Sembilan

4.6K 543 23
                                    

"Hai Syan, makasih udah datang. Udah ketemu sama papa dan ibu belum?" Rara mencoba membangun pembicaraan dengan Syani yang hari ini terlihat sedih.

Sedih kenapa, apa karena mereka sekarang bersaudara tiri, atau karena tak rela ibunya memiliki keluarga baru. Entahlah, Rara tak berniat bertanya walau penasaran. Karena ini hari bahagia orangtuanya, jadi ia tak ingin merusak dengan pembicaraan yang menggiring ke perasaan tak nyaman pada dia dan Syani. Lebih baik ia memikirkan bahwa cara membangun hubungan kembali dengan saudara barunya ini.

"Sama-sama, selamat ya Ra udah punya ibu baru." Nada bicara Syani terdengar menyindirnya.

"Apaan sih, ini kan keluarga kamu juga Syan, kita jadi saudara tiri. Sayangnya kamu gak tinggal disini ya. Eh iya, selamat juga buat kamu, nambah satu papa lagi." Balas Rara setengah bercanda.

"Eh udah makan belum, makan sama-sama yuk, aku juga belum makan nih, laper. Cuma maaf ya gak ada menu Korea kesukaan kamu, susah nyari kateringnya."

"Selama ada nasi, apapun sayur dan lauknya pasti aku makan. Eh iya kamu cantik dengan baju itu." Syani sengaja menyinggung di akhir kalimatnya.

Rara tersenyum mendengar omongan Syani, ia sadar Syani sengaja menyinggung nya dari tadi. Setahun lebih berteman membuat nya mengerti seperti apa sifat Syani.

"Ini papa beliin. Papa mau beli untuk kamu juga tapi ibu larang. Katanya takut gak mau kamu pakai, karena baju ini gak semewah baju-baju yang dibeliin ayah kamu." Jelas Rara.

Hati Syani tercubit. Jauh di lubuk hatinya dia juga ingin memakai baju seragaman seperti Rara tapi sepertinya gara-gara Syani enggan membawa baju-baju yang diberi ibunya saat ia memutuskan tinggal dirumah ayahnya dulu, maka ibu nya tak berani memberikan ia baju lagi. Syani mulai menyesali sikap impulsif nya saat itu.

"Ayo makan dulu Syan, aku mau kebelakang sebentar manggil ibu dan papa." Pamit Rara.

Nafsu makan Syani sudah menghilang. Dia lapar sebenarnya tapi gara-gara baju saja nafsu makannya bisa hilang.

"Syani. Udah lama datang? Udah makan belum?" Syara menghampiri anak gadis yang sangat dirindukan nya.

Dan kembali makanan lah yang jadi awal pembicaraan mereka. Apa karena Syani jatuh sakit beberapa waktu lalu, sehingga membuat mereka sangat peduli dengan asupan makanan untuknya.

"Hai Bu, ini aku mau makan. Eh iya, selamat atas pernikahannya, semoga ibu bahagia 'tanpa aku'." Syani memandang wajah ibunya yang terlihat berseri-seri.

Syara ingin sekali memeluk anaknya, menjelaskan alasan kenapa ia memutuskan menikah seperti ini. Saat dirumah sakit ia tak memiliki kesempatan untuk membicarakan itu, ditambah ia ragu apakah Syani membutuhkan penjelasannya.

Nyatanya luka saat Syani meninggalkannya masih kuat membekas. Membuat Syara merasa canggung dan ragu untuk bersikap pada anaknya. Di satu sisi ia ingin bersikap seperti biasa, saat mereka masih berdua dulu, disisi lain Syara takut sikap itulah mungkin salah satu alasan Syani tak menyukainya, hingga memutuskan meninggalkan nya.

"Boleh ibu peluk kamu nak? 'Ibu rindu'. Pinta Syara.

Syani hanya terdiam sambil menatap wajah cantik ibunya. Yah ibunya tampak semakin cantik dengan make up natural dan rambut yang di tata dengan cantik. Syani juga merindukan Syara, sangat. Merindukan omelan, nasehat, canda tawa bersama, makanan, pelukan dan semua hal tentang ibunya, ia rindu.

"Kalau gak boleh juga gak papa. Ibu ambilin makan aja ya buat kamu, kamu belum makan kan? Kamu duduk disana aja ya, disamping anak kecil itu sekalian ibu juga lapar mau makan." Syara menunjuk meja bundar dengan enam kursi yang di duduki oleh Gerry.

Lidah Syani kelu untuk mengucap bahwa ia juga rindu pada ibunya, bahwa ia juga ingin memeluknya. Namun rasa gengsi lebih menguasai pikirannya hingga ia memilih diam, memendam keinginan itu. Syani memilih duduk disamping Gerry yang tampak lahap menikmati makanan di atas piring nya. Di sampingnya ada dua piring plastik, satu berisi buah satunya lagi berisi kue-kue. Dengan segelas es jeruk dan air mineral gelas.

Hingga tak lama Syara datang membawa dua porsi nasi lengkap dengan ayam balado, cap cay, dori fillet goreng tepung dan kerupuk. Menu tradisional yang cocok di semua lidah. Dibelakang nya tampak seorang pelayan membawakan dua piring kue dan buah-buahan. Tak lama Rara datang membawakan minuman serta sepiring makanan untuk dirinya. Jam sudah menunjukkan waktu makan siang dan Syara ingin menikmati makan bersama Syani yang sudah beberapa bulan ini tak ia rasakan juga makan pertama sebagai keluarga besar baru bersama Rara. Syara ingin melepas salah satu rindunya.

"Ayah makan gabung disini ya." Jakra mendatangi meja mereka.

Syara terkejut mendengar suara mantan suaminya itu hingga tersedak dan terbatuk-batuk. Saat Jakra hendak memberikan minuman, Bagas datang lebih dulu menghampiri istrinya.

"Kenapa Syar? Ini diminum dulu." Bagas mendekat kan minuman ke Syara sambil satu tangannya mengusap punggung Syara.

Sontak kejadian itu membuat tiga pasang mata menatap mereka. Gerry yang tampak penasaran, Syani yang canggung melihat perhatian papa barunya itu sedang Jakra menatap tak suka. Sedang Rara tampak bahagia merasakan kasih sayang orang tua barunya itu.

"Mas." Syara menyadarkan Bagas akan sikap refleksnya.

"Oh maaf saya gak sadar kalau lagi ngumpul disini. Makasih Jakra, Syani dan ...." Bagas memandang anak lelaki kecil disamping Syani.

"Gerry om, anak ayah Jakra." Jelas Gerry saat Bagas menatapnya.

"Gerry atas kehadirannya. Semoga kita bisa lebih akur dan akrab untuk kedepannya ya." Sambung Bagas tulus.

"Selamat ya om, om dan ibu terlihat serasi. Semoga pernikahan om dan ibu bahagia." Ucap Gerry, tulus mendoakan.

Syara memandang anak kecil dengan wajah tampan hasil perpaduan ayah dan bundanya itu dengan senyum mengembang. Sikap Gerry anak Jakra dan Artika sepertinya tak menuruni orang tuanya.

"Makasih sayang." Jawab Syara tulus.

"Jangan panggil om dong, panggil papa aja, sama kayak kak Rara dan kak Syani." Bagas menanggapi yang diangguki Gerry dengan cepat.

Syara dan Bagas tertawa ringan melihat sikap Gerry. Syani hanya terdiam, dia malu tak bisa sebebas Gerry mengungkap perasaannya. Padahal Gerry terlihat begitu pendiam saat bersama dia dan ayah bundanya namun anak itu tampak berbeda saat berhadapan dengan pasangan pengantin baru itu.

Sedang wajah Jakra tampak berbeda, ia merasa tak terima anaknya mendoakan pasangan itu. Tidak Jakra masih tak terima dengan keputusan Syara menikah lagi. Tapi dia bisa apa, dia hanya mantan suami yang tak berhak apa-apa karena sudah sangat lama ia meninggalkan mereka tanpa memberi apa-apa. Hanya baru-baru ini saja ia dekat dengan mereka, ah anak mereka lebih tepatnya. Sudah sangat terlambat untuk menyesal,  jadi niatnya berubah, sengaja mendorong Syara mendekat dengan menerima Syani dirumahnya yang ternyata menjadi boomerang. Tuhan tahu niatnya buruk makanya tak dikabulkan.

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang