Sore kini menunjukkan pukul 4. Setelah 2 hari Laras bertugas di apartemen, kini kembali berada di rumah utama. Hari ini giliran Bang Didi yang bertugas di apartemen. Dari 18 ART, hanya 4 orang saja yang Michael inginkan untuk menemaninya di apartemen. Laras, Kaisar, Bu Susi, dan Bang Didi. Masing-masing bertugas selama 2 hari.
"Mas Kaisar."
Laras sedang duduk di samping rumah, bersama Kaisar dan juga Bu Susi, ibunya. Bersantai sore sebab sedang tiada pekerjaan dengan 2 majikan yang sama-sama tak di rumah.
"Hm?" Kaisar menoleh.
"Tuan tuh harusnya dibawa ke psikiater, tau," ungkap Laras serius, sambil mengunyah kripik kentang yang memiliki jargon life is never flat.
"Iya, saya tau. Setelah Tuan gagal bunuh diri, semua orang di rumah ini juga jadi lebih kebuka matanya. Bahkan Nyonya Irma yang tadinya gak kepikiran sampai ke sana, udah mikirin sekarang. Sering ngebujuk Tuan juga biar mau. Tapi kan kamu tau sendiri, Tuannya yang gak mau. Kalau dipaksa, ntar dia malah marah." Kaisar menjelaskan.
Laras memandang lurus agak mengawang, membenarkan rambut yang baru saja tertiup angin musim hujan.
"Kemarin malem Tuan kambuh, Mas," ungkap Laras lagi, terdengar lesu.
"Kayak gimana?" Kaisar merespons cepat. Bu Susi yang sedang memperhatikan daun-daun tanaman hias menengok juga.
"Yang takut-takut itu," jawab Laras.
"Takut apa katanya? Terus gimana? Gak kamu marahin, kan?"
"Ya ampun masa dimarahin... malah saya tuh kasihan banget ngeliat Tuan kayak gitu." Laras berucap penuh prihatin. "Kemarin katanya Tuan takut kalau dia kena usus buntu lagi soalnya perutnya agak sakit," sambungnya.
Kaisar menghela napas. "Tuan tuh kalau udah takut sesuatu gak keruan banget. Bisa sampai gemeteran, keringet dingin gitu," timpalnya menyayangkan.
"Iya." Laras melamun menahan iba. "Saya baru pertama kali lihat Tuan kayak gitu. Anxiety ya, Mas, istilahnya?"
Kaisar mengangguk mengiakan. "Saya pernah searching masalah anxiety disorder. Dari ciri-cirinya Tuan sih, kayaknya emang itu. Tapi bisa juga PTSD. Tapi di dalam PTSD, anxiety termasuk gejalanya. Terus di ciri-ciri PTSD tuh... kayak 90% ada semua di Tuan. Tapi gak ngerti juga deh, siapa tau bipolar?" Pemuda itu menghela napas. "Saya bukan ahli psikologi. Gak boleh asal diagnosa berdasarkan Google. Harus dicek sama ahlinya," tandasnya, tak mau gegabah
Laras ikut bingung dan pusing, juga sedih. Kasihan sekali Michael. Rasanya Laras ingin membantu, tetapi ia cuma ART. Tak lebih.
"Kita cuma bisa nenangin aja kalau dia lagi kayak gitu. Kasihan Tuan... pasti rasanya gak enak banget." Kaisar kembali berujar lesu.
Laras mengangguk sendu. Tentu. Hanya itu yang bisa mereka lakukan untuk Tuannya itu.
"Dulu Tuan gak kaya gini, pokoknya semenjak itu..." Kaisar menghela napas. Membicarakannya saja lelah, apalagi Michael yang mengalaminya.
Tiba-tiba, Bu Susi ingin nimbrung, setelah sejak tadi hanya mendengarkan obrolan anaknya dan Laras. "Yang penting kita sabar ngadepin dia, dibaik-baikin. Jangan dimarahin, jangan buat adrenalisnya naik."
"Adrenalin, Bu." Kaisar mengoreksi.
"Iya, itu... adrenalin. Soalnya ada temen saudara Ibu, kayak Tuan juga. Jadi temperamen, kasar, terus sering takut-takut dam cemas-cemas juga gara-gara trauma. Bahkan dia sampai pingsan kalau udah kambuh. Tapi dia gak mau dibawa berobat. Jadi, cuma itu... dibaik-baikkin, disabarin, ditenangin baik-baik, terus jangan suka disalah-salahin. Soalnya perasaan orang-orang kayak gitu sensitif banget." Bu Susi menjabarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNSTABLE ✔️
قصص عامةTentang Michael yang tampan, sombong, pemarah, kasar, dan kaya. Lalu tentang Laras yang cantik, baik, sabar, lembut, dan miskin. Laras hanya pembantu, sementara Michael adalah majikannya. Sebenarnya, Michael yang kasar hanya seonggok manusia rapuh b...
