Arya meminta maaf

1.6K 192 1
                                    

Jen tidak lupa lagi untuk menjemput Agya dan Ziba. Dia sudah standby di depan gerbang sekolah kedua beruang itu bahkan sebelum waktu pulang tiba. Perempuan itu berdiri sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada, kaki kanannya ia naikkan ke dinding yang ada di belakangnya.

Arya yang baru saja turun dari mobil mendekati perempuan itu sembari tersenyum, Jen melirik sekilas lalu memalingkan wajahnya lagi, seolah-olah kedatangan Arya bukanlah hal yang penting. Arya terkekeh lalu berdiri di sebelah Jen dan membuat perempuan itu menggeser tubuhnya, tetapi Arya ikut-ikutan menggeser tubuhnya juga.

"Jen," panggil Arya pelan. "Saya nggak bermaksud bikin kamu dan adik-adik kamu berantem. Jujur, saya dan lebih-lebih Lando nyaman sekali dengan kalian. Saya minta maaf, Jen."

Jen ingin sekali menjawab, kalau pria itu memang benar menyesal seharusnya tidak perlu lagi datang atau mendekatinya. Namun, jauh di dalam hatinya, Jen tahu betapa susah membesarkan anak seorang diri. Apalagi bagi seorang pria pekerja seperti Arya. Ia sedikit simpati juga pada Lando yang lucu dan menggemaskan itu.

Jadi Jen tetap diam.

"Kamu tahu, Jen? Seseorang yang tiba-tiba hadir di hidup kita selalu punya makna tersendiri. Kamu pun, sejak pertama kali menarik perhatian saya membuat saya yakin bahwa dari kamu pasti saya akan belajar sesuatu. Nggak bisakah kamu juga menganggap saya media belajar, Jen? Terlepas dari nanti akhirnya kamu semakin membenci saya, menyukai saya, atau biasa-biasa saja layaknya teman?"

Jen menoleh, menemukan tatapan serius dari mata Arya. Ada kesedihan di sana, ada harapan, ada rasa sepi yang teramat pekat, dan ... Jen baru tahu kalau Arya punya kantung mata. Dia baru melihat itu, karena kantung mata itu juga, mata Jen jadi semakin liar menelusuri wajah Arya. Alis yang tidak begitu tebal, hidung yang mancung, dan bibir yang sedikit berisi, dengan warna kulitnya yang kecokelatan.

Jen berhenti di bibir Arya yang berwarna merah pekat. Lalu ia memalingkan wajah karena merasa pipinya memanas. Arya terkekeh, tahu bahwa baru saja Jen meneliti wajahnya. Ada sedikit harapan bahwa suatu hari Jen akan menyukainya. Walau hal itu benar-benar memiliki kemungkinan yang sangat kecil.

Jen mengembuskan napas panjang. "Sebetulnya, saya nggak keberatan Mas Arya dan Lando ke rumah. Saya senang-senang aja, karena saya memang suka memasak dan memasak untuk orang lain."

"Saya juga menyukai Lando. Dia lucu. Saya juga pernah menjaga adik-adik sendirian sewaktu sekolah dulu. Saya tahu menjaga anak-anak itu susah, jadi saya paham betul bagaimana perasaan Mas Arya."

Arya tersenyum, dia tahu di balik sikap Jen yang terkadang menyebalkan, perempuan itu sebetulnya penyayang, cocok sekali menjadi sosok seorang ibu yang ideal. Arya bukannya menilai dari sudut pandang orang yang menyukai gadis itu saja, tetapi secara keseluruhan Jen memang sempurna. Sempurna di matanya tentu.

"Makasih," kata Arya dengan senyum amat tulus yang pernah Jen lihat.

Siapa yang tidak tersentuh ketika diterima dengan tulus oleh seseorang? Perempuan lain pasti hanya melihatnya dari permukaan saja. Seorang pemilik hotel, dia yang kaya, atau dia yang tampan. Tak ada perempuan yang menolak Arya selama ini, tetapi dia merasa mereka semua tidak tulus.

Arya tidak mencari perempuan untuk bersenang-senang. Ia mencari perempuan yang menyayangi dan mencintai dengan tulus. Menerimanya dan menerima Lando sepenuh hati. Bukan menginginkannya hanya untuk menaikkan derajat hidup saja.

Arya terkejut ketika pertama kali Jen menebak dirinya memiliki hotel, tetapi wajah perempuan itu terlihat biasa saja. Bahkan sikap Jen padanya tidak berubah sama sekali kendati gadis itu tahu bahwa dirinya kaya. Ya, Jen memang tidak bisa dibilang kekurangan uang, tetapi tetap saja, banyak perempuan dari kalangan sosialita yang tetap tidak puas dengan apa yang telah mereka miliki. Bahkan menginginkan suami kaya untuk menambah kekayaan atau memenuhi ego mereka.

"Sejak awal, saya tahu kamu berbeda dengan perempuan lain, Jen," kata Arya sembari mengubah posisinya sehingga tepat menghadap Jen.

"Jelas beda, Mas. Semua orang juga beda, kalau nggak gitu, gimana caranya bisa bedain masing-masing orang? Seluar biasa itu emang Pencipta kita," kata Jen sembari menggeleng-geleng.

Arya tertawa mendengar penjelasan Jen, perempuan itu tampaknya sudah kembali seperti sedia kala, cerewet. "Maksud saya, kamu tahu kalau saya punya hotel. Tapi kenapa nggak seperti perempuan lain yang menginginkan saya karena kekayaan saya? Lebih-lebih saya juga cukup ganteng," kata Arya percaya diri. Jen terkekeh, kali ini cukup lama sampai perutnya terasa sakit.

Baginya Arya adalah om-om yang kelewat percaya diri.

"Percaya dirinya Mas Arya selucu itu ternyata ya."

"Saya serius, Jen. Sejak saya duda, nggak ada satu perempuan pun yang melewati saya. Mereka kayak lalat yang mencari mangsa, padahal saya ini wangi dan bukan kotoran. Selama sembilan tahun ini, ibu saya bahkan menyuruh saya buat menikah lagi dengan calon pilihannya. Kebanyakan dari mereka udah kaya, tapi saya nggak melihat kepuasan di diri mereka."

Jen mengulum bibirnya. "Kalau Mas Arya merasa saya berbeda dengan perempuan-perempuan itu maka salah, kuliah saya bahkan molor cuma buat mencari uang, mengelola kafe sampek sebanyak sekarang pelanggannya. Semua itu demi apa? Uang. Sama aja." Jen menggeleng-geleng, heran sekaligus geli ketika dirinya dikira berbeda dengan manusia pada umumnya.

Jelas saja semua orang butuh uang.

Arya menggeleng-geleng. "Jelas beda, Jen. Kamu mencari uang karena itu adalah kebutuhan. Bukan karena ketamakan. Kamu harus bedakan itu, Jen. Gimana kamu bisa memilih calon suami yang baik kalau tentang makna remeh seperti itu aja kamu belum mengerti."

Luar biasa sekali perkataan itu, Jen terkekeh kecil. "Iya, terserah Mas Arya aja." Ia akhirnya mengalah.

"Jadi, saya masih boleh ketemu kamu?"

Jen menaikkan kedua alisnya.

"Maksud saya, masih bolehkan Lando ke rumah kamu buat main sama Agya?"

Jen menaikkan sebelah alisnya, tahu betul kalau itu bukan maksud perkataan Arya yang pertama. "Ya, gimana lagi. Agya suka sama Lando. Agya bilang dia sedih karena Lando sedih di rumah sendirian, saya kejam dong kalau nggak bolehin dia main ke rumah?"

"Kalau saya?"

"Apanya?"

"Kalau saya, kamu kasihan nggak sama saya karena di rumah sendirian?"

"Mas Arya nggak di rumah sendirian, ngomong-ngomong, karena sehari-hari sibuk kerja dan godain pacar orang. Iya, kan?" Sebuah dehaman menghentikan obrolan kedua orang itu. Ziba, Agya, dan Lando memandang kedua orang dewasa itu dengan pandangan menyelidik.

"Kita semua udah ada di sini dari tiga menit yang lalu, tapi Papa sama Tante Jen nggak sadar. Seru banget ngobrolnya," jelas Lando.

"Ya, seru banget," ketus Ziba tidak suka Arya dekat-dekat dengan Jen.

"Ayo pulang Agya, Ziba. Kakak mau ke kafe lagi," perintah Jen sembari mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya, kedua beruang itu mengangguk-angguk. Lando melambaikan tangannya pada tiga kakak beradik itu, Jen membalas lambaian tangan Lando dengan senyuman.

Setelah mobil Jen pergi, Lando menceletuk, "Papa suka sama Tante Jen, kan?" tanya anak kecil itu membuat Arya membelalak lalu tersenyum dan meninju kecil lengan jagoannya.

"Jagoan Papa, tahu apa sih soal suka, hem?" Arya mengacak-ngacak rambut bocah yang mirip sekali dengan ibunya itu. Membuat Arya tak bisa melupakan mendiang istrinya sama sekali.

"Aku suka sama Tante Jen. Tapi kalau Papa suka Tante, aku nggak apa-apa kok kalau Tante Jen jadi mamaku," kata Lando polos sekali. Arya tersenyum miris, andai saja Lando tahu betapa susahnya mendapatkan Jen. Bahwa ketidakmungkinan adalah hal yang mengekori usaha Arya mendekati Jen.

Lagi pula, ia amat sadar bahwa dirinya terlalu kurang ajar karena mendekati kekasih orang. Arya tidak menyangka bahwa jatuh cinta bisa melampaui semua peraturan yang ada. Untung saja, dia tidak sedang menyukai istri orang.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang