Jen marah

1.6K 195 0
                                    

Malam hari di saat Jen pulang, ia melihat ketiga adiknya duduk di sofa ruang tamu sembari menonton TV. Ia masuk begitu saja tanpa menyapa atau berkata-kata kendati melihat tiga bungkus jajanan tergeletak begitu saja di lantai. Ia berusaha menahan diri untuk tidak marah.

Pasalnya, dia merasa bahwa tiga beruang itu memang tidak ingin lagi ia kekang. Maka sebagai manusia yang beradab, sudah sepantasnya Jen tidak lagi mengekang mereka bukan? Bahkan sampai mereka tak mau makan masakannya, untuk apa Jen memasak lagi?

Jika itu yang diinginkan mereka maka Jen akan lakukan dengan senang hati. Ia tahu betul bahwa ketiganya rutin makan tiga kali sehari sejak dulu, telat sedikit saja, mereka akan kelaparan. Karenanya Jen menguji, apakah mereka akan menyesali perkataan masing-masing atau tidak.

Sedangkan di ruang tamu, ketiga beruang mendesah berat, perut mereka benar-benar butuh diisi, di kulkas ada berbagai bahan masakan. Namun, jangankan tahu apa fungsi masing-masing bahan dan cara mengolahnya, menghidupkan kompor saja ketiganya masih takut.

Mereka benar-benar kelaparan sekarang, ingin pesan makan, tetapi uang jajan sudah berkurang habis-habisan. Tadi pagi sudah dipakai untuk membeli sarapan di sekolah, lalu tadi sore mereka juga sudah beli bakso. Namun, tetap saja belum kenyang dan jam segini sudah lapar lagi.

“Kak Jen emang tega banget ya, dia nggak ada sayang-sayangnya sama kita,” celetuk Ziba kesal.

“Kak Sanee nggak punya uang?” tanya Ziba berusaha mencari apa pun kemungkinan agar mereka bisa makan.

“Ada di ATM. Tapi ini udah malem, gimana mau ngambilnya?”

“Kak, sekarang itu ada bank mobile. Kak Sanee harusnya daftarin rekening Kakak dari dulu supaya bisa buat beli online gampang.”

“Emang kalian punya?” tanya Sanee tak terima, Ziba dan Agya menggeleng, Sanee mendengkus kepada adik-adiknya. “Ini tuh salah kalian, kenapa coba pakek acara nggak mau sarapan segala dan bilang yang enggak-enggak sama Kak Jen? Tahu rasa, kan, sekarang! Mana aku harus ikut-ikutan kena lagi,” gerutu Sanee, ia menarik napas panjang pendek karena kesal, matanya memicing melihat Ziba dan Agya.

“Kenapa jadi nyalahin kita?” teriak Ziba pada Sanee, ia sekarang berdiri sembari berkacak pinggang.

“Terus nyalahin siapa? Anak tetangga?” tanya Sanee sarkastis, memalingkan wajah dari adik perempuannya yang paling menyebalkan seluruh dunia. Kenapa juga dia harus punya adik menyebalkan seperti Ziba? Wajar saja Jen kesal, dia juga kesal, Agya pun pasti juga kesal pada Ziba.

“Salahin Kak Jen, kenapa dari dulu suka ngatur-ngatur kita, ngelarang ini itu, bawel banget, dan lagian Kak Jen emang nggak sayang sama kita. Terus aku harus diem aja gitu?”

“Aku juga nggak sayang sama kamu, Ziba. Kamu ngeselin dan cerewet, lemot lagi. Siapa yang bakal sayang sama kamu emangnya? Semua orang juga kesel sama kelakuan kamu yang ngeselin nggak udah-udah. Iya, kan, Agya?” tanya Sanee berusaha membuat Ziba mengerti bahwa di sini yang salah adalah dia, yang salah mereka. Bukannya terus menyalahkan Jen.

“Iya sih,” jawab Agya ragu. “Kadang-kadang aku juga kesel.”

