Tujuh Belas

4.4K 489 27
                                    

Warning..
Konten agak dewasa.
______________________________

Pelan Jakra mendorong tubuh Artika menjauhi tubuhnya. Artika yang sudah dikuasai nafsu seketika bingung melihat respon Jakra. Gairah masih terpancar di wajah Artika, sehingga ia masih bersikeras bertahan memeluk Jakra, lagipula kakinya terasa lemas tak mampu untuk berdiri.

"Ke.. kenapa mas?" Tanya Artika bingung.

Baju tidur Artika sudah tak karuan bentuknya. Satu talinya terturun menampilkan gundukan besar dada hasil operasi nya. Dan itu tak luput dari pandangan Jakra. Artika kira Jakra mulai kembali tergoda saat melihat dadanya. Dengan percaya diri Artika mengambil tangan Jakra dan meletakkan di gundukan besar miliknya. Namun sayangnya dugaan Artika salah besar, tubuhnya terasa sedikit oleng karena dipaksa Jakra berdiri.

"Kapan kamu operasi dada?" Jakra melepas tangan yang diletakkan paksa di dada Artika itu lalu memutari tubuh istrinya.

"Dan bokong?" Lanjut Jakra.

Artika hanya bisa terdiam, entah mengapa dia merasa gugup. Jakra berang, wajahnya terlihat merah menakutkan karena amarah mulai menguasai nya.

"Ohh jangan jangan saat kamu bilang ke aku mau jalan ke Korea dan yah aku ingat kamu menghabiskan uang lebih dari lima ratus juta di kartu kredit? Ohh ini sebenarnya. Kamu bilang waktu itu uangnya buat investasi modal usaha teman kamu di Korea. Jadi ini yang sebenarnya. Wahhh... hebat kamu Tika." Sinis Jakra geleng-geleng kepala mengetahui keborosan istrinya.

"Jabatan aku memang tinggi, penghasilan ku juga banyak, tapi itu bukan berarti kamu bisa seenaknya menghabiskan uangku untuk hal yang sia sia seperti itu Tika!" Lanjut Jakra geram.

Yah Jakra lelaki yang menentang operasi plastik. Jika uang untuk perawatan wajah dan tubuh ia lebih ikhlas mengeluarkan nya, tapi untuk merubah ciptaan Tuhan, Jakra sangat menentang itu. Karena Jakra juga sudah menerima Artika apa adanya dan tak pernah menuntut apapun. Karena itu ia berang melihat kenekatan istrinya. Salahnya juga sudah sangat lama abai dengan kegiatan istrinya itu hingga Artika makin seenaknya menggunakan uang di kartu kredit dan debit pemberiannya.

"Aku begini buat kamu juga mas." Bela Artika.

"Buat aku atau buat pujian dari teman sosialita kamu itu heh? Kalau buat aku, seharusnya sudah lama aku tahu soal ini, kenapa aku baru tahu sekarang!" Balas Jakra setengah berteriak menahan geramannya.

Jakra memejamkan matanya, sembari duduk kembali di kursi kerjanya, ia takut terbawa emosi dan melukai wanita didepannya yang kini mulai menangis itu.

"Maaf mas, aku.. aku.." Tangis Artika semakin menjadi, karena ia tak tahu harus bagaimana lagi membela diri di depan Jakra.

"Mulai besok aku akan memberi jatah padamu Tika. Aku tak ingin kecolongan lagi. Sudah cukup kamu berfoya-foya. Dan berapapun yang aku beri terima saja." Putus Jakra tajam di depan Artika.

"Tapi mas.."

"Keluar!"

"Mas.."

"Keluar Artika, jangan pancing emosiku!!"

Mau tak mau ia melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerja suaminya itu. Setelah menutup pintu ruang kerja Jakra, tubuh Artika luruh, kakinya yang memang terasa lemas membuatnya lunglai ke lantai dengan air mata yang mengalir, bahkan ia lupa memakai jubah untuk menutupi baju tidur tipis dan pendeknya itu. Setelah tenaganya sedikit terkumpul dan perasaannya agak tenang ia melangkah pelan menuju ke kamar dan menutup rapat pintunya.

Gagal sudah rencana yang ia susun dengan baik malam ini bahkan bisa dibilang hancur berantakan dan lebih buruknya lagi ia sekarang mendapatkan jatah bulanan,entah bagaimana nasib kartu kredit dan debit yang ia pegang sekarang. Ah tapi mungkin saja suaminya itu hanya menggertak nya, karena selama ini Jakra tak pernah sekalipun mengaturnya, sepertinya Jakra hanya ingin ia menyadari kesalahannya dan berjanji tak akan mengulanginya saja. Artika yakin Jakra tak akan setega itu padanya, ia percaya esok semua akan kembali normal seperti semula.

