Enam Belas

4.6K 458 33
                                    

Melihat Syani yang masih bingung terdiam, Syara menghampiri lalu memeluknya erat. Syara paham, Syani orang yang sangat pandai menahan diri dan mengutamakan gengsi. Syara siap jika anak gadisnya itu menolak pelukannya. Namun sepertinya dugaannya salah, bahu Syani tampak naik turun dengan suara tangis tertahan. Syara semakin mengeratkan pelukannya.

"Ibu kangen Syani." Lirih Syara.

"Ma..afin Sya..ni Bu.. maafin Syani.." Balas Syani terisak berulang ulang.

Setetes air mengalir di pipinya, ini yang Syara tunggu. Syani menjadi jujur akan perasaan nya bukan mengedepankan gengsi.

"Udah ibu maafin sayang. Yang penting bagi ibu, sekarang Syani bahagia dengan keputusan Syani." Ucap Syara sambil mengelus punggung anaknya itu.

Pelukan itu ikut membuat suasana sekitarnya menjadi haru. Rara tak ragu meneteskan air mata, dengan Gerry yang terdiam sambil melirik kearah Rara yang tampak mengusap air matanya. Bagas dan Jakra juga ikut masuk saat mendengar suara berisik di ruang tamu. Jakra hendak melangkah mendekati ibu dan