Setelah acara masak memasak selesai, Jen membantu Arya menata makanan di meja. Mereka mengambil meja paling ujung yang tidak terlalu ramai oleh pelanggan. Barangkali semesta tahu ada yang sedang ingin bersama tanpa diganggu, sehingga pelanggan yang tadinya membludak, kini berkurang. Bahkan karyawan Jen punya waktu untuk makan. Sayangnya ketika ditawari oleh Arya untuk makan bersama, mereka menolak, memilih untuk makan di posisi mereka masing-masing supaya tetap standby.
Ketika Jen menata makanan di meja dan menata kursi untuk berlima, Arya masuk ke kantornya dan membangunkan anak-anak. Ia merasa ada yang aneh di sini, seharusnya Jen, kan, tidak perlu berhubungan dengan Arya, tetapi sekarang mereka malah makan bersama. Kok bisa?
Duh, semesta memang suka sekali bercanda, tidak tanggung-tanggung, bikin kepala bingung. Padahal Jen tidak pernah menyangka dan tidak pernah menginginkan dekat dengan Arya, apalagi sampai makan bersama begini. Namun, nampaknya doa Arya yang terkabul bahwa mereka akan sering berinteraksi. Sedangkan doa Jen tidak, mungkin karena sering membuat ibunya pusing. Itu, kan, dosa.
Kemudian muncul Arya beserta Lando, Agya, dan Ziba. Mereka mengambil posisi masing-masing, menyisakan tempat duduk untuk Jen di sebelah Arya. Mau tidak mau, Jen harus duduk di sana.
Suasana makan sedikit ricuh oleh perdebatan yang selalu dilakukan Agya dan Ziba, di mana mereka sering berbeda pendapat. Agya yang santai selalu membuat Ziba semakin marah lagi dan lagi karena merasa disepelekan. Ziba marah karena marahnya disepelekan, begitulah dia. Agya sudah paham sekali hal itu dan justru menjadikannya kartu as.
Lando hanya tertawa-tawa saja melihat momen lucu kakak dan adik itu, walau bagi yang bersangkutan tidak ada lucunya sama sekali. Arya melerai mereka dengan sabar, sedangkan Jen, dia makan dengan santai tanpa memedulikan kedua adiknya yang memang suka rusuh di mana saja. Untung saja kedua beruang rusuh itu adiknya, kalau tidak, dia enggan dekat-dekat.
"Ini masakan Om Arya?" tanya Ziba dengan mata berbinar-binar, Jen menyatukan alisnya. Memang kenapa? Ziba tak pernah bertanya walau Jen memasak untuknya berulang kali. Apalagi dengan wajah sebahagia itu. Pilih kasih sekali.
Cih! Jen berdecih dalam hati.
"Iya, Ziba. Makan yang banyak ya." Ziba mengangguk-angguk dengan manisnya, seperti bukan Ziba sekali. Genit betul adiknya itu dengan laki-laki.
"Kak, yang cowok di sini bukan cuma Om Arya. Aku juga cowok, tapi Kakak nggak pernah semanis itu sama aku? Ngajak ribut muluk yang ada," protes Agya.
"Setuju." Jen ikut-ikutan. "Kakak sering masakin kamu, tapi kamu nggak pernah sebahagia itu," katanya sembari memasukkan makanan ke mulut. Mereka sedang aksi protes saudara.
"Ya beda dong. Kalau Om Arya, kan, siapa sih yang nggak mau dimasakin cowok idaman kayak Om Arya?" Ziba bergerak-gerak dengan hebohnya, seperti fans artis Korea yang sering Jen lihat di internet. Ia sampai tersedak melihat kelakuan menggelikan adiknya itu. Agya juga berjengit geli melihat kelakuan Ziba. Dia benar-benar tidak tahan dengan kelakuan kakak-kakaknya yang absurd, bisakah dia menghilang saja?
Arya mengulurkan air minum kepada Jen, menepuk-nepuk pundak perempuan itu lembut. Jen jauh lebih terkejut dengan perlakuan lembut Arya padanya. Yah, ini sih hanya karena mereka berjarak sangat dekat dan karena itu juga Jen bisa melihat wajah Arya dengan leluasa. Harus ia akui, bahwa Arya memang tampan dengan karismanya yang dewasa.
"Minum dulu." Arya bahkan membuat Jen minum dari tangannya sendiri, saat gadis itu masih berada di alam tidak sadar karena jarak mereka yang begitu dekat.
"Ehem," dehaman Ziba dengan wajah cemberut, ia merasa cemburu, aneh sih, kenapa ia bisa menyukai seorang Arya. Namun, hampir semua temannya di kelas menyukai Arya, kata mereka, papanya Lando ini mirip artis Korea yang pasti romantis dan pengertian tiada tara.
"Biarin aja Papa sama Kak Jen, kamu sama aku," kata Lando setengah bercanda setengah serius. Bocah itu memang suka sekali dengan tingkah menggemaskan Ziba, berbanding terbalik dengan Agya yang muak bukan main.
"Enak aja, kamu masih kecil tahu!" Ziba mengerutkan dahi tidak suka dan memalingkan wajahnya dari Lando. Arya terkekeh-kekeh dibuatnya, Lando juga tertawa karena berhasil membuat Ziba meledak-ledak. Ekspresi yang lucu.
Lagi-lagi, di mana letak lucunya?
"Andai setiap hari kita bisa makan bareng-bareng gini ya, Pa. Pasti seru banget kalau rumah jadi rame," celetuk Lando, membuat Jen menghentikan sendok pada makanan yang ada di depannya. Ada pedih di kata-kata itu walau dibalut senyuman. Jen, bisa melihat bahwa Lando sangat kesepian.
"Kamu boleh makan bareng sama kita setiap hari kalau mau, gimana?" usul Agya senang. "Nanti kita bisa main game bareng. Oke?" Ia mencoba mencari teman bermain game, ketiga kakaknya tidak ada yang bisa diajak bermain game.
Lando menoleh pada papanya, meminta persetujuan, dan pria itu mengangguk memperbolehkan. "Nanti kalau Papa nggak bisa, biar Pak Amin yang nganterin kamu ke rumah Agya. Sekalian nganterin Agya sama Ziba pulang. Boleh, kan, Jen?" tanya Arya dengan senyum manisnya. Jen heran, mengapa ia harus terpaku beberapa detik saat melihat senyum itu. Jantungnya berdebar-debar. Bagaimana bisa? Mungkin jantungnya sedang bermasalah saja.
"Emm. Boleh. Saya justru makasih kalau begitu, karena dengan begitu berarti membantu saya buat jemput mereka berdua."
"Nggak apa-apa. Santai saja. Anggap saja kita keluarga, anggota keluarga harus saling menolong, kan?" Arya tersenyum penuh arti ke arah Jen. Perbincangan dua orang dewasa itu disaksikan oleh Agya, Lando, dan Ziba. Mereka bertiga tahu, bahwa ada yang aneh dengan tatapan mata kedua orang dewasa ini.
"Makasih, Tante." Lando mengalihkan atensi kedua orang itu, Jen terkejut dipanggil Tante oleh bocah seumuran adiknya. Memangnya dia sudah tante-tante ya?
"Panggil Kakak aja, Lando," kata Jen tidak nyaman, sebab ini kali pertama dia mengobrol dengan anak itu. Ia baru sadar setelah pertemuan yang keberapa kali bahwa mereka belum bertukar kalimat sama sekali, sepertinya.
Lando menggeleng-geleng. "Tante aja, Papa bilang, aku harus panggil Tante." Jen mendelik pada Arya yang meringis.
Ziba tertawa terbahak-bahak melihat Jen kesal dipanggil tante oleh Lando. "Wajarlah. Kakak, kan, udah tua. Wajar dipanggil Tante."
"Kakak nggak setua itu, Ziba!" kata Jen tidak terima.
"Dilihat dari mana pun Kakak kamu masih terlihat muda dan cantik, Ziba. Kamu beruntung punya Kakak cantik. Karena itu juga kamu cantik," bela Arya. Ziba berdecih dan Jen menjulurkan lidahnya pada anak kecil itu.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Jen, ia membukanya.
Kak, aku udah pulang. Tapi di rumah nggak ada orang, Agya sama Ziba belum pulang dan aku nggak bawa kunci.
Gimana dong ☹
Itu Sanee, Jen mendesah panjang. Lalu melihat Agya dan Ziba bergantian. "Kalian pulang ya, kuncinya, kan, sama kalian. Kak Sanee udah pulang dan nggak bisa masuk. Kakak pesenin taksi, oke?"
Arya mencegah perempuan itu yang hendak memesan taksi. "Jangan, biar saya yang anterin mereka biar cepat, sekalian kan saya telanjur bolos kerja. Kasihan adek kamu nungguin lama-lama."
Jen menggigit bibir bawahnya, menyebalkan sekali karena dia harus mengakui bahwa Arya benar-benar seperti penolong mereka. Dan itu ia lakukan selama beberapa hari berturut-turut sejak pertemuan pertama mereka.
Apakah ini takdir?
Jen ragu-ragu mengangguk. "Makasih, Mas."
"It's okay, Jen."
**
Jen, hati masih baik-baik aja kan ya?
Kalau aku sih enggak. Hehe.Selamat membaca ya.💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Lajang (Completed)
RomanceSeorang pria yang sudah memiliki anak mendekati Jen saat perempuan itu mengantarkan adiknya ke sekolah. Tentu saja Jen berpikir jika pria itu sudah beristri, karena tidak semua pria adalah duda. Apalagi Jen sudah memiliki kekasih. Namanya Mas Arya...