Mengambil hati beruang

1.6K 177 0
                                    

Pagi-pagi Jen sudah di dapur membuat sarapan untuk dirinya sendiri. Dia kelaparan, badannya jadi lemas, karena sejak kemarin tidak ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Waktu masih menunjukkan pukul setengah enam pagi, tetapi dia sudah asik di dapur, menyiapkan makanan yang paling bisa cepat jadi saja.

Sanee turun melihat Jen sedang melahap masakannya. Sanee kemarin hanya makan bakso dan jajanan. Sedangkan dua beruang itu sudah sempat makan di tempat tetangga mereka, jajan bakso, dan juga makan camilan. Sanee menatap Jen dan makanannya bergantian dengan mata penuh harap.

“Kenapa jam segini udah turun?” tanya Jen pada Sanee, ia tahu bahwa adiknya itu lebih dewasa dari kedua adiknya yang lain.

“Laper,” katanya, lalu duduk di depan Jen. “Bisa nggak sih, Kak Jen jangan marah ke kita lama-lama?”

Jen mendengkus, lalu menyerahkan piringnya pada Sanee yang segera diambil dengan mata berbinar-binar. Sembari melihat adik tertuanya itu makan, ia menggeleng-geleng. “Kalau nggak dari sekarang mereka berusaha sopan dan menghargai orang, kapan lagi? Kak Jen enggak marah, cuma melakukan apa yang kalian pengen. Nggak mau diatur? Oke. Kalian pikir bisa ngelakuin semuanya sendiri? Oke. Kakak mau kasih lihat ke kalian.”

Sanee tidak menjawab, dia menghabiskan makanan Jen dengan lahap. Jen berdiri dan pergi, masuk ke kamarnya dan segera mandi. Usai ia mandi, Sanee juga sudah selesai mandi dan siap berangkat sekolah. Sedangkan kedua adiknya yang lain masih memakai seragam dengan lesu. Namun, ketika melihat Jen, mereka pura-pura bergerak cepat dan biasa saja.

Mereka kemudian turun dan masuk ke mobil Jen. Sebelum itu, Jen memberi uang saku kepada mereka. Hari ini agak dilebihkan olehnya, supaya mereka bisa makan di luar. Anggap saja itu uang makan dari Talita yang tidak mereka ambil, jadi Jen mengembalikannya lagi kepada mereka.

Ziba dan Agya senang bukan main.

Namun, tetap saja makan di luar berbeda dengan makan di rumah. Tidak bisa bebas makan sebanyak-banyaknya, walau hanya ingin tambah nasi. Lando bahkan sempat memergoki mereka berdua masih ingin menambah makan lagi, tetapi melihat uang saku di kantong sudah habis akhirnya kakak beradik itu harus pasrah menerima kenyataan.

Sedangkan di kafe, Jen tampak pucat dan lesu. Karyawannya terlihat khawatir dengan bos mereka yang tidak sesemangat biasanya, bahkan sesekali tampak mengurut dahi. Kepala Jen terasa benar-benar pusing, tetapi begitu melihat pengunjung semakin ramai dia tidak ingin memanjakan rasa pusingnya.

Walau begitu tetap saja ia akhirnya tumbang. Salah satu karyawannya membawa Jen masuk ke ruang kerja perempuan itu. Ia tidak mengerti kenapa bisa drop begini, padahal hanya tidak makan sehari, itu juga Jen sudah mencicip selama memasak, sudah minum banyak, hanya tidak nafsu untuk benar-benar duduk di kursi dan menikmati makanan yang terhidang di meja. Itu saja.

Mungkin efek stres bisa jauh lebih berkali lipat membuat badan menjerit-jerit daripada kelaparan itu sendiri. Jen tiduran di sofa yang ada di ruang kerjanya. Mata perempuan itu terbuka sembari menatap atap-atap, tetapi pikirannya berkelana jauh sekali.

Ke masa lalu, tepat setelah Talita melahirkan anak terakhir dan menjadi janda ketika suami keduanya meninggal. Talita begitu kurus dan tidak terurus, pakaiannya itu saja, bahkan mereka harus makan dengan menu makanan yang tidak bisa memilih. Selain nasi, tempe, tahu, bayam, daun ubi jalar. Untuk memasak semua itu, mereka tidak bisa memakai bumbu dapur, rempah-rempahan, atau bawang-bawangan.

Sayur ya hanya sekadar sayur, air, dan bumbu penyedap yang harus diirit-irit. Sedangkan tempe dikukus, karena mereka tak bisa beli minyak goreng. Membeli minyak goreng hanya akan membuat pengeluaran jauh lebih banyak. Belum listrik, uang air, dan keperluan sekolah Jen.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang