22

1K 282 50
                                    

"Hasil penyelidikan ayah Mbak sudah benar-benar dilenyapkan sama pak Bang, hari itu juga saat pembunuhan terjadi," raut wajah Julia seketika kusut mendengar pernyataan sekretarisnya.

"Lagi pula kenapa Mbak mau nyerang pak Bang? Ayah anda selama ini berusaha gak melibatkan keluarganya, karena khawatir nasibnya akan sama kayak beliau,"

"Justru karena ayah saya dibunuh, makanya saya mau ngungkap kejahatan yang pak Bang selama ini lakuin,"

"Anda tau, kekuatan kita gak ada apa-apanya dibanding pak Bang. Saya harap Mbak bisa berpikir ulang buat lakuin itu. Ini demi Mbak dan keluarga Mbak. Saya juga pasti bakal terlibat,"

Julia menghela napas, "Kamu gak akan terlibat, makanya saya minta orang lain juga yang nyari data penyelidikan ayah saya. Kamu cuman tinggal laporan ke saya. Kamu emang orang terdekat saya, tapi saya bakal usahain kamu gak akan terlibat,"

"Enggak bisa, Mbak. Saya udah berjanji sama diri saya buat ngelindungin Mbak,"

Julia sontak membelalakkan matanya, kemudian tertawa kecil.

"Kamu ini ngomong apa? Ngapain kamu ngelindungin saya? Kamu kan cuman sekretaris saya,"

"Justru karena itu, dan saya ini laki-laki, jadi otomatis saya pengen ngelindungin Mbak, walaupun saya cuman sekretaris. Saya pengen ngelindungin Mbak. Untuk sekarang saya mungkin emang gak sanggup buat ngelawan pak Bang, tapi kalau Mbak kekeuh mau balas dendam, saya siap ngelindungin Mbak,"

Julia tercengang, kemudian ia menggeleng.

"Kamu gak ada tanggung jawab untuk itu,"

Pria berwajah manis itu mendengus mendengarnya.

°°°

Kenna hampir saja tertidur di pelukan Bangchan, tapi ia mengingat sate dan nasi gorengnya belum habis.

Kenna hendak melepas pelukan mereka, namun ia terlebih dahulu mendongakkan kepalanya untuk melihat Bangchan.

Bangchan pun menunduk, ikut menatapnya.

Keduanya seketika mengingat kejadian di dapur beberapa hari lalu. Sontak Kenna melepaskan diri dari Bangchan, kemudian keduanya sama-sama menjaga jarak dan tidak berani saling menatap. Wajah mereka berdua juga memerah seperti kepiting.

"Maaf," ucap Bangchan.

"Hah? Maaf kenapa?" tanya Kenna seraya menoleh.

"Saya hampir nyium kamu lagi,"

"Jadi Bapak tadi mau nyium saya lagi?" Kenna berkata sembari menatap horror Bangchan.

Bangchan hanya diam, dengan mata melebar dan melihat ke arah lain.

"Perasaan kamu gimana?" Bangchan akhirnya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Ahh, udah mendingan kok, makasih, Pak,"

Kenna kemudian menghela napas.

"Kenapa? Katanya udah mendingan?" tanya Bangchan.

"Yah, perasaan saya lumayan sedikit membaik, tapi saya sadar, masalah saya belum selesai. Masalah gak pernah bisa selesai cuman dengan pelukan kan? Tapi harus dihadapi. Dan itu nakutin. Bapak mungkin gak nyangka saya penakut," ujar Kenna.

"Tapi kamu yakin masalah itu bakal berlalu kan?"

Kenna mengangguk, "Saya harap secepatnya,"

"Selama ini kalau kamu ada masalah, kamu selalu sendirian, ya?"

Butterfly ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang