3. Rumah Yang Tak Layak Huni

8.3K 508 19
                                    

Skara memasuki ruang tamu dimana ruangan itu sudah sangat gelap. Dia pulang pukul 23.30 selepas latihan dan melepas penat di markas Alaskar bersama teman-temannya. Langkah kaki Skara terhenti saat lampu di ruangan itu menyala disertai dengan suara berat dari pria yang sejak tadi ternyata duduk di sofa.

"Saya kira kamu lupa kalau kamu punya rumah, Skara." ucap Herman—Papah Skara dengan nada yang terdengar dingin seperti biasanya. Pria itu melangkah maju menghampiri anaknya yang tengah berdiri menatapnya di bawah tangga.

"Pah...."

"Kenapa gak pulang sekalian?"

Skara mengembuskan napasnya pasrah. Dia bisa menebak bahwa saat ini Herman sedang marah besar kepadanya karena pulang larut malam.

"Kamu pasti dari markas geng berandal itu, kan?"

Skara menundukkan kepalanya dalam. Dia tidak berani mengangkat pandangannya untuk menatap mata tajam milik Herman.

"Maaf, Pah...." Ada rasa bersalah yang memenuhi rongga dada Skara. Perkataan dingin Herman selalu mampu membuatnya bergeming.

Cukup lama, Skara diam di tempat, Herman langsung mengangkat pandangan anaknya agar bisa menatapnya. "Kamu punya adik, Ska. Seharusnya kamu beri contoh yang baik kepada Dimas, bukan Dimas yang memberi contoh kepada kamu!" suara Herman kian meninggi membuat Skara mengepalkan kedua tangannya.

"Lihat adik kamu, dia baru selesai belajar dan langsung tidur. Sedangkan kamu? Kamu malah main keluyuran pulang tengah malam. Mau jadi apa kamu?"

Hal yang sangat tidak Skara sukai yaitu dibeda-bedakan dengan orang lain yang jelas masing-masing orang memiliki karakter yang berbeda.

"Pah.... Skara cuma di markas, gak cuma main doang. Tapi Skara latihan buat balapan nanti." jawab Skara pada akhirnya.

Herman tertawa remeh ke arah anaknya. "Balapan? Kamu sudah gila, Skara? Papah memfasilitasi kamu dengan kemewahan, tapi kenapa kamu memilih hidup di jalanan sama teman berandal kamu?"

"Mereka bukan berandalan, Pah! Mereka sahabat Skara, keluarga Skara yang begitu hangat, tidak seperti keluarga ini yang bisanya cuma menuntut dan merusak mental anaknya." bantah Skara sembari menahan mati-matian amarah yang mulai bergejolak di dadanya.

"SKARA!" Herman mengangkat tangannya lalu menampar pipi Skara sampai menciptakan rona merah pada pipi anaknya. Amarah Herman kian membludak saat beraninya seorang anak membentaknya.

Skara tertawa hambar sambil menatap nyalang ke arah Herman. "Skara punya kehidupan sendiri, Pah. Gak semua yang papah sama mamah mau harus Skara turuti."

Herman tak segan mendaratkan tamparan keras lagi ke arah Skara. Sudah biasa hal ini dilakukan kepada anaknya. Ia melepas sabuk yang melingkar di pinggangnya kemudian mencambuk punggung dan bahu anaknya.

"KAMU KURANG AJAR, SKARA! SAYA SUDAH GAGAL MENDIDIK KAMU AGAR MENJADI ANAK YANG BAIK SEPERTI DIMAS!" Bentak Herman sambil menghentikkan aksinya.

Cairan merah dari tubuh Skara mengalir ke bawah menetes ke lantai. Dengan lemah, dia menegakkan tubuhnya untuk memandang wajah Herman. "Nyatanya hidup di luar lebih bahagia dari pada hidup di rumah yang seperti penjara dan neraka. Hanya hampa dan siksa yang Skara dapetin, Pah." Skara melangkah gontai menaiki anak tangga meninggalkan Herman di bawah sendirian.

Lima tangga sudah Skara naiki, ia kemudian berbalik badan menghadap Herman yang masih memperhatikannya. "Dan Skara..., bukan Dimas!" hardik Skara sembari melanjutkan langkahnya.

******

Skara memasuki kamarnya, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, tidak peduli dengan cairan merah yang terus saja mengalir dari tubuhnya. Sesekali Skara mengerang kesakitan sambil menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri untuk menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya.

ALASKAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang