Ikan gurame dan adik bayi

1.7K 207 1
                                    

Selama perjalanan, Jen diam saja. Agya dan Ziba lemas sekali karena tadi hanya makan makanan kantin yang sedikit, biasanya mereka sarapan di rumah dan juga jajan di sekolah. Agak-agaknya, mereka kini mulai menyesal memulai perang dengan Jen.

Ziba mencolek Agya, tetapi ditepis oleh anak lelaki itu. Ziba mendengkus dan memalingkan wajah. Suasana hati mereka semua sepertinya sedang tidak baik.

Jen menurunkan Agya dan Ziba di depan rumahnya lalu pergi lagi ke kafe. Agya dan Ziba mendesah karena sudah lapar dan tidak tahu apakah di rumah ada makanan atau tidak. Agya bergegas masuk ke dalam rumah naik ke atas dan mengambil uang di bawah bantalnya, tanpa mengganti pakaian ia turun lagi, berpapasan dengan Ziba di tangga.

"Kamu mau ke mana?" tanya Ziba penasaran.

"Mau ke toko deket sini, pasti jual mi instan. Aku mau beli mi." Agya membayangkan mi masuk ke mulutnya. Rasa khas mi buatan pabrik Indonesia itu terbayang di kepala Agya. Baunya seolah sudah ada di depan matanya.

"Aku, aku, aku juga mau," kata Ziba semringah. Sudah lama mereka tidak makan mi instan. Kata siapa marahan dengan Jen menyusahkan mereka? Mereka tetap bisa makan kok, karena makanan dengan mudahnya bisa ditemukan di mana-mana. Contohnya mi instan, mudah didapat dan mudah dibuat.

Ziba tidak jadi naik ke atas, ia melempar tasnya ke sofa dan berlari mengejar Agya yang buru-buru ke toko dekat tukang sayur tempat mereka belanja waktu itu. Beberapa orang menyapa mereka bahkan ada yang membuat Agya benar-benar harus berhenti di sebuah rumah yang berjarak tiga rumah dari rumah Jen.

"Kalian mau ke mana? Lari-larian pakek seragam sekolah." Itu ibu-ibu yang menyuapi anaknya ketika mereka jalan-jalan di hari Minggu. Ibu yang berbincang akrab dengan Jen seperti teman.

"Emh." Agya menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal, ibu itu pasti tahu bahwa Jen adalah si hobi masak yang pasti tidak akan membiarkan adiknya kelaparan. Jika ia menjawab akan membeli mi, maka, bisa jadi ibu itu akan curiga dan bertanya yang tidak-tidak.

"Kalau nggak sibuk, mampir yuk," tawar ibu itu dengan senyumnya yang lembut. Agya amat bersyukur di dalam hati karena tidak perlu menjawab pertanyaan ibu tadi. "Tante tadi masak ikan gurame sama sambel kentang, kalian udah makan belum? Makan di sini yuk, jangan sungkan. Tante akrab sama kakak kamu karena dulu awal pindah ke sini sering diajarin masak sama dia."

Agya dan Ziba saling berpandangan. Inilah yang disebut perempuan; lembut dan menyenangkan hati ketika memandang. Tidak seperti Jen yang penuh amarah dan meledak-ledak setiap saat. Kedua beruang itu mengangguk-angguk dan mengekor pemilik rumah.

Rumah itu sedikit berantakan, seorang anak kecil sedang berlarian dengan merangkak. Menangkap bola-bola kecil yang apabila terkena tangannya justru memantul dan menjauhinya lagi. Agya terkekeh dan mendekati anak itu dan Ziba ikut di belakangnya. Meringis ngeri ketika melihat anak itu berjalan merangkak dengan cepat. Apa lutut anak itu tidak sakit? Batin Ziba.

"Ayo ke sini, nama kalian siapa? Tante lupa."

"Saya Agya."

"Saya Ziba."

Lalu keduanya tidak jadi mendekati si anak kecil dan kembali ke meja makan.

