Beruang marah

1.6K 179 5
                                    

Jen tidak memprediksi bahwa Ziba dan Agya akan tetap marah sampai keesokan harinya. Bahkan ketika ia membangunkan anak-anak itu, mereka tanpa berkata apa-apa langsung pergi ke kamar mandi. Bagi Jen, itu adalah hal luar biasa ketika pagi tidak perlu membuang tenaga untuk berteriak-teriak dan meladeni alasan-alasan mereka.

Sampai beberapa puluh menit kemudian, yang turun dan makan hanya Sanee. Adik perempuan paling besarnya itu bahkan hanya diam sembari terus makan, tak menatap Jen sama sekali.

"Ke mana Ziba sama Agya?" tanya Jen kemudian ketika kedua adiknya tak kunjung turun untuk waktu yang lama.

"Nggak tahu," jawab Sanee singkat. Jen mencoba tenang, lalu berdiri dari duduknya dan naik ke atas kamar anak-anak itu. Namun, belum sampai di sana ia melihat Agya dan Ziba sedang duduk di tangga.

Kening Jen berkerut. "Ngapain kalian di situ?"

"Duduk." Lagi-lagi hanya jawaban singkat, kali ini datangnya dari Ziba.

"Kalau kalian nggak buruan sarapan, nanti telat," kata Jen memperingati, masih dengan berusaha mengontrol diri agar tidak meledak.

"Aku nggak mau sarapan."

"Aku juga."

Jen mengembuskan napas panjang, memejamkan matanya sebentar, lalu melihat kedua adiknya lagi. "Kenapa?"

"Kami berdua punya keinginan sendiri, nggak perlu ikutin semua keinginan dan aturan Kak Jen," kata Ziba tegas dengan sekali tarikan napas dan menatap mata Jen lekat-lekat, terlihat jelas sekali bahwa Ziba masih marah dan tidak sedang ingin mendengar ceramah.

Bibir Jen terbuka, dia tak habis pikir dengan adik-adiknya. "Tapi Kak Jen udah masak buat kalian," kata Jen akhirnya, dengan sedikit geram.

"Kami nggak pernah minta Kak Jen buat masak. Kakak masak karena suka masak, kami juga ingin makan apa yang kami suka. Kakak selalu aja ngatur-ngatur ini itu, makan ini itu, nggak boleh makan ini itu. Kak Jen masak karena suka, kenapa kami nggak boleh ngelakuin hal yang juga kami sukai?"

"Gimana?" Jen betanya bingung, habis sudah kosa katanya. Maksudnya, ini masih terlalu pagi untuk berdebat. Kenapa urusan sarapan bisa sepanjang ini perkaranya? Menyeret semua hal yang pernah terjadi.

"Jadi kalian nggak mau makan ya? Oke nggak apa-apa." Tak seperti biasanya, Jen kali ini tidak mengomel panjang kali lebar. Membuat Ziba dan Agya justru resah bukan main, tetapi mereka sudah memutuskan untuk memberontak pada Jen. Mereka sudah berniat begitu, toh mereka tidak merasa salah.

Jen memang terlalu berlebihan mengekang mereka, ini semua salah Jen. Pikir Ziba dan Agya.

Jen turun dan kembali ke dapur, menyelesaikan sarapannya. Sanee sudah selesai lebih dulu dan sudah mencuci piring serta gelasnya. Ia menatap Jen sebentar kemudian berlalu ke ruang tamu, menunggu di sana.

Jen mendengkus dan melanjutkan lagi sarapannya. Setelah selesai, ia bungkus semua makanan yang tersisa dan menaruhnya di sebuah plastik besar. Ia tahu waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih, tetapi sengaja Jen tidak mau peduli. Walau ia yakin ketiga beruang itu sudah sangat cemas kalau-kalau mereka telat.

Saat Jen keluar dengan sebuah kantung plastik besar, Sanee, Ziba, dan Agya hanya melihatnya sekilas tanpa berniat bertanya. Mungkin mereka tahu bahwa momen marahan adalah momen untuk tidak saling bertanya seperti biasa. Mereka masuk ke dalam mobil dan duduk di tempat masing-masing.

Keempat kakak adik itu tidak ada yang saling berbincang sama sekali selama perjalanan. Di sepanjang jalan, Jen sering berhenti dan membagikan makanan kepada anak-anak jalanan. Ada sedikit rasa tidak enak di hati ketiga beruang melihat anak-anak itu bahagia mendapat makanan. Jen menampar mereka secara halus, terlebih Ziba dan Agya.

Namun, Ziba dan Agya menepis rasa tidak enak di hati mereka dengan berpikir bahwa mereka justru membuat anak-anak itu mendapat makanan dari Jen. Jika tidak begitu, Jen pasti tidak akan berbagi.

Sanee yang lebih dewasa, tahu bahwa apa yang sedang Ziba dan Agya lakukan salah. Dia setuju bahwa Jen tidak seharusnya membentak mereka karena ingin Arya dan Lando sering main ke sana. Sanee juga setuju bahwa mereka tidak suka dengan Kenzo, kekasih Jen. Namun, Sanee tidak setuju kalau Ziba dan Agya jadi keterlaluan pada kakak mereka.

Sampai harus tidak makan dan mengabaikan kerja keras kakak mereka yang sudah bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan lebih banyak. Yang mana jika Jen sendirian, pasti perempuan itu akan makan seadanya atau makan di kafe saja sehingga menghemat tenaga.

Sanee diam-diam melirik Jen, kakaknya itu juga menangkap lirikannya, tetapi tidak berkata apa-apa. Tiba-tiba bulu kuduknya meremang, tatapan Jen barusan, bukan tatapan marah seperti biasa ia memarahi mereka. Lebih dari itu, seperti marah bercampur kecewa dan ketidakpedulian.

Tidak peduli? Ya, Sanee pikir, Jen berusaha untuk tidak peduli kepada mereka karena marah. Itu lebih tepat sepertinya.

Setelah sampai di depan sekolah Sanee, Jen menatap mereka semua satu per satu. "Kalau kalian merasa Kakak mengekang kalian, maka silakan lakukan apa yang kalian mau. Tapi tolong jangan pernah buang makanan yang udah ada selagi kalian bisa ngabisinnya. Kalian nggak tahu betapa nyari makan aja susahnya bukan main. Mulai hari ini, terserah kalian, Kakak nggak akan ikut campur urusan kalian."

Jen menyuruh Sanee untuk lekas turun ketika ketiga adiknya itu tidak merespons sama sekali. Sanee jadi semakin merasa tidak enak hati. Ia melihat Ziba dan Agya yang masih dengan keras kepalanya mereka, tidak berusaha minta maaf, justru memasang wajah angkuh seolah mereka benar.

Lalu Jen mengantar Agya dan Sanee ke sekolah mereka tanpa ikut turun seperti biasanya, ia langsung berlalu pergi dari sana. Arya yang memang sengaja menunggu Jen di sana mengerutkan dahi, ketika kedua anak itu turun dengan wajah kesal sembari memperhatikan mobil Jen yang semakin berlalu menjauh.

"Kalian kenapa?"

"Om Arya-" Ziba ingin melanjutkan ucapannya, tetapi perutnya berbunyi. Arya mengernyit.

"Kalian belum sarapan?" tanya Arya bingung, tidak mungkin sekali Jen membiarkan adiknya pergi sekolah tanpa sarapan. Gadis itu sudah belanja kemarin. "Apa karena kesiangan?" Arya mencoba menerka.

Kedua anak itu menggeleng-geleng. Saat ini mereka sedang berjalan ke kelas karena sebentar lagi bel masuk berbunyi. Tiba-tiba Ziba membayangkan menyantap ayam kecap yang tadi Jen masak, andai saja tadi ia sarapan, pasti jadinya tidak akan begini.

"Kami emang nggak mau sarapan," kata Agya menjelaskan duduk perkara yang membuat Arya bertanya-tanya. "Tadi Kakak emang udah masak, tapi kami enggak mau sarapan, Om," lanjutnya.

Arya semakin mengerutkan dahi. "Kenapa kalian nggak mau sarapan?"

"Kami marah sama Kak Jen karena lebih bela pacarnya, padahal Om Arya udah baik banget sama kita. Kenapa Kak Jen sejahat itu sama Om Arya?" jelas Ziba panjang kali lebar, menggebu-gebu dan begitu semangat mengeluarkan amarahnya.

Mereka tidak bisa melanjutkan obrolan karena bel masuk berbunyi. Agya dan Lando masuk ke kelas mereka sedangkan Ziba masuk ke kelasnya dengan lesu. Selama ini Talita dan Jen selalu memastikan mereka sarapan di rumah. Bahkan jika tidak sempat, mereka akan sarapan di mobil. Hal yang membuat Agya dan Ziba kesusahan pagi ini melewati mata pelajaran pertama tanpa bisa konsentrasi, mereka lekas menuju kantin begitu bel istirahat berbunyi.

Tidak Lajang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang