Tiga Puluh Dua

3.8K 364 15
                                    

Halo semua apa kabar?
Maaf hiatus tanpa kabar sampe hampir dua bulan.
Bukan sengaja kok, tapi kehidupan di dunia nyata aku saat puasa sampe lebaran lagi butuh perhatian alias lagi sibuk-sibuknya cari duit. Ceilah... Hihihi 😁

Abis lebaran ngurusin anak PAS, sekarang udah selesai semua urusannya jadilah bisa update satu bab lagi.

Ini fresh from the oven alias baru selesai aku ketik, gak aku edit jadi di maklumin yak.

Oh iya, meskipun telat pake banget, Selamat Idul Fitri buat yang merayakan nya, maaf lahir batin ya.

Setelah ini aku usahain update tiap minggu, mengingat ini emang udah mau tamat. Semoga gak ada halangan ya.

Okelah tanpa banyak basa basi lagi, selamat membaca..

_______________________________

Satu bulan berlalu sejak Artika di rawat di Rumah Sakit ini, dan belum ada tanda-tanda yang menunjukkan ibu satu anak itu akan segera sadar. Kondisi nya yang kritis pasca kecelakaan lalu, membuat tubuhnya berada di situasi antara hidup dan mati. Hanya keajaiban yang bisa di harap untuk membuatnya sadar.

Kondisi Gerry jangan di tanya, jika ada kata yang lebih tepat dari buruk, mungkin itulah kata yang tepat untuk menunjukkan kondisi anak lelaki yang beranjak remaja tersebut. Tak sehari pun Gerry alpa menjaga Artika di Rumah Sakit, tanpa peduli kesehatan yang perlahan mulai menurun. Yah siapa yang menduga, syok dan luka akibat rasa bersalah bisa menggerogoti tubuh.

Kini yang bisa di lakukan Jakra, Artika dan Bagas hanya ikut mengawasi Gerry dengan sekali sehari datang mengunjunginya di Rumah Sakit, memastikan asupan makanan untuk Gerry habiskan agar remaja laki-laki itu tak ikut jadi pasien di sebelah bundanya.

"Bunda bakal bangun gak ya Syan?"

Lagi, hampir setiap hari Gerry menanyakan hal ini kepada siapa saja yang datang membawakan makan sore untuknya. Bosan, tentu saja. Awal-awal dulu beragam kalimat semangat di lontarkan Syani dan Rara serta ayah, ibu dan papa. Hingga sekarang ia hanya bisa menanggapi dengan senyuman sambil menepuk pelan adik tirinya itu lalu berkata.

"Doakan saja. Tuhan sudah mengatur yang terbaik untuk kita semua."

Yah, semua kata semangat ibarat omong kosong jika sudah sebulan berlalu namun belum ada tanda-tanda kondisi Artika membaik. Dokter bahkan tak menyangka Artika bisa bertahan sampai sekarang mengingat kondisi tubuhnya yang terluka sangat parah.

"Aku pingin di kasih satu kesempatan terakhir buat bahagiain bunda Syan." Lanjut Gerry dengan pandangan kosong menatap ke arah brangkar.

"Aku juga berdoa hal yang sama. Begitu juga Rara, ibu, papa dan ayah. Kamu gak sendirian kok mengharapkan itu." Ujar Syani sambil mengemasi bekal yang sudah di habiskan Gerry.

"Maaf, aku udah bikin kalian semua cemas. Tapi aku gak bisa ninggalin Bunda, kami tahu kan maksud aku."

"Iya tahu, makanya aku dan yang lain iyain aja saat kamu mutusin buat pindah sementara ke sini. Tapi tetep jaga kesehatan kamu juga Ger, jangan sampe pas bunda sadar gantian kamu yang sakit. Kan gak lucu bunda yang akhirnya jagain kamu nanti." Ujar Syani mencoba bercanda.

Sayangnya candaan itu tak berarti apa-apa buat Gerry. Tak apa, hati Syani tak sekecil itu, ia sudah biasa dengan sifat Gerry yang pada dasarnya memang sulit tertawa.

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang