11. Kembali Rapuh

4.7K 321 32
                                    

Skara berdiri mematut cermin yang menampakkan tubuh gagahnya. Hatinya kali ini tengah berbunga-bunga karena seharian dia menghabiskan waktu dengan Shenna. Meskipun, Skara belum memastikan bahwa perasaan yang ada di hatinya adalah perasa cinta. Namun, Skara bisa merasakan bahagia jika sedang bersama gadis itu. "Shenna. Shenna. Lo emang beda."

Tok... Tok...Tok

"Masuk."

Kenop pintu Skara terputar dan terbuka. Di sana, ada Fatmah yang tengah berjalan ke arahnya membawakan susu dan roti seperti malam-malam biasanya jika dia berada di rumah.

"Taruh aja di meja!" Titah Skara, enggan memutar tubuhnya menatap Fatmah.

"Aden masih marah soal waktu itu?" tanya Fatmah sambil menaruh susu dan roti di meja sesuai instruksi Skara.

"Marah juga gak akan merubah kenyataan, Bi."

"Sebenarnya, Bibi mau ngomong hal itu dari awal. Tapi, bibi takut kalau Den Kara sedih. Bibi paling gak bisa ngeliat aden sedih, bibi sayang sama den Kara seperti anak bibi sendiri," jelas Fatmah. Dia hanya bisa mengatakan itu dengan posisi menunduk dalam, tidak berani melihat ke arah Skara yang bersikap dingin kepadanya.

Hati Skara benar-benar tersentuh, memang Fatmah adalah orang yang begitu menyayanginya dengan tulus melebihi Sarah dan Herman. Lantas, laki-laki itu membalikkan badan dan mendekat ke arah Fatmah. "Gak apa-apa, Kara paham, Bi," ucapnya sambil memegang kedua bahu Fatmah.

Fatmah mendongak menatap Skara, wanita itu langsung menarik tubuh Skara ke dalam dekapannya, membelai rambut Skara dengan penuh kasih sayang. "Maafin Bibi, Den."

Fatmah mengurai pelukannya. Terlihat kedua matanya berlapis kaca, setelah beberapa hari Skara bersikap dingin kepadanya, kini Skara mau berbicara kepadanya. "Sekarang, apa yang aden rasain? Aden sering kambuh? Atau gimana?" tanya Fatmah tanpa jeda.

Skara tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan dari Fatmah. Wanita itu memang dari dulu selalu mengkhawatirkannya. Bahkan selalu saja menganggap Skara seperti anak kecil. Skara merangkul pundak Fatmah sambil berucap, "Bibi itu melebihi ibu Kara sendiri. Padahal Skara baik-baik aja, tapi kelihatannya bibi khawatir banget, hehe."

Fatmah membelai rambut Skara untuk merapikannya. "Itu gunanya seorang ibu, Nak." tanpa sadar, kalimat itu keluar dari mulut Fatmah.

"Maksudnya?"

"Ma-maksudnya, bibi udah anggap kamu sebagai anak sendiri, Den." balas Fatmah terbata-bata.

******

Sudah ada puluhan tumpukan dokumen penting di meja belajar Skara. Beberapa menit lalu, Herman memberikan dokumen-dokumen itu untuk dipelajari Skara dalam waktu satu malam ini. Karena lusa nanti, Herman akan mengajak Skara ke kantor untuk mengikuti meeting di hari pertamanya. Sebagai penerus perusahaan, tentu Skara menurutinya meskipun bertentangan dengan apa yang dia impikan—menjadi pelukis. Selain itu, Skara juga tidak mau jika ia menolak, akan berimbas kepada cita-cita adiknya.

"Pusing banget kepala gue." Skara meremat kepalanya yang terasa begitu nyeri. Banyak sekali yang harus dia pelajari. Bahkan, setengah dari dokumen itu pun belum ada.

Skara membuka halaman berikutnya. Saat itu juga, pandangan matanya mendadak mengabur. Dia menyandarkan tubuhnya sejenak, lalu memijat pelan keningnya yang terasa pening. "Baru sebelas dokumen, masih ada empat puluh tujuh lagi." Skara bermonolog sendiri. Sebenarnya, dia merasa tidak sanggup. Mengelola bisnis bukanlah skil yang dia miliki.

Skara menarik napasnya dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Dia menegakkan posisi duduknya, berusaha mengumpulkan tenaga untuk membaca kembali dokumen itu. "Ayo, Kara. Semangat!"

ALASKAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang