Dua

5.4K 532 13
                                    

"Saya datang untuk menjemput Syani."

Suara di depan pintu rumah yang terbuka menyadarkan Syara dari lamunan masa lalu, masa kelam yang kini berlanjut menjadi jilid dua. Syara tertawa getir, bahkan kesedihan nya saja ada bab nya.

"Kenapa?" Tanya Syara lemah.

"Kenapa kau ingin mengambil putriku juga? Bukankan hidupmu sudah lengkap, ada istri dan anak. Sementara aku cuma punya Syani. Sudah lenyap kah hatimu?" Lanjut Syara dengan nada getir.

"Saya tak memaksa Syani, hanya menawarkan. Dan anak itu sendiri yang memilih untuk hidup bersama kami." Jawab Jakra datar.

"Sebagai orang tua yang baik, kamu harusnya menasehati dia bukan malah bahagia saat dia memilih kalian!" Geram Syara.

"Saya mau menebus kesalahan saya yang lalu, jadi saya rasa keputusan Syani tepat dengan memilih tinggal bersama kami. Atau bisa saja kamu yang gak becus mengurus anak sendiri. Sehingga ia semudah itu meninggalkan kamu." Ejek Jakra meremehkan.

"Kau!!" Pekik Syara.

"Ibu!!" Syani berteriak saat ia keluar dari kamar sambil menenteng ranselnya yang berisi buku pelajaran.

"Aku yang memilih, jadi hargai pilihan aku." Syani memandang Syara dengan tatapan kecewa.

"Kamu serius nak mau ninggalin ibu? Jangan tergoda rayuan laki-laki yang kau panggil ayah ini. Dia bukan orang baik." Ujar Syara frustasi melihat keteguhan Syani untuk meninggalkannya.

"Ibu!! Dimata aku ibu yang gak baik sekarang, seenaknya saja menuduh ayah seperti itu. Aku kecewa sama ibu." Ucap Syani dingin.

Apa??

"Kita berangkat sekarang yah, kasian bunda sama Gerry nunggu lama." Syani langsung beranjak meningkatkan rumah yang ditempatinya sejak bayi tanpa pamit ke Syara ibunya.

Dua pasang langkah kaki bersahutan bergerak menjauh. Hingga bunyi mobil yang kini tak terdengar membuat Syara menatap nanar pintu rumahnya. Syara langsung limbung dengan tangisan yang awalnya pelan menjadi raung kepiluan, rasanya tak dapat di tahannya lagi. Dadanya sudah sesak, ia tak mampu membendung perasaan terluka dan kecewanya. Syara bahkan tak perduli seperti apa tanggapan tetangga kanan kirinya.

Karena pintu rumahnya masih terbuka sebagian. Ia tak peduli jika harus pingsan atau jatuh sakit karena rasa sedih dan tangis berlebihan. Karena nyatanya Syara sudah tak mempunyai semangat hidup lagi. Nyawanya serasa ikut pergi saat Syani melawan dan meninggalkan nya.

*****

"Ibu sudah sadar?"

Suara dari seorang gadis kecil menyambutnya kala Syara membuka mata. Syara mengerjab-ngerjabkan kedua Kelopak matanya yang terasa panas dan lengket, kepalanya pusing dan tubuhnya terasa lemas.

Pandangan yang tadinya kabur sekarang mulai terlihat jelas olehnya. Cat dinding berwarna pink lembut dan plafon berwarna ungu. Itu artinya dia berada di dalam kamarnya saat ini. Bau minyak kayu putih tercium jelas di indera penciuman nya. Perlahan Syara menolehkan kepalanya ke arah gadis kecil yang menyambutnya. Gadis itu langsung berlari keluar kamar saat yakin Syara benar-benar telah sadar.

"Papa!" Teriak gadis itu saat berada di luar kamar.

Oh, itu artinya ada orang lain selain gadis itu bersamanya saat ini. Yah tak mungkin juga gadis yang bertubuh mungil itu mampu mengangkat dan memindahkan nya ke kamar. Seingat Syara ia masih di ruang tamu saat pandangan matanya terasa menggelap ketika ia puas menangis histeris tadi.

"Mbak Syara, gimana perasaannya sekarang?" Tanya laki-laki yang dipanggil papa oleh gadis kecil tadi.

Saat ini kedua ayah dan anak itu masuk bersama kekamarnya. Lelaki baik yang menjunjung tinggi nilai kesopanan.

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang