Ketika Jen sudah mampu menerima kenyataan bahwa pasukan beruang akan tinggal di rumahnya mulai sekarang, Talita bertanya kamar mana yang bisa para beruang itu tempati. Agar setidaknya Talita bisa membantu membereskan baju mereka sebelum pergi ke bandara nanti.
“Aku mau tidur sendiri.” Agya merasa harus menegaskan, karena dia memang lebih suka sendirian.
“Aku juga,” sahut Ziba.
“Aku sendiri.” Sanee ikut-ikutan.
“Kamarnya cuma ada tiga, Sayang. Iya kan, Kak?” tanya Talita pada Jen. Jen mengangguk membenarkan, sambil melipat kedua tangan di depan dada dan menaikkan sebelah alisnya ke pasukan beruang itu.
“Aku harus sendiri,” tegas Agya sekali lagi. Anak lelaki Talita satu itu memang paling tidak suka direcoki.
“Ma, aku juga mau kamar sendiri kayak di rumah,” rengek Ziba. Sedangkan Sanee terdiam sembari menundukkan kepala. “Agya ngalah dong. Tidur sama Kak Sanee, kalian, kan, sama-sama suka diem. Jadi pasti nyaman deh berdua.” Ziba mencoba membuat situasi berpihak padanya.
“No, aku sendiri, titik,” kata Agya sembari memalingkan wajah dan melipat kedua tangan di atas dada.
Kan? Baru saja Jen bilang bahwa ketiga beruang itu akan membuat rusuh. Memang sih wajah mereka menggemaskan siapa pun yang melihat. Namun, mereka sungguh tak bisa diam. Tidak hanya mulut, melainkan tubuh juga.“Agya kapan sih mau ngalah sama aku? Sekali ini aja, cuma buat setahun kok. Iya, setahun,” cicit Ziba merasa tidak yakin dengan kata-katanya sendiri. Setahun itu lama, dia menyadarinya. Tak mungkin Agya bisa ditipu, dan itu membuat Ziba tidak punya akal lagi, satu-satunya cara adalah merengek pada Talita.
“Kenapa aku harus ngalah?” jawab Agya tak terima sembari menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti. Mengapa juga ia harus mengalah? Memperjuangkan kebebasan, kan, hak segala bangsa dan Agya sedang mempraktikkan hal itu. Haknya untuk tidur sendiri, bagaimana bisa Ziba meminta dia tidur dengan Sanee? Mereka, kan, beda jenis kelamin.
“Mama,” rengek Ziba sembari menarik-narik baju Talita.
“Oke diem!” Jen yang tidak sabar dan memang dasarnya suka naik pitam jika sudah berhadapan dengan ketiga adiknya, berteriak. Teriakan yang membuat telinga berdengung sampai Talita menutup telinganya.
Diteriaki begitu oleh Jen, pasukan beruang itu langsung terdiam. Mereka tahu kalau sudah teriak, berarti Jen sudah di ambang batas kesabaran. Dan itu sangat menyeramkan. Mereka cukup sadar diri untuk tidak mencari masalah, walau terkadang kesadaran diri itu terkikis oleh sikap kekanak-kanakan mereka.
“Ziba, kamu, kan, cewek, tidur sama Sanee. Agya biar tidur sendiri. Nggak mungkin, kan, Kakak yang ngalah tidur di sofa? Ngarep banget kamu? Setahun itu lama tahu!” cerocos Jen sembari berkacak pinggang. Agya memutar bola matanya melihat Jen sudah beraksi seperti itu, Sanee diam saja memperhatikan, sedangkan Ziba mencebikkan bibir.
“Kak Jen itu galak banget,” celetuk Agya tiba-tiba, dia lantas menutup mulutnya ketika semua orang di sana beralih menatapnya. Terlebih Jen, telinganya seperti mengeluarkan asap. Matanya sudah melotot dan siap menerkam Agya.
“Apa kamu bilang?” Jen maju dan menjewer telinga Agya sampai anak lelaki itu meringis. Talita ikut meringis melihat pertengkaran itu. Untung saja dia tidak punya penyakit jantung atau asma. Sehingga aman baginya untuk melihat anak-anaknya bertengkar seperti itu setiap saat, jika bertemu.
Talita maju dan melepaskan jeweran Jen di telinga Agya. “Jen!” tegur Talita. Jen mencebik dan berdecak, lalu menghentak-hentakkan kakinya kesal. Talita menggeleng, betapa anaknya ini hanya tubuhnya saja yang dewasa, kelakuannya benar-benar seperti anak kecil.
“Nggak ada yang boleh protes, ayo ke atas, ke kamar masing-masing,” putus Jen sembari menaiki tangga lebih dulu. Keempat orang lainnya mengikuti Jen naik ke lantai atas. Agya kesusahan membawa tas serta PS-nya. Padahal Talita sudah bilang untuk tidak perlu membawa barang-barang semacam itu agar tidak merepotkan.
Namun Agya bersikeras. Lagi pula, berteman apalagi dia di rumah Jen yang tampak membosankan tanpa ada suatu hal yang bisa dimainkan? Tidak seperti rumah Talita yang penuh dengan mainan anak-anak.
Usai membereskan barang di kamar masing-masing. Ziba mau tidak mau harus menerima keputusan terakhir Jen. Sebab mau bagaimanapun rumah ini adalah rumah Jen. Sanee terdiam sejak tadi. Sedangkan Agya, keluar dari kamar paling akhir karena barang bawaannya lebih banyak dari barang bawaan kakak-kakak perempuannya.
--
Jen memutuskan untuk mengantar Talita ke bandara. Sanee, Ziba, dan Agya kali ini setuju dengan usulan kakak tertua mereka. Talita memperbolehkan mereka untuk mengantarnya. Perjalanan itu benar-benar mereka nikmati dengan sepenuh hati karena selama satu tahun nanti tidak akan bisa bertemu. Mereka mengobrolkan banyak hal, didominasi dengan Talita yang bertanya apakah kafe Jen ada kendala yang berarti.
Lalu sampai pada suatu perbincangan menyebalkan bagi Jen.
“Kenapa kita enggak tinggal di rumah aja sih? Kan, kita jadi nggak perlu bingung begini,” celetuk Ziba kesal, masih tidak terima, mengapa ia harus berbagi kamar? Padahal jika di rumah, ia punya kamar sendiri. Sanee mengangguk-angguk setuju dengan perkataan Ziba.
“Kalian mau kelaperan di rumah sendiri? Nggak ada yang jagain, nggak ada yang ngurus?”
“Sekarang apa-apa gampang kalik, Kak. Kan, bisa pesen kalau makan, kalau nyuci tinggal laundry, kalau bersih-bersih ya tinggal pesen go-clean. Beres,” jawab Agya sambil memainkan ponselnya.
Jen kesal sekali, adik-adiknya itu pintar menjawab perkataan orang tua. Tidak ada sopan-sopannya sekali. Memang sih ketiga anak itu hidup dalam kemewahan sejak kecil, walau pernah merasakan susah pun di saat mereka belum mengerti-mengerti sekali. Namun, justru itulah yang membuat Jen tidak suka. Dia tidak ingin adik-adiknya jadi menyepelekan banyak hal.
“Kalian itu.” Jen mengeraskan suaranya sampai ketiga beruang itu memfokuskan atensi mereka pada kakak tertua mereka. “Bisa nggak sopan sedikit? Bisa nggak?” tanya Jen marah. Fokusnya pecah sampai membuat Talita ngeri jika mereka akan menabrak sesuatu atau bahkan tidak bisa sampai bandara. Masalahnya, Talita butuh proyek ini untuk dana pensiunnya, tabungan untuk anak-anaknya.
“Hati-hati, Jen. Kamu lagi nyetir.” Talita memukul lengan Jen, membuat gadis itu mencebikkan bibir. Talita memang selalu kejam padanya, sedangkan pada ketiga beruang menyebalkan itu selalu tidak tega untuk memarahi.
Benar-benar pilih kasih, kan?
Ketiga beruang itu nampak menahan tawa, senang sekali setiap melihat Jen dimarahi oleh Talita seperti itu. Mereka merasa menang dan dibela. Sayangnya Jen makin tidak suka dengan perlakuan sang mama, membuat ketiga adiknya jadi menyepelekan.
“Mama harus lebih tegas sama mereka,” tegas Jen pada sang mama entah sudah berapa ratus kali.
Lalu Talita dengan santainya juga akan selalu menjawab seperti ini, “Kamu dulu juga nakal banget waktu masih kecil, Jen. Mungkin bagi kamu enggak, mungkin bagi kamu itu bukan satu dari wujud kenakalan. Begitu juga bagi mereka. Mama tahu mereka enggak nakal. Kamu sendiri juga tahu itu, kok. Cuma kamunya aja yang sensian.”
Kalau sudah begitu Jen akan merutuk panjang pendek kenapa dia harus menjadi seorang kakak dan tidak menjadi adik saja. Walau ini semua hanya masalah paradigma, tetapi tetap saja kenakalan pasukan beruang itu mengganggunya. Harusnya Talita adil, semua orang berhak damai dengan caranya sendiri.
“Terserah Mama,” putus Jen akhirnya. Perempuan itu ngambek dan semakin membuat ketiga adiknya senang, cekikikan di kursi penumpang, kecuali Agya.
**
Hai, gimana bab 2? Hehe.
Kuharap kalian senang bertemu Sanee, Ziba, dan Agya ya.
Mereka beruang lucuku. Aku sayang mereka dan kuharap kamu juga.Aku akan sangat berterima kasih jika kamu mau meninggalkan jejak setelah membaca bab ini.
Tinggalkan kritik dan saran juga tidak apa-apa.Sampai jumpa di bab selanjutnya ya.🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...