Mata Ziba berkaca-kaca dipojokkan begitu, bibirnya sudah terkulum ke dalam. Wajahnya yang putih dan tembam membuat rona merah muncul ke pipi dan hidungnya. Satu air mata lolos. “Kalian juga nggak sayang sama aku? Kalian juga sebel sama aku? Kenapa sih kalian yang harus jadi saudaraku, enggak banget tau nggak!” teriak Ziba kesal, kemudian ia naik ke atas meninggalkan Sanee dan Agya.

Mereka berdua mengembuskan napas berat. Saling diam dan menyandarkan punggung masing-masing di sofa.

“Kamu tahu, kan, kalau ini salah kita?” tanya Sanee pada Agya.

“Ya, kupikir sekarang gitu sih, Kak. Tapi, aku juga masih kesel sama Kak Jen. Aku juga merasa Kak Jen nggak sayang sama kita, dia suka banget marah-marah sama kita, kan? Bahkan seneng banget kalau kita menderita, bangunin kita Minggu-minggu,” kata Agya lirih sembari mengingat kembali perangai Jen yang tidak pernah halus kepada mereka.

“Tapi, bukan berarti kita harus sepelein masakan Kak Jen. Masak, nganterin kita, jemput kamu sama Ziba. Bahkan ngurus kita itu nggak gampang, seharusnya kita juga harus pikirin itu.”

Agya terdiam, meresapi itu, benar juga apa yang dikatakan Sanee. Namun, ketika sudah berhadapan dengan Jen, perasaan itu hilang entah ke mana. Tak berbekas, seolah tekadnya untuk memahami Jen tidak pernah ada sebelumnya.

Mereka berdua kemudian naik ke atas, masuk ke kamar masing-masing. Sanee menemui Ziba yang sudah bergelung di balik selimut sembari menutup kepalanya sampai tidak terlihat. Ia mendesah dan langsung naik ke sisi sebelah Ziba. Agaknya malam ini akan menjadi malam yang panjang ketika harus tertidur dengan keadaan perut yang lapar.

“Ziba, bisa nggak kita udahin aja marahnya? Kamu minta maaf sama Kak Jen? Nggak enak, kan, tidur sambil laper begini.”

Sanee tahu adiknya belum tidur, terdengar dari isakan di balik selimut itu. Bagi Ziba permintaan Sanee itu lebih kepada egois, karena anak itu berpikir Sanee dan Agya merasa bahwa dirinyalah yang salah dan menyebabkan mereka kelaparan. Ia jadi semakin marah dan menyalahkan Jen, karena harus bertengkar dengan dua saudara yang sangat disayanginya. Padahal selama ini keduanya yang selalu ada untuk Ziba, di saat Jen bahkan sudah pergi dan meninggalkan rumah.

Satu jam setelah itu, Ziba tertidur lebih dulu disusul Sanee. Mereka tidur dalam keadaan perut yang kosong. Diam-diam tadi Jen menguping semua pembicaraan mereka dari masih di ruang tamu sampai naik ke kamar. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan hampa, sama seperti ketiga beruang itu, Jen kelaparan karena seharian ini lupa makan.

Ketika henda makan, yang teringat adalah rasa kesalnya kepada ketiga adiknya. Sehingga membuatnya enggan untuk menyentuh makanan.

Walau sebetulnya jika Jen mau sedikit mengakui, ia tidak tega untuk makan karena membayangkan adiknya yang kelaparan. Begitu saja, sesederhana itu perasaannya. Namun, ego terkadang membuat semuanya menjadi lebih rumit.

“Dasar beruang, ngeselin!” gerutu Jen sebelum lelap dalam tidurnya malam ini.

Pada dasarnya mereka hanyalah sedang mencari perhatian satu sama lain. Mereka hanya sedang mencaritahu apakah satu sama lain saling menyayangi. Mereka sebetulnya hanya sedang menunjukkan kasih sayang masing-masing. Namun, ego menutupi semuanya.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang