Sinar matahari pagi menyadarkan Artika dari tidurnya. Kepalanya terasa sakit dan berat dan matanya terasa panas dan bengkak. Tak bisa dibayangkan sekacau apa penampilannya sekarang. Saat membangkitkan tubuhnya perlahan, selembar selimut jatuh dari perutnya. Hati Artika menghangat, ternyata Jakra tak sebenci itu padanya karena ia masih bersedia menutupi tubuhnya dengan selimut tadi malam.
Tanpa Artika tahu bahwa bukan lelaki itu yang melakukannya, yang menyelimuti nya itu mbok Inah. Asisten rumah tangganya itu mendengar pertengkaran hebat suami istri itu tadi malam. Mbok Inah tahu seperti apa pernikahan keduanya karena sudah lama bekerja bersama mereka.
Ia tahu seperti apa sikap majikan wanitanya itu tapi ia juga tak pernah berharap mereka bercerai. Malah mbok Inah sering berdoa semoga majikan perempuannya itu berubah dan Jakra bersikap lebih hangat, nyatanya doanya tak terkabul. Apalagi saat tahu jika ternyata majikan wanitanya ini seorang pelakor. Dia jadi bingung harus bagaimana menanggapinya.
Dia sama seperti wanita bersuami lainnya yang anti pelakor tentu saja. Tak ada yang rela suami tercinta mereka direbut. Tapi hati nuraninya tak sekejam itu juga saat melihat majikannya itu tertidur di sofa setelah lelah menangis. Karena itu ia segera mengambil selimut dan menyelimuti majikannya itu agar tak sakit karena kedinginan.
Rumah sudah sepi saat Artika bangun, jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi saat ini. Perutnya terasa keroncongan, ia ingat bahwa belum makan dari tadi malam. Niatnya bersabar dan bertahan ternyata kalah dalam waktu 30 hari. Bagaimana dengan Syara yang hampir setahun bersabar padahal tahu suaminya tengah dekat dengan wanita lain. Artika tersenyum getir, ternyata ia jauh lebih lemah dari wanita itu. Yah Artika dengan berat hati ia mengakui jika Syara memiliki sedikit kelebihan dari dirinya, hanya sedikit karena ia masih merasa berada di atas level wanita itu. Jadi ia tetap tak terima di bilang batu kali oleh Jakra.
Mencoba peruntungan Artika ingin membawakan Jakra makan siang. Sebagai ucapan terima kasih karena telah menyelimutinya tadi malam. Siapa tahu ini juga bisa sedikit memperbaiki hubungan mereka dan membatalkan niat Jakra menceraikan nya. Ia tak mau dan tak siap menjadi janda, apalagi jika saudara yang dulu mencercanya tahu jika akhirnya pernikahannya gagal. Entah seperti apa penghinaan yang akan mampir di telinganya.
Artika segera membersihkan diri. Menggunakan masker di wajah dan air dingin mengompres matanya guna mengurangi efek bengkak sehabis menangis semalaman. Setelah itu ia turun sarapan sambil meminta mbok Inah menyiapkan makanan di kotak bekal untuk Jakra.
"Nyonya yakin mau nganterin makan siang ke Bapak?" Mbok Inah merasa ragu dengan apa yang didengarnya ini.
"Iya Mbok, bapak itu masih peduli ternyata sama saya, buktinya bapak masih menyelimuti saya tadi malam." Yakin Artika dengan wajah berbinar bahagia.
"Itu Nyah.. saya.."
"Udah ya Mbok, saya berangkat, takut terlewat jam makan siangnya. Jaga rumah baik-baik." Artika segera membalik badan mengabaikan Mbok Inah.
"Tapi Nyah itu saya.."
Ucapan Mbok Inah tak sempat didengar Artika karena ia bergegas memasuki mobil dengan pikiran positif dan senyum menyertai. Dengan penuh semangat ia segera mengendarai mobil itu menuju kantor Jakra.
Begitu sampai di lobi Artika segera merapikan penampilannya, bahkan saat di dalam lift Artika kembali berkaca. Agar make up dan pakaian yang dikenakannya hari ini tak berlebihan. Dengan percaya diri Artika melangkah memasuki ruangan Jakra setelah menyapa sekretaris Jakra. Sekretaris yang merangkap sebagai asisten Jakra adalah seorang laki-laki, jadi Artika tak perlu khawatir.
Tok.. tok..
Setelah mendengar sahutan dari dalam Artika masuk dengan menampilkan senyum indahnya mengembang.
"Hai Mas, aku bawa makan siang nih, makan dulu yuk" Sapa Artika mengabaikan tatapan aneh dua orang pria yang memandangnya.
Dengan isyarat tangannya Jakra mengusir pria yang sedang berbicara dengannya itu. Lalu mendekati Artika yang terlihat seolah-olah tak terjadi apa-apa tadi malam. Apakah sebegitu tebalnya muka wanita ini hingga tak tahu malu menghampirinya sambil membawa makan siang.
"Apa maksud kamu datang kesini?" Tanya Jakra tanpa basa-basi setelah duduk di sofa single.
"Mengantar makan siang untuk kamu." Jawab Artika tersenyum sambil menaikkan kotak bekalnya agar terlihat oleh Jakra.
"Tenang aja ini masakan Mbok Inah kok, nanti pelan-pelan aku belajar masak sana Mbok Inah, jadi kalian bisa menikmati masakan ku kayak dulu. Eh iya apa makanan favorit kamu Mas, nanti aku coba buat, tapi kalau belum enak dimaklumi ya, kan baru belajar." Cerocos Artika sambil membuka dan menyajikan isi kotak bekalnya.
"Maksud aku, apa yang kamu lakukan saat ini Tika! Sudah lupa kamu dengan kejadian tadi malam. Jika dengan membawa ini kamu bermaksud menyogok ku agar membatalkan perceraian itu. Kamu sudah terlambat, sekretaris ku sudah memasukkan gugatan cerai aku ke kamu dan aku tak berniat membatalkan itu." Jelas Jakra.
"Ja..jadi apa maksud kamu menyelimutinya aku tadi malam Mas? Kamu seolah masih perhatian padaku tapi tetap berlaku kejam. Jangan menunjukkan perhatian mu jika niat mu selurus itu." Tembak Artika yakin.
"Selimut? Kamu kesini karena berpikir aku menyelimutimu tadi malam. Hehh.. aku bahkan tak keluar dari ruang kerjaku setelah kita bertengkar. Aku tak sebaik itu jika sudah terluka Tika. Apa ini hanya akal-akalan kamu saja, atau jangan-jangan yang mengambil selimut itu kamu sendiri tadi malam dan berdalih aku yang memberikan. Hah, lucu sekali." Sarkas Jakra.
"Jangan bercanda Mas, kalau bukan kamu jadi siapa? Aku terlalu lelah untuk mengambil selimut sendiri. Ayolah jangan gengsi mengakui, jika kamu jujur, aku juga berjanji akan memperbaikinya diri Mas. Kita perbaiki rumah tangga kita." Pinta Artika memelas.
"Sudah terlambat Tika, aku tak ingin menggadaikan hidupku dengan memaksa hidup kembali bersamamu. Perasaanku sudah lama hilang padamu, tepatnya sejak Gerry lahir dan kau mengabaikannya. Sudah sangat lama rasa itu mulai terpupuk, dan tadi malam itu mungkin akumulasi rasa kecewaku padamu."
"Ah, aku juga ingin berterima kasih kepadamu. Berkat amarahmu tadi malam, aku berhasil mengeluarkan itu, jika tidak entah harus berapa lama lagi aku memupuk rasa kecewa itu dan bertahan di pernikahan kosong kita." Lanjut Jakra.
"Mas.."
"Sudah Tika, pulanglah. Aku akan makan makanan yang kau bawa, kau pergilah." Pinta Jakra pelan ia sedang malas berdebat siang ini.
"Ijinkan aku menemanimu makan siang kali ini Mas, anggap saja kamu memberikan kenangan indah terakhir kalinya untukku."
Tanpa banyak kata akhirnya Jakra menikmati makan siang buatan Mbok Inah yang dibawa Artika itu. Walau terasa hambar. Bukan, bukan karena mbo Inah kurang memberi bumbu pada masakannya, tapi karena perasaannya yang tak nyaman karena keberadaan Artika di dekatnya. Walau begitu Jakra tetap menghabiskan nya.
Setelah Jakra selesai makan, Artika menepati janjinya, ia segera pulang dengan membawa kotak bekal yang sudah ringan itu. Wajahnya kuyu, tatapan matanya kosong, ia tak menyangka usahanya sia-sia. Sudah sangat terlambat kah baginya untuk mendapatkan kesempatan kedua. Ditambah misteri tentang selimut pun belum terpecahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menukar Hidup
ChickLitTak selamanya kalimat tak apa hidup sederhana asal bahagia itu relevan dengan yang Syara rasakan. Karena nyatanya sang anak lebih memilih kemewahan daripada kesederhanaan. Meski anaknya tahu, bahwa lelaki yang mengaku ayah itu telah mencampakkan dan...