"Namanya bagus-bagus, sama kayak Kak Jen, namanya bagus. Katanya mama kalian emang suka bahasa latin ya." Agya dan Ziba hanya saling pandang karena tidak mengerti, lalu perempuan beranak satu itu terkekeh. "Ya udah, makan dulu."

"Makasih, Tante," kata Agya ragu. Benarkah tidak apa-apa mereka makan di tempat orang yang tidak mereka kenal begini? Tetapi perut mereka ingin segera menyantapnya. Baru saja sehari bertengkar dan tidak diurusi Jen, mereka sudah merasa seperti anak buangan yang kelaparan.

Rasa masakan perempuan dengan anak satu itu enak. Jen juga pernah memasak ikan gurame untuk mereka, karena ikan adalah kesukaan Sanee. Kakak perempuan kedua mereka itu memang suka sekali jenis ikan-ikanan sampai hafal semua nama ikan. Agya tidak peduli, asal yang memasak Jen, ia akan suka semua.

"Gimana, enak?" tanya perempuan itu yang memperhatikan kedua adik tetangga baiknya makan. Awalnya dia ragu menawari keduanya makan karena Jen pasti sudah masak. Namun, dia tidak menyangka jika keduanya terlihat lahap sekali makan.

"Enak, Tante," jawab Agya sembari tersenyum.

"Enak banget, Tante," kata Ziba riang.

"Tapi pasti masakan kakak kalian jauh lebih enak, kebetulan kakak suka ikan dan minta Kak Jen buat ajarin resep-resep masakan ikan. Kata Kak Jen, adiknya yang pertama juga suka ikan, jadi dia langsung inget ikan gurame."

Agya dan Ziba mengangguk-angguk, tidak menyangka bahwa Jen pernah mengingat mereka di saat sedang tidak bersama. Mereka pikir, Jen justru ingin menyingkirkan mereka bertiga jauh-jauh. Karena mereka tahu bahwa Jen merasa terganggu.

Anak kecil yang tadi merangkak, kini berdiri dengan berpegangan kaki ibunya. Anak kecil itu memiliki wajah yang menggemaskan, kepalanya mendongak dan mengoceh pelan. Mungkin ingin digendong atau semacamnya, Agya gemas sekali melihatnya. Sedangkan Ziba merasa bayi itu malang sekali karena harus mendongakkan kepala, pasti sakit.

"Tante, apa lutut dedek bayi enggak sakit?" tanya Ziba tiba-tiba. Perempuan itu menaikkan alisnya lalu tertawa lirih.

"Tante juga nggak tahu, tapi dedek bayi suka, cuma Tante nggak setiap saat biarin dia merangkak gitu walau dedek bayi suka. Tante kadang harus masukin dedek bayi ke boks," tunjuk perempuan itu ke sebuah tempat di dekat dinding yang dipagari kayu, membentuk persegi yang direkatkan di dinding.

"Kenapa dedek bayi ditaruh sana?"

"Supaya kakinya enggak capek. Dedek bayi suka dan maunya merangkak terus, dia belum tau kalau itu bakal bikin dia capek dan nggak nyenyak tidur. Karena Tante yang tahu, jadi Tante nggak mau dia capek."

"Tapi Dedek bayi, kan, suka main, Tante. Apa nggak sedih kalau ditaruh di kurungan?" tanya Ziba polos dengan wajah memelas.

"Yang penting Adik bayi nggak capek, di sana juga Tante kasih mainan supaya adik bayi sama-sama senang. Tinggal diatur aja gimana buat dedek bayi senang dan nyaman mainnya. Semua ibu tahu yang terbaik buat anaknya, ibu kalian pasti juga dulu begitu."

Mereka saling pandang lalu menggelengkan kepala.

"Loh kenapa?"

"Kata Mama, dulu waktu kami kecil yang jagain Kak Jen," jawab keduanya dengan suara lirih di akhir kalimat.

"Kakak kalian pasti sayang banget sama kalian."

Agya dan Ziba diam saja sembari menghabiskan makanan mereka. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengganjal ulu hati mereka.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang