16. Ten Years Ago

3.3K 334 172
                                        

⚠️⚠️⚠️
ADEGAN SENSITIF. SILAHKAN CLOSE JIKA TIDAK NYAMAN

.
.
.

Pukul 3 sore di hari Selasa, sekaligus bulan kedua Michael Dante Naderanputra duduk di bangku SMA. Bersama sahabatnya sejak SD, Bintang Viradita, mereka duduk bersebelahan di sebuah bangku panjang luar pagar sekolah. Jam belajar mengajar telah usai. Keduanya biasa pulang sekolah bersama karena rumah berada di kompleks elit yang sama.

Jika tidak ada agenda berbeda sepulang sekolah, Bintang akan menaiki mobil Michael juga sebab sudah kebiasaan sejak lama. Sekarang mereka sedang menunggu jemputan, yaitu mobil yang dibawa oleh supir pribadi Michael.

Irma—mama Michael masih di kantor jam segini. Wanita itu pergi bekerja pukul 8 pagi dan pulang pukul 6 sore jika tiada urusan lebih. Sementara Krisna—papa Michael, sudah tidak lagi tinggal serumah. Ketahuan berselingkuh, lantas Irma menggugatnya walau masih sangat cinta.

"Udah dua bulan cerai," Michael buka suara, "tapi kok rasanya kayak masih susah, ya?"

Bintang menoleh pada sahabatnya. "Sabar, Mike," katanya selalu prihatin.

"Masih gak percaya dia lebih milih cewek muda itu dari pada gue dan Mama," lanjut Michael lesu.

Punggung remaja lelaki berusia 15 tahun itu diusap, oleh remaja perempuan yang berusia sama. Ia menatap penuh perhatian, begitu iba dan sayang. "Iya, gue tau berat banget buat lo sama Tante Irma, tapi lo gak boleh sedih terus," ujarnya lembut.

Michael menyeka air mata sebelum keluar. "Iya, Bin. Gue cuma kasihan sama Mama."

"Iya, gue ngerti." Bintang menatap hangat, namun sendu.

Sejak SD, SMP, dan sekarang SMA, Michael dan Bintang selalu bersekolah di sekolah yang sama karena kualitas otak mereka sebelas-dua belas. Sistem sekolah negeri yang kala itu mengategorikan penerimaan murid-murid berdasarkan nilai ujian akhir jadi penyebab mereka selalu memilih sekolah negeri yang sama.

Mereka cocok dalam banyak bidang. Cara berpikir, selera humor, selera makanan dan minuman, selera artis, musik, film, dan lain sebagainya. Sehingga selalu memiliki banyak topik untuk dibicarakan, membuat persahabatan begitu awet bertahun-tahun karena sefrekuensi, istilahnya.

"Kok Pak Dahlan lama banget, ya?" Bintang bertanya, melihat ke kanan dan kiri setelah dilanda hening beberapa saat.

"Gak tau, kayaknya macet." Michael menjawab, melihat ke arah ujung jalan.

Suasana sekitar sepi, jalanannya lengang. Di seberang bangunan sekolah, terdapat lapangan bola besar berdinding tinggi dan lebar. Sekolah Michael dan Bintang bukan di pinggir jalan besar melainkan di dalam perumahan umum warga.

"Sepi banget." Bintang bergumam, sebelum mobil hitam berkaca hitam kapasitas 8 orang melintas pelahan, lalu berhenti di depan mereka.

Sejurus kemudian, dikejutkan oleh orang-orang yang melompat keluar dari si mobil hitam. Tak mampu berkutik, kejadiannya tak terduga. Orang-orang asing itu menarik tangan sambil membekap mulut dan hidung mereka. Ingin berteriak, tidak bisa. Gerakan orang-orang bertubuh besar itu tangkas dan kuat.

Lantas, 2 orang menarik kasar Michael, 2 orang lain menarik kasar Bintang. Mereka dimasukkan ke mobil dengan paksa. Orang-orang itu berpakaian rapi dengan kemeja dan celana kain, agaknya untuk kamuflase—mereka pun masuk cepat-cepat. Pintu mobil ditutup kencang. Lantas, mobil itu melesat.

Michael tak dapat melakukan apa-apa. Kepalanya makin pusing dan dadanya terasa sesak akibat obat bius di sapu tangan yang membekap. Hingga kesadaran pun menipis, kemudian menghilang. Yang dialami Bintang pun serupa. Tangan dan tubuh kecilnya dicengkeram, lalu wajah dibekap dengan kain beraroma begitu tajam.

UNSTABLE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang