34. The Prince of Her Heart

3.6K 403 261
                                        

Tak lama setelah menonton video CCTV, Irma terpaksa meninggalkan apartemen sebab mendapat telepon dari rumah sakit untuk mengurus administrasi Bang Didi dan lain-lainnya. Sebab Bang Didi hanya sendirian tinggal di ibu kota. Seluruh keluarganya tinggal di Medan. Maka, Irma yang bertanggung jawab atasnya, termasuk hal-hal yang menyangkut keselamatan kerja.

Irma pergi diantar Kaisar, membuat Laras menjadi satu-satunya yang menjaga Michael di apartemen. Ya, Irma sudah amat percaya kepada Laras karena seringkali mendapat pujian dari anaknya.

Sekarang ini, Laras masih menunggu Michael untuk bangun. Sudah 2 jam pemuda itu tidur. Laras bahkan bisa memasak dan sibuk di dapur. Sesekali mengecek ke ruang tamu, apakah lelaki itu sudah bangun. Kalau belum, ia akan mengusap dahi atau pipi sang Tuan sebelum kembali ke dapur. Mungkin terdengar sedikit lancang. Namun entah mengapa, naluri Laras yakin Michael tidak akan marah sekalipun aksinya ketahuan.

Pukul 7 malam.

Laras sudah selesai memasak, mengatur makanan, dan membersihkan dapur dengan saksama. Ia kembali mendatangi Michael di sofa panjang. Duduk di lantai, memandangi wajah rupawan yang sedang terlelap. Senyuman terukir tanpa sadar. Perlahan mengelus alis Michael yang halus dengan telunjuknya. Paras damai berkulit cerah. Hanya orang iri yang mengatakan Michael tidak tampan.

Laras dipenuhi damba dan sayang. Hingga beberapa menit kemudian, kelopak milik sang Tuan bergerak, bersamaan dengan kepala yang juga sedikit bergerak, sebelum mata kecil itu pun terbuka. Laras menunggu sang Tuan hingga bangun sempurna.

Michael mengerling pada Laras, membuka bibirnya ingin berucap. Apakah bisa? Ia ingin mencoba.

Lidah dan bibir pun ia gerakkan pelan-pelan. Masih kaku, masih susah. Namun, tetap dipaksakan. Laras menunggu dengan sabar, berusaha tidak perlu iba.

"La..ras.." panggilnya pelan dan serak.

Yang dipanggil pun tersenyum. Rasa-rasanya air mata ingin bergumul. "Iya, Tuan," sahutnya lemah lembut.

Michael tersenyum samar, lalu bergerak ingin bangkit. Laras membantu agar Tuannya tidak semakin sulit. Hingga kini Michael duduk, dengan bibir yang terus memberi senyum tipis kepada Laras. Entah mengapa, rasanya berbunga-bunga melihat Laras ada di sisi ketika mata terbuka.

"Ada yang sakit, Tuan?" tanya Laras masih bersimpuh. Ingin memastikan keadaan sebab wajah sang Tuan masih sayu dan pucat.

Michael menggelengkan kepala, tanda tak ada yang sakit pada tubuhnya. Hanya sedikit lemas saja.

"Sini," kata Michael kemudian. Temponya masih pelan, volumenya juga pelan. Tidak apa-apa. Pelan-pelan saja. Pasti lama-lama bisa kembali lancar.

Laras bangkit dari lantai berkarpet, mendudukkan diri di samping sang Tuan. Untuk beberapa saat, gadis itu menatap teduh penuh perasaan. "Udah laper, belum? Makan, ya. Saya tadi goreng ayam," ucapnya begitu lembut.

Michael juga tersenyum penuh perasaan. Sorotnya teduh menghangatkan. Ia pun mengangguk. Sudah lapar, belum makan sejak jam 1 siang.

"Saya ambilin, ya. Tunggu di sini," ujar Laras.

Michael mengangguk saja, menuruti semua mau Laras. Gadis itu pun berdiri, pergi ke dapur untuk mengambil makanan dan minuman.

Pemuda itu menatap lampu gantung yang sudah berada di pojok ruangan. Siapa yang memindahkan? Michael tak tahu Kaisar datang, sebab sudah terlelap di pelukan sang Bunda.

Tak lama, Laras kembali datang. "Saya suapin aja, ya." Suaranya menguar manis, membuat Michael kembali tersenyum tipis.

Menurut Laras, malam ini Michael berbeda sekali, membuat sebuah heran tersimpan di dalam hati. Sang pujaan tersenyum tiada henti, seolah Laras adalah harta karun yang baru ia temui.

UNSTABLE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang