dengan pertanyaan-pertanyaan kepanikan tiga beruang itu, sampai akhirnya atensi mereka disedot oleh tubuh Jen yang mulai bergerak dengan dahi yang semakin berkerut. Jen mengerang.
“Kalian berisik banget, kepala Kakak jadi makin sakit,” keluh Jen sembari membuka matanya perlahan-lahan. Perih dan semakin sakit saja kepalanya. Ia memicingkan mata dan melihat jam yang menempel di dinding dekat pintu kamar, sudah pukul enam. Jen mendudukkan tubuhnya, berusaha keras menghalau rasa sakit.
“Kalian berangkatnya gimana ya?” lirih Jen bingung. Sanee, Ziba, dan Agya juga terdiam. Mereka baru sadar, bahwa sesederhana berangkat sekolah saja sebetulnya adalah hal yang berarti, perjuangan yang juga berarti dari seorang Jen.
“Apa kita nggak usah berangkat?” usul Sanee, bukan kepada Jen, melainkan kepada kedua adiknya. Mereka tak pernah membolos, jadi wajah mereka menyiratkan kengerian dengan kata tidak berangkat sekolah dalam konteks disengaja. Namun karena kondisinya berbeda, mungkin tidak apa-apa bila mereka membolos sehari.
Di tengah kebingungan, bel rumah berbunyi membuat mereka saling pandang, Jen bahkan sempat berpikir akan turun dari kasurnya spontan ketika mendengar suara bel berbunyi. Namun, Sanee lebih dulu keluar dari kamar Jen dan turun ke bawah buru-buru, berharap yang datang adalah penolong mereka keluar dari masalah pelik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...