30

847 259 46
                                    

Air dingin mengaliri seluruh tubuh Bangchan, pria itu kemudian mengacak-acak rambutnya sambil mengerang frustasi.

Baru kali ini ada seorang gadis yang bisa membuatnya merasakan berbagai macam perasaan, dimulai dari senang, sedih, bimbang, takut, cemas, khawatir, malu, berdebar, bergairah dan akhirnya merasa bersalah.

Di sisi lain Kenna sudah tidur dengan pulas. Bagaimana tidak? Kasurnya nyaman, empuk dan luas, ia bisa berguling dengan leluasa, tanpa perlu takut terlilit kabel lampu tidur, sayangnya tidak ada guling, ditambah ada AC, suasana kamar juga nyaman.

Pintu kamar tamu tak lama kemudian terbuka, menampilkan Bangchan dengan rambut setengah basah, handuk putih terlilit di pinggang, dan kaos oblong abu-abu.

Bangchan hanya diam di ambang pintu, melihat Kenna tanpa ekspresi.

Ada cara lain agar ia tetap bisa bersama Kenna, tanpa menjauhkannya dari keluarganya, atau membawa keluarganya ikut bersamanya.

Yaitu ia harus tetap hidup sebagai robot keluarganya, terus melakukan perintah kakek dan ayahnya yang sering tidak manusiawi. Meskipun Bangchan tidak pernah merasa itu salah, karena sudah terbiasa. Baginya itulah bisnis.

Tapi sekarang ia sudah menyadari itu salah, jadi ingin berhenti melakukannya, dan ingin mencoba hidup sebagai orang normal. Walau ia tidak yakin bisa menghasilkan untung besar, kalau bisnis dijalankan bukan dengan cara keluarganya.

°°°

Julia menyodorkan flashdisk berwarna hitam, pada seorang pria yang duduk di depannya.

"Ada perusahaan yang diperkirakan punya pak Bang, tapi saya gak yakin, soalnya pemilik dan direkturnya, namanya Felix, bukan pak Bang," ujar Julia.

"Terus apa yang bikin kamu mikir itu punya Bangchan?"

"Liat aja isi filenya. Udah, ini terakhir, setelah ini saya gak mau berurusan dengan anda lagi,"

Pria itu mengambil flashdisk tersebut, kemudian mengantonginya ke dalam saku jasnya.

"Saya ngerasa udah gak berminat lagi untuk balas dendam. Saya ngerasa bingung, buat apa saya ngelakuin semua ini? Mending saya fokus sama perusahaan saya," tutur Julia.

"Jangan lontarin perkataan menjijikkan kayak gitu ke saya. Kamu gak inget? Dia bunuh ayah kamu loh, di depan mata kamu,"

"Saya gak akan pernah lupa kejadian itu. Tapi bukan dia langsung yang bunuh,"

"Sama aja dia yang bunuh!" pria itu bicara dengan nada tinggi, namun itu tidak membuat Julia menciut.

"Saya capek!" tegasnya kemudian, yang membuat pria itu terdiam.

"Silahkan istirahat,"

Julia mendengus kesal, "Saya pokoknya udah gak mau lagi, sesuai perjanjian. Dengan saya kasih penyelidikan terakhir saya, kerjasama saya dengan anda selesai," ucapnya kemudian, seraya bangkit berdiri.

Pria yang menjadi lawan bicaranya, hanya diam dan membiarkan gadis itu pergi dari kafe, bersama seorang pria lain yang sudah menunggunya di luar.

Pria itu menyeringai kecil, sembari memainkan flashdisk yang berada di tangannya.

°°°

Butterfly ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang