10. Recurrence

3.9K 388 157
                                        

"Mama bilang, harus tahun depan. Bisa gak ya gue lulus? Capek."

"Gue bisa tidur gak, ya?"

"Jayanjing. Mampus malu."

"Anak magang di kantor kayaknya suka sama gue, ngeliatin mulu."

"Abby cantik banget, paling bisa bikin gue lemes. Tapi sumpah kesel banget kalau dia udah cemburu."

"Gue gak mau mimpi buruk. Please, jangan ketindihan juga."

"Laras cantik juga, ya... tapi ngeselin, lemot."

"Kepala gue sering pusing, sakit. Bukan kanker, kan?"

"Dada gue sering sakit. Jangan-jangan sakit jantung? Atau asma? Paru-paru basah? TBC?"

"Kenapa Papa selingkuh? Mama gak perhatian. Sibuk terus."

"Bintang..."

"Bintang udah di langit."

"Bintang, maafin gue, ya..."

"Bintang, gue kangen. Kangen banget. Kangen... kangen banget..."

"Kenapa gue selalu sedih? Apa yang salah?"

"Maafin gue, Bintang..."

Jam 11 malam. Ribut seperti pasar. Banyak sekali yang berjalan-jalan di pikiran Michael. Maksud hati mau tidur, tetapi otak terus mengajak fisik bicara, tak mengizinkannya terlelap.

"Bintang... maafin gue, gue salah," gumam Michael bergetar.

Ketika bayang-bayang orang bernama Bintang itu mulai menghantui pikiran, Michael mulai gelisah. Ia menutup wajah dengan bantal sebab perasaannya mulai tak tenang.

Tapi tetap saja, Bintang dan memori-memori tentangnya datang bertubi-tubi, membuat telapak tangan Michael jadi dingin. Tidak bisa berhenti, ingatan itu terus menghampiri, hingga telapak kaki turut dingin.

Ia memejamkan mata, meremas bantal yang kini dipeluknya. Jantung kian berdegup keras, telapak kaki makin dingin dan basah. Cengkeraman pada bantal menguat tanpa sadar. Jari-jemari kaki memucat, kukunya membiru, terasa beku bila kalian menyentuhnya.

Michael sungguh benci sensasi ini. Namun, tidak mampu untuk menepis. Napas mulai berderu, perut mulai sakit, bibirnya mengering.

Sudah tak tahan, ia meraih ponsel dari bawah bantal. Mengklik-klik layar sentuh menggunakan jari dingin yang kaku sebagai usaha menghubungi seseorang. Kaisar. Ia selalu butuh Kaisar di saat seperti sekarang.

Di sudut lain area rumah besar itu, ada Kaisar dengan ponsel yang tiba-tiba berdering. Melihat nama siapa yang muncul pada layar, ia langsung mengangkatnya.

"Halo, Tuan."

"Kaisar..."

"Iya, Tuan?"

"Kaisar... lo di mana?" Michael terengah pelan, Kaisar dapat mendengarnya.

"Di balkon dua, Tuan. Sama Bang Rofi." Kaisar berdiri dari kursi perlahan-lahan.

"Sar, ke kamar gue... sekarang." Pintanya lemah, pelan. Matanya memanas, ingin terisak.

UNSTABLE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang