Jen sakit

1.7K 195 1
                                    

Jen meninggalkan mobilnya di kafe, tidak tahu bagaimana besok akan mengantar ketiga beruangnya. Namun, dia benar-benar tidak dalam kondisi bisa menyetir karena kepalanya semakin pusing bukan main. Ia memutuskan untuk memesan taksi dan pulang ke rumah tepat pukul delapan malam. Padahal, salah satu karyawan Jen berniat mengantar. Namun, perempuan itu tidak mau.

Jen tahu, betapa lelahnya kerja seharian. Mereka berhak untuk pulang dan istirahat atau melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Karena itu, kalau masih bisa sendiri, Jen berharap dirinya tidak perlu merepotkan orang lain yang sama-sama punya kegiatan masing-masing.

Ketika ia sampai di rumah, dengan susah payah perempuan itu berusaha memasukkan kunci ke lubangnya agar pintu lekas terbuka. Namun, yang ia dapatkan justru pengelihatan yang semakin kabur, Jen mengetuk pintu rumahnya dan berharap siapa pun dari ketiga beruang itu lekas membukakan pintu.

“Sebentar!”

Itu suara Sanee, Jen senang karena Sanee yang membukakan pintu. Sehingga tidak perlu sakit kepala melihat Agya atau Ziba yang wajahnya saja sudah membuatnya sakit kepala. Setelah pintu terbuka, Jen masuk dan mengucap terima kasih kepada adik tertuanya itu.

Sanee memandang Jen dengan cemas, ia sudah mendengar kabar dari Ziba kalau Jen sedang sakit sehingga tadi kedua anak itu dijemput oleh Kenzo. Sanee tadi berpikir kalau Jen hanya sakit biasa dan istirahat sebentar akan membuatnya lekas pulih. Namun tidak, Sanee melihat kakaknya begitu pucat.

“Kak Jen udah ke dokter?” tanya Sanee mengekor kakaknya. Jen berhenti, ia menyeimbangkan tubuhnya agar tetap berpijak dengan benar. Tahu tidak akan sanggup naik ke atas, ia berjalan ke sofa dan merebahkan tubuhnya dulu di sana, lagi-lagi Sanee mengikutinya.

“Kakak nggak apa-apa, ini cuma karena kecapekan aja, San. Besok pasti sembuh, ini udah jam sembilan, kamu nggak tidur?”

Di saat seperti ini, Jen masih saja memedulikan orang lain dan bukannya memedulikan dirinya sendiri. Ia ingin bertanya apakah Ziba dan Agya sudah tidur, apakah mereka sudah makan, tetapi egonya melarang. Jen kalah dengan harga dirinya yang begitu tinggi, sekali memulai, ia akan menuntaskan setidak suka apa pun dirinya.

“Ziba sama Agya udah tidur. Aku masih ngerjain PR. Kak Jen udah makan?” tanya Sanee khawatir, Jen mengangguk, dia sudah makan buah-buahan dan jagung manis tadi. Cukup untuk mengisi perutnya yang sudah kosong sejak kemarin.

“Kakak udah ke dokter belum?” ulang Sanee.

“Nggak perlu sampek ke dokter, San.”

“Tapi Kak Jen pucet banget. Besok harus ke dokter, Kak!” tegas Sanee. Jen memandang wajah adiknya, membuat anak remaja itu salah tingkah karena kelepasan membentak Jen. Ia mengira kakaknya akan marah karena merasa dirinya tidak sopan, tetapi Jen tersenyum, dengan sebelah tangan menggapai kepala Sanee dan mengelus rambut gadis itu lembut.

Sanee membeliak, ia tidak pernah ingat kapan terakhir kali Jen mengelusnya. Kapan terakhir kali Jen tersenyum padanya. Yang ada di benaknya adalah Jen yang super cerewet dan galak bukan main, dengan wajahnya yang tertekuk-tekuk atau sedatar papan karena marah.

Hati Jen menghangat, dia tak pernah tahu kalau Sanee seperhatian itu. Adik kecilnya ternyata sudah besar, adik yang pernah ia timang, yang kotorannya ia bersihkan dulu, yang makannya masih ia suapi ternyata sekarang sudah besar. Mungkin karena jarak usia mereka yang terpaut cukup jauh, Jen tidak merasa bahwa ketiga beruang itu adalah adiknya. Apalagi dia yang merawat ketiganya sejak kecil, sejak bayi.

“Kakak baru sadar kalau ternyata kamu udah segede ini, San. Dulu waktu masih kecil, kamu nggak mau ditinggal sama Kakak sekolah lho.”

Sanee tidak mengerti apa yang merasuki Jen, sehingga perempuan itu bersikap sebegini manisnya, bahkan mengenang masa lalu mereka. Sanee sendiri tidak ingat, kapan yang dimaksud oleh Jen di masa lalu itu. Mungkin saat dirinya masih betul-betul kecil sehingga belum mengerti cara menyimpan memori di kepala.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang