Usai sarapan, Sanee naik ke atas, memilih untuk masuk ke kamar dan berselancar di internet. Sedangkan Agya tentu mengajak Lando untuk naik ke kamarnya bermain game, sedangkan Ziba tetap di kursinya memperhatikan Arya ke mana pun pria itu pergi. Seperti saat ini ketika Arya sedang mengekor Jen yang mencuci piring-piring kotor.
“Mau saya bantu?” tanya Arya tepat di sebelah telinga Jen membuat perempuan itu terkejut setengah mati karena tadi sedang asik melamun. Melamunkan imajinasinya yang berharap rumah ini sepi tanpa penghuni seperti sedia kala dan hanya ada dirinya di sini. Berharap ketenangan bisa segera ia dapatkan.
Walau tahu itu adalah hal yang mustahil karena Talita baru saja pergi dan akan pulang tahun depan. Tiba-tiba, satu tahun yang terasa cepat kini terasa sangat lama sekali untuk Jen, karena harus menikmati rumah dengan ketiga beruang yang menyebalkan. Sudah pekerjaannya bertambah, pengeluarannya bertambah, ya walau setiap bulan Talita akan mengirim sejumlah uang dan tips untuk Jen.
“Mas Arya bisa enggak jangan ngagetin? Nanti kalau saya jantungan gimana?” tanyanya kesal.
“Saya nggak ngagetin,” elak Arya.
“Terus barusan apa?” tanya Jen tak terima.
“Saya udah di belakang kamu sejak beberapa menit sebelumnya, salah siapa kamu melamun?” jawab Arya sembari tersenyum lebar tanpa rasa bersalah, Jen semakin kesal, ia mengabaikan pria itu dan menggosok seluruh piring cepat. Membilasnya secepat yang ia bisa, walau Jen takut kalau piring itu jatuh.
Setelah selesai, ia naik ke atas dan Arya masih mengekorinya. “Mau ke mana, Jen?” tanya Arya dengan kedua alis menukik naik.
“Mau ke kamar, tidur,” jawab Jen cuek.
“Terus saya?” Jen mengernyitkan dahinya, ingin sekali memukul kepala pria yang ada di hadapannya ini. Dia? Memangnya apa urusannya dengan Jen. Dia yang ingin di sini, seharusnya dia mengurus dirinya sendiri. Mengapa Jen harus repot-repot memikirkan pria itu juga?
Jen mengedikkan bahunya kepada Ziba. “Bisa main sama Ziba,” kata Jen dan berlalu dari hadapan Arya.
“Ziba, mau dengerin Om Arya baca buku?” tanya pria itu, biasanya ia juga membacakan buku pada Lando untuk menghabiskan waktu bersama. Buku berbahasa inggris yang ia terjemahkan secara langsung. Layanan premium seorang ayah tampan nan memesona. Siapa yang bisa menolak?
“Buku?” tanya Ziba ngeri.
“Iya, kita bisa baca buku. Itu permainan paling seru yang pernah Om temukan saat masih anak-anak.” Memang Arya juga sering dibacakan buku oleh ayahnya dan ia senang sekali. Lalu menganggap semua anak juga akan menyukainya, untung saja Lando suka. Namun, tentu tidak dengan Ziba.
“Emh, aku mau ke atas aja deh Om, sama Kak Sanee,” kata Ziba dengan nada tidak enak. “Nggak apa-apa, kan, Om?”
“Nggak apa-apa,” kata Arya masih dengan senyumnya yang memesona. Memang kenapa kalau Ziba tidak mau? Siapa juga yang bisa memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu? Kecuali Jen sih, Arya akui perempuan itu senang sekali memaksa adik-adiknya untuk melakukan ini itu. Mungkin karena Jen sedikit mengerikan sehingga adik-adiknya tidak berani membantah perintah perempuan itu. Walau begitu, Arya tetap suka dan memikirkannya saja membuat ia terkekeh.
“Kenapa Mas Aya ketawa sendiri?” Jen tiba-tiba berada di sampingnya, Arya terkejut. “Yailah, Mas. Gitu aja kaget.”
“Kok kamu di sini? Tadi katanya di atas?”
Jen menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Yang tadi bilang mau main sama Ziba siapa? Anak itu jadinya ke atas terus ribut sama Sanee, di atas berisik banget.” Jen turun sepenuhnya dari tangga dan berlalu ke ruang tamu. Membawa laptop dan earphone. Menaruh kedua benda itu di atas meja ruang tamu lalu ke dapur.
Jen mengeluarkan blender dan buah apel dari kulkas. Matanya menangkap sosok Arya yang tengah duduk di sofa. Ia mendesah. Setidaknya pria itu tidak berisik seperti anak-anak bukan?
“Mas Arya mau jus apel?” tanya Jen terpaksa. Arya mengangguk-angguk. Jen kesal, seharusnya Arya pura-pura saja tidak mau, kan? Lebih enak untuk mereka berdua. Menyebalkan sekali.
Jen membuat jus apel untuk dua porsi. Kemudian mengeluarkan jagung untuk membuat popcorn tanpa pemanis apa pun. Setelah jadi semua, perempuan itu membawa nampan dengan dua gelas jus apel dan setoples popcorn. Jen tidak mengambilkan gelas jus apel itu dan menaruhnya di depan Arya, toh pria itu sudah tahu bahwa jus itu untuk dirinya.
“Makasih,” katanya manis sekali. Menyebalkan karena membuat Jen terpaku beberapa saat.
Jen menyalakan laptop dan mulai menonton drama Korea. Arya memperhatikannya, tetapi ia abaikan. Anggap saja tidak ada siapa-siapa di sana. Kalau tidak begitu, Jen tidak akan bisa menikmati hari Minggu yang akan usai dengan segera.
“Kamu suka Korea?” tanya Arya, Jen berdecak lalu melirik pria itu. Arya sadar bahwa ia telah melakukan sebuah kesalahan, yaitu mengganggu perempuan yang sedang asik menonton drama. Ia pun mengunci mulutnya rapat-rapat dan memutuskan untuk memperhatikan Jen yang asik menonton dramanya dengan penuh penghayatan. Ketika sedih, ia akan menitikkan air mata. Ketika lucu, perempuan itu akan tertawa. Bahkan ketika biasa saja, ekspresi Jen di mata Arya tetap menyenangkan untuk ditatap.
Tidak rugi baginya untuk membuang rasa malu di depan perempuan itu. Karena saat ini ia dapat melihat bermacam-macam ekspresi Jen.
Sebab Jennya—kalau boleh dia bilang begitu, walau jika perempuan itu tahu pasti tak akan membiarkan Arya melabeli dirinya sesuka hati—adalah perempuan paling manis yang pernah ia lihat. Kendati tidak suka mekap, kulitnya cokelat dan tidak sesuai stereotip kecantikan masyarakat, bagi Arya itu justru punya nilai seni lebih. Cantik dan tampak memukau tanpa berusaha untuk cantik.
Ketika tangan Jen menggapai-gapai jusnya, Arya dengan sigap memberikannya tanpa perempuan itu sadari karena terlalu larut menonton. Bahkan ketika wadah popcorn di sebelah Jen terguling, Arya dengan senang hati membereskannya, supaya Jen tidak terganggu dari menonton dramanya.
Arya melakukan itu karena sadar, dirinya sudah membuat hari bersantai Jen di rumah jadi kacau. Hanya ini yang bisa Arya lakukan, sebab jika disuruh pergi, ia tidak akan mau. Apakah ini yang disebut cinta? Padahal selama sembilan tahun ini ia baik-baik saja sendirian dengan Lando tanpa merasa gejolak apa pun.
Arya tiba-tiba tertidur saat sedang memperhatikan gadisnya. Mungkin lelah karena semalaman begadang mengerjakan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Karena entah kenapa sejak bertemu Jen yang ada di pikirannya hanya gadis itu, sehingga ia tidak begitu bisa fokus di kantor.
Jen memperhatikan Arya yang sedang tertidur, awalnya wajah perempuan itu kesal. Namun, ketika melihat wajah damai Arya, Jen jadi tidak bisa kesal. Wajah itu benar-benar ungkapan dari kata tampan yang menawan. Benar yang dikatakan Ziba, Arya tampak seperti artis korea yang ia sukai.
Apalagi alis Arya yang tebal dan menyatu. Ingin sekali rasanya Jen menyentuhnya. Baru saja ia hendak mengulurkan tangan. Bel rumahnya berbunyi, Jen segera bangkit karena takut bunyi bel mengusik tidur Arya sembari menerka siapa yang datang.
Jen membelalak begitu melihat siapa yang datang. Berbeda dengan Jen, orang itu tersenyum semringah dengan kedua tangan yang merentang mengundang Jen untuk masuk ke dalam dekapannya.
“Halo, Sayang,” sapa orang itu.
“Ken?”
“Kamu kok kayak kaget banget begitu, Jen?” tanya Ken dengan sebelah alis yang menukik curiga.
“Kenapa kamu di sini? Nggak bilang-bilang lagi,” kata Jen basa-basi berusaha mengulur waktu, ia saat ini sedang bingung sebab ada Arya di dalam. Apalagi pria itu sedang tidur di samping laptop dan camilan Jen. Apa yang akan Ken pikirkan jika melihat ia duduk bersama pria itu? Sampai tertidur pula.
“Aku udah telpon beberapa kali tapi nggak kamu angkat, Jen. Ini aku nggak disuruh masuk?” Ponsel Jen memang ada di kamar.
“Emh.” Jen tampak bingung. Belum selesai kebingungannya, sebuah suara membuat Jen merasa ingin tenggelam saja di rawa-rawa kalau bisa. Apalagi melihat wajah Kenzo berubah keruh. Minggu yang menyebalkan. Lebih baik Jen pergi ke kafe sejak pagi kalau begini. Penyesalan memang selalu berada di akhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...