“Kenapa dia di sini?” tanya Kenzo dengan nada suara tidak enak pada Jen.
“Ini rumah kamu?” tanya Arya tidak mau kalah.
Sebelum perang terjadi, Jen menengahi adu tatap itu dengan menggamit lengan Kenzo. “Masuk dulu ya?” ajak Jen semanis mungkin, Kenzo tidak bisa menolak ajakan bernada manja seperti itu. Dia lemah sekali dengan wajah manis yang jarang-jarang ditunjukkan oleh Jen. Diam-diam Arya merasa kesal, ada yang ngilu di hatinya.
Jen dan Kenzo masuk ke dalam rumah, mengabaikan Arya yang masih berdiri di sana. Pria itu mendengkus geli, mengasihani diri sendiri, sekaligus menyadarkan dirinya. Sebetulnya apa yang ia cari di sini? Ia bisa saja pergi setelah mengantar Lando tadi.
Jelas-jelas Jen tidak suka padanya, kenapa ia masih harus memaksa? Arya mengembuskan napas kesal lalu memilih duduk di teras rumah sembari mengeluarkan rokok yang ada di saku kemejanya. Namun, kekesalan tampaknya tahu mana pria tampan sehingga tidak mau membiarkan Arya tenang. Korek, ia butuh korek dan ternyata tertinggal di rumah.
“Shit!” maki Arya pada ... entah pada apa. Mungkin pada perasaannya yang bodoh atau pada dirinya yang sebetulnya bodoh, tetapi pura-pura pintar saja.
“Ngapain di situ?”
Arya menoleh ketika mendengar suara di belakang punggungnya, menemukan Jen sedang menatapnya bingung. Lalu melihat rokok di tangan pria itu dan mengernyitkan dahi. Ia menghela napas lalu mengambil rokok di sela-sela jari Arya.
“Mas Arya kalau mau merokok seenggaknya harus di radius yang cukup jauh dari lingkungan sini. Saya nggak suka udara di rumah saya juga harus kotor seperti di luar sana. Kalau di rumah, saya mau udara di rumah bersih. Jadi, rokok ini boleh saya buang?”
Arya berdiri, lalu merebut rokok itu lagi. Dibuang? Yang benar saja, rokok ini mahal. Inginnya ia berkata begitu, tetapi melihat wajah Jen, dia jadi tidak berani mengatakan apa yang ada di pikirannya. Seperti ada sihir di mata gadis itu sehingga membuat siapa pun tak berani membantah. Atau jangan-jangan, ini sihir cinta dan hanya berlaku bagi yang mencintai gadis itu?
“Maaf, saya nggak akan merokok di sini,” kata Arya patuh.
“Kalau di luar bakal merokok?” Namun agaknya Jen ingat bahwa itu adalah hal pribadi yang tidak bisa ia campuri. “Oh, maaf, saya kelewat batas sepertinya,” kata Jen kemudian.
“Nggak apa-apa.” Arya tersenyum. “Saya suka.” Jen terdiam, dia betul-betul tidak sanggup jika harus dibombardir begini oleh Arya.
“Masuk Mas, jangan di depan rumah begitu, nanti saya dikira nggak sopan sama tamu. Tapi kalau Mas Arya mau pulang nggak apa-apa, nanti aja lagi ke sini kalau Lando udah mau pulang.”
Arya tampak berpikir, ia ingin pulang sih agar tidak perlu menyaksikan perempuan yang ia sukai bermesraan dengan lelaki lain. Hanya saja kalau dia tidak di sana, pasti akan terjadi banyak hal yang tidak diinginkan di antara kedua orang itu.
“Saya nunggu Lando aja, udah janji. Janji harus ditepati, kan?” tanya Arya, membuat Jen tidak bisa lagi mengelak dan membiarkan pria itu masuk ke dalam meninggalkannya begitu saja.
Oh, Jen jadi merasa kalau rumah ini bukan lagi rumahnya. Melainkan tempat perkumpulan untuk semua orang sehingga siapa pun sekarang bisa masuk sesuka hati. Jen ingat betul bagaimana rumahnya adalah rumah paling sepi, karena jarang ditempati dan tidak ada yang mengunjungi. Selain dia dan asisten rumah tangga yang dua hari sekali ke sini untuk membersihkan sesuatu atau memperbaiki sesuatu.
Arya masuk ke dalam dan melihat Kenzo sedang duduk di tempat tadi ia tidur. Menyingkirkan ponsel yang ia taruh di sana ke ... mata Arya mencari-cari beberapa barangnya yang tadi di sana. Ponsel dan dompet, tetapi tidak ada.
“Nyari dompet sama hp?” tanya Kenzo tanpa rasa bersalah sama sekali. “Saya taruh di ruang makan.”
Arya ingin protes, tetapi ketika melihat Jen datang, dia tidak jadi melakukannya. Dia tidak mau membuat perempuan itu memandangnya sebagai pria yang memiliki sifat buruk, karena suka meledak-ledakkan amarah di depan sembarang orang. Karena itu Arya memilih untuk mengambil ponsel dan dompetnya tanpa protes.
Jen duduk di sebelah Kenzo dan melanjutkan menonton dramanya lagi, ia sudah meminta izin kepada Kenzo untuk menonton karena durasinya tinggal setengah jam lagi. Itu adalah waktu yang sebentar bagi seorang Jen saat menonton drama karena sayang sekali jika harus melewatkannya.
Saat Arya datang ke ruang tamu lagi, Kenzo melancarkan aksinya memeluk pinggang Jen yang sedang asik menonton. Sengaja membuat pria itu sadar bahwa tempatnya bukan di sini. Namun Ken salah, pria itu tak berkutik sedikit pun. Ia duduk di depan kedua orang itu sembari menyilangkan kaki kanannya ke kaki kari dan bermain ponsel.
Kenzo dibuat kesal karena Arya tidak tahu diri untuk pergi saja dari sana.
“Mas Arya ada urusan apa di sini?” tanya Kenzo.
“Oh, aku lupa ngasih tahu. Mas Arya nganter Lando ke sini, Lando anaknya Mas Arya itu temennya Agya. Mereka main di atas, Mas Arya nungguin Lando sampek selesai main.” Jen menjawab pertanyaan Kenzo, mewakili Arya. Pria itu mengangguk-angguk dan tersenyum kepada Kenzo. Pertanda ia memang diperbolehkan di sini oleh Jen, walau tidak dengan senang hati. Kenzo hanya bisa merutuk di dalam hati.
Sampai kemudian Agya dan Lando turun ke dapur, mengambil minum. Mereka mencari-cari sesuatu, tetapi tidak mendapatkannya, Agya menghampiri Jen. “Kak Jen, nggak ada jajajan ya? Habis?”
Jen menoleh pada Agya lalu mengedikkan dagunya ke setoples berisi setengah popcorn.
“Tinggal itu?” tanya Agya mendesah.
Jen berdecak. “Iya, tinggal itu, Kakak nggak ada waktu buat menuhin isi kulkas gara-gara sibuk ngurusin kalian tahu!” protes Jen kesal. Keempat laki-laki itu menatap Jen semua. “Nanti pulang dari kafe Kakak isi kulkasnya,” kata Jen setelah berdeham.
“Yeay, boleh makanan ringan kan, Kak?” tanya Agya yang tahu kalau kakaknya tidak pernah membiarkan mereka makan makanan ringan seperti ciki atau minuman kemasan. Jen lebih suka membuat jajanan sendiri. Saat perempuan itu masih serumah dengan mereka dan Talita dulu, Jen yang bersikeras bahwa tidak ada yang boleh membawa jajanan kemasan atau minuman kemasan pulang. Ia suka memasak dan punya kesanggupan memasak, maka tidak ada alasan untuk tidak membuat makanan sendiri. Alih-alih membeli yang banyak pengawet dan belum tentu sehat.
Kalau mau makan jajanan, di luar saja secukupnya, seinginnya saja. Agya sih tidak pernah protes walau dia sendiri juga masih suka ciki-ciki, karena jajanan yang dibuat Jen tidak kalah enak. Namun, Ziba selalu saja protes karena jajanan kentang kesukaannya tidak boleh dibawa pulang ke rumah. Padahal, Jen selalu dengan senang hati membuat camilan dari kentang untuk Ziba. Tak kalah nikmat. Agya juga suka, apalagi yang pakai keju mozarela.
“Kalian makan ini dulu aja.” Jen mengulurkan camilan terakhirnya dengan berat hati. Lalu setelah Lando mengucap terima kasih, kedua anak laki-laki itu naik lagi ke atas.
Jen sudah tidak bernafsu melanjutkan tontonannya, ia mematikan laptop lalu menoleh pada Kenzo. “Aku mau mandi, abis itu ke kafe. Kamu mau di sini aja?”
“Sampek jam berapa?” tanya Kenzo sembari melihat jam di pergelangan tangannya.
“Magrib mungkin, aku cuma ngecek aja. Sekalian mau belanja.”
“Saya anter ya,” sela Arya. Jen dan Kenzo menatap pria itu dengan dahi berkerut. Pria itu menaikkan alisnya. “Kenapa? Saya mau belanja sekalian untuk keperluan rumah. Sekalian nemenin Jen, kan? Ada yang salah?” tanyanya.
“Nggak perlu, saya aja yang anter Jen,” sahut Kenzo. Jen berdecak. Lalu pergi dari sana membawa laptopnya dan cangkir yang sudah kosong. Mengabaikan kedua laki-laki yang saling menatap dengan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...