Berpanas-panasan demi mengawasi proyek yang sedang dikerjakan anak buahnya adalah hal yang biasa bagi Bagas. Lihat saja kulitnya yang kecoklatan. Terkena paparan sinar matahari, bukan hal besar bagi Bagas. Baginya itu adalah bukti kerja kerasnya selama ini.
Bukan hal yang mudah merintis usaha di bidang perencanaan dan konstruksi. Dari yang awalnya perusahaannya hanya membangun rumah-rumah tinggal pribadi, perlahan meningkat saat berhasil memenangkan tender proyek pembangunan sebuah komplek perumahan, hingga akhirnya bisa membangun gedung-gedung megah bertingkat seperti sekarang.
Sebenarnya Bagas tak perlu repot-repot turun langsung meninjau lokasi proyeknya sesering mungkin, dia hanya perlu menyerahkan semuanya ke bawahan yang ia percaya. Tapi tidak, pengalaman pernah ditusuk dari belakang oleh pekerjanya dulu hingga membuat proyek yang ditangani bermasalah. Memaksa ia harus tetap turun langsung seperti ini, beruntung kerugian saat itu hanya di angka puluhan juta karena cukup awal mengetahui, jika tidak entah berapa banyak uangnya yang hilang akibat pekerjanya dulu itu.
"Sudah berapa persen semuanya?" Bagas bertanya pada pengawas yang berada di sampingnya.
"Gedungnya sudah 70 persen Pak, semuanya akan selesai sesuai tenggat waktu." Jawab Ardi, pengawas itu yakin.
Bagas mengangguk-anggukkan kepalanya menanggapi jawaban pengawas lapangan itu. Lalu berjalan menuju gudang bahan bangunan. Mengamati jejeran semen, besi, baja, dan material lainnya yang tersusun di dalam.
"Barang-barang di sini aman kan. Gak ada yang hilang?"
"Aman Pak, satpam yang ini orangnya tegas, jujur dan bertanggung jawab."
"Bagus, laporkan terus perkembangannya ke saya. Kerjakan semua sesuai gambar, jangan ada yang diubah komposisinya. Jika ada kendala segera hubungi saya, jangan mengambil keputusan sendiri."
"Baik Pak."
Kembali Bagas berkeliling, memasuki bagian dalam gedung. Lantai granit hampir semua terpasang, begitupun dengan plafon. Bangunan apartemen yang terdiri atas 20 lantai itu tampak ramai terlihat karena banyak pekerjanya yang sibuk. Pekerjaan Bagas hanya meliputi bangunan dasar gedung, sedangkan untuk interiornya perusahaan lain yang menang tender. Dia kembali memikirkan untuk mengembangkan perusahaannya di bidang interior design. Sepertinya Bagas sudah harus mulai mencari arsitek interior untuk bekerjasama dengannya.
Puas meninjau proyek, waktu pun sudah menunjukkan pukul 12 siang. Ardi-pengawas gedung- tadi mengajak makan siang bersama, tapi Bagas tolak, ia tahu jika bawahannya akan merasa tak nyaman dan leluasa jika ia bergabung bersama mereka.
Setelah 20 menit mengendari mobil, akhirnya Bagas memutuskan untuk singgah ke rumah makan tradisional yang tampak ramai. Berdasarkan pengalaman, biasanya tempat makan yang ramai dikunjungi itu artinya makanan yang disajikan enak.
Ternyata benar, makanan di sini rasanya enak, segala rempah Nusantara terasa pas menggoyang lidah. Jika saja ia langsung pulang ke rumah, rasa-rasanya Bagas ingin membungkus beberapa lauk dan sayur untuk di nikmati bersama Syara dan anak-anak di rumah. Mungkin lain kali ia bisa mengajak keluarganya makan di sini.
"Itu loh yang punya rumah makan di sini, Kiran namanya, cantik kan."
"Ohhh, aku kira tadi itu ada seleb datang, taunya."
"Jadi itu alasan lo ngajak makan jauh-jauh ke sini."
"Iyalah, apa lagi. Makan enak sambil cuci mata, siapa yang nolak."
"Eh itu, dua anak kecil itu siapa?"
"Anaknya."
"Kalah cepat lo."

KAMU SEDANG MEMBACA
Menukar Hidup
Chick-LitTak selamanya kalimat tak apa hidup sederhana asal bahagia itu relevan dengan yang Syara rasakan. Karena nyatanya sang anak lebih memilih kemewahan daripada kesederhanaan. Meski anaknya tahu, bahwa lelaki yang mengaku ayah itu telah mencampakkan dan...