Sedang diruang kerja Jakra memulai aksinya, ia menelpon kenalannya untuk meminta memblokir kartu kredit unlimited yang dipegang istrinya dan mengisi kartu debit yang istrinya pegang itu hanya sebesar 20 juta sebulan. Ia akan mulai mengatur keuangan untuk istrinya.

Paginya, semua berjalan normal begitupun dengan Artika. Kepercayaan dirinya kembali bangkit karena Jakra terlihat tak mengungkit ancamannya yang tadi malam. Artika bisa bernafas lega sambil menikmati sarapan. Sedangkan Jakra sudah menjalankan aksinya, tak sulit bagi Jakra melakukan itu, mengingat, ia mempunyai kenalan penting di beberapa bank, hanya tinggal menelpon sekretaris nya dan semua teratasi. Tak ada yang sulit jika kekuasaan sudah ia pegang, jadi menguras rekening milik istrinya dan menyisakan seperlunya saja untuk jatah bulanan itu bisa terlaksana segampang dan secepat itu, hanya dalam waktu satu malam saja.

"Kartu kredit itu sudah aku blokir. Untuk selanjutnya pakai kartu debit kamu jika ingin berbelanja atau membeli sesuatu. Saldo didalamnya untuk biaya kamu satu bulan, jika habis tunggu bulan berikut nya untuk aku isi. Karena aku tak akan memberi lebih dari itu." Jelas Jakra sambil menikmati sarapan berupa bubur ayam buatan mbok Inah.

Artika tersentak kaget ia tak menyangka Jakra benar benar memenuhi ancamannya. Padahal hari ini Artika sengaja merajuk tak membuat sarapan, wanita itu sengaja tak ingin memasak biar suaminya itu tahu dan mengalah seperti sebelum, namun lagi-lagi pikiran nya salah.

Dan merajuknya Artika sebenarnya itu malah kebahagiaan buat Jakra dan anak-anaknya jika pulang nanti, karena akhirnya mereka bisa merasakan masakan rumahan yang wajar khas Indonesia. Artika yang awalnya menduga suaminya akan bertanya dan memprotes malah terlihat lahap menikmati sarapan buatan pembantu mereka itu. Artika menatap tak percaya saat melihat Jakra sudah menghabiskan porsi ketiga bubur ayam buatan mbok Inah itu. Suaminya terlihat lebih bersemangat menikmati sarapan seperti itu ketimbang makanan buatannya.

"Mbok, kapan kapan buat ayam taliwang, cah kangkung, telur balado sama sup ya buat makan malam jangan lupa sambal terasi, tempe tahu bacem juga." Pesan Jakra pada mbok Inah yang langsung disanggupi pembantu mereka.

Artika ternganga, seumur umur pernikahan mereka tak pernah ia melihat Jakra sehidup dan sesemangat itu memesan menu. Bahkan ia tak pernah punya request apapun saat Artika ingin memasak sesuatu. Hati Artika terasa sakit melihat perlakuan suaminya itu. Walau suaminya menolak, ia yakin Gerry anaknya nanti pasti akan meminta ia memasak makanan seperti biasa.

"Berapa ini isi saldo kartu debitku?" Tanya Artika saat melihat Jakra sudah selesai dengan sarapannya.

Wajah Jakra tampak puas setelah menyantap sarapan. Sedang Artika masih setia menikmati roti bakar selai kacang yang hanya ia buat satu porsi, untuk dirinya sendiri.

"20 juta." Sahut Jakra cepat.

"Apa?? Mas gak salah ngasi aku segitu buat sebulan, mana cukup mas." Pekik Artika kaget.

Ia menduga Jakra paling tidak memberinya jatah minimal 50jt perbulan karena suaminya itu pasti tahu seperti apa gaya hidupnya. Tapi ternyata lagi-lagi dugaannya salah.

"Cukup tak cukup harus kamu cukup-cukupkan. Kamu tahu bahkan diluar sama banyak istri yang merasa sangat bersyukur saat diberi jatah bulanan hanya lima sampai sepuluh juta sebulan. Kamu terlalu boros Tika." Sarkas Jakra.

Setelah itu ia beranjak meninggalkan Artika yang masih terpaku dimeja makan, Jakra sudah ingin pergi dari tadi. Ia akan menjemput Syani dan Gerry dirumah Bagas. Ini Minggu pertama mereka menginap disana, selanjutnya akan rutin seperti ini entah sampai kapan.

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang