Delapan

4.7K 536 28
                                    

Shock dan tak percaya itulah yang dirasakan Jakra. Matanya tak berkedip menatap laki-laki itu. Jadi kecurigaan nya benar, jadi senyum bahagia itu karena Syara akan mempunyai keluarga baru, jadi...

Entah berapa banyak kata 'jadi' berputar di kepala Jakra hingga tanpa sadar, pasangan calon keluarga baru itu sudah meninggalkan kamar rawat Syani dari tadi.

"Yah... Ayah.." panggil Syani.

Panggilan itu menyadarkan Jakra dari pikiran bodohnya.

"Eh.. kenapa nak?" Tanya Jakra.

"Ayah melamun? Bisa tolong bawakan apel dan pir yang udah dikupas ibu tadi, aku mau makan."

Jakra memberikan buah yang yang sudah dipotong diatas piring itu kehadapan Syani.

"Kamu suka apel dan pir nak?" Kembali Jakra bertanya.

Syani menganggukkan kepalanya, malas menanggapi dengan bicara. Jakra seolah tersadar jika selama dua bulan ini ia melalaikan anak nya, dia pikir dengan memberikan uang jajan berlebih itu sudah cukup nyatanya tidak, lagipula Jakra tidak tahu bagaimana membahagiakan orang lain selain dengan harta dan kekayaan.

"Kenapa gak bilang ke ayah kalau lambung kamu gak toleran sama makanan olahan tepung."

"Aku gak pingin ngerepotin bunda dan buat bunda gak enak karena menolak makanan nya. Aku orang baru dirumah itu jadi harus tau diri." Jawab Syani.

Kembali Jakra merasa gagal menjadi seorang ayah. Dia hanya sibuk membawa Syani pindah, berpikir dengan melakukan ini Syara akan memohon kepadanya dan ia akan memanfaatkan situasi itu. Tapi nyatanya Syara membalas dengan cara tak terduga, yang membuatnya kesal tak terima tentu saja.
Hingga Jakra lupa bertanya perihal Syani pada Syara. Jakra mengutuk ego dan pemikiran bodohnya. Yah Jakra hanya pintar berbisnis tapi bodoh dalam berempati. Ia hanya mau di pahami bukan memahami.

"Kalau kamu udah sembuh ayah akan minta pembantu dirumah masak masakan kesukaan kamu." Janji Jakra.

"Buat Gerry juga yah, aku baru tahu dari pembantu dirumah ayah kalau Gerry suka makanan Indonesia. Jadi nanti siapin buat aku dan Gerry ya yah. Kalau ayah suka makanan apa?" Syani balik bertanya.

"Ayah.." Lidah Jakra kelu saat mendengar suara pintu terbuka dan tampak Artika masuk dengan pakaian dan dandanan glamornya.

"Kenapa kamu gak bilang bunda kalau lambung kamu bermasalah sih Syan. Kamu buat bunda kelihatan jahat, kamu gak tahu temen-temen bunda jadi menggosipkan yang enggak-enggak tentang bunda. Lain kali ngomong Syan." Omel Artika saat baru masuk.

"Tika, jaga nada bicaramu, Syani sedang sakit, gak sepatutnya seorang ibu bersikap seperti ini kepada anaknya yang sakit. Lagipula kamu harusnya tahu Syani memakan itu karena menghargai masakan kamu. Sedang kamu malah lebih peduli dengan arisan dan kumpul sama geng sosialita kamu. Sekali datang kesini langsung marah-marah. Kalau kamu memang peduli, kamu akan segera meninggalkan perkumpulan bodoh itu dan segera kesini." Ujar Jakra sedikit emosi.

"Kamu tahu kan Jak, perkumpulan itu penting buat aku jadi.."

"Lebih penting dari suami kamu, lebih penting dari mengurus Gerry anak yang sembilan bulan kamu kandung, juga Syani yang baru datang di keluarga kita." Cecar Jakra.

"Udah yah, kasian bunda." Bela Syani, tak tega melihat raut wajah istri ayahnya itu.

Dia tak nyaman melihat perdebatan orang dewasa dihadapannya. Bagaimanapun Syani anak mereka, jadi tak pantas rasanya disuguhi adu mulut di depan mata. Dan selama dua belas tahun hidupnya ia tak pernah melihat pertengkaran orang tua seperti ini. Hingga akhirnya pintu kamar Syani terbuka lagi, tampak seorang gadis kecil seusia Syani yang tadi datang kembali masuk dengan menunjukan kepalanya terlebih dahulu.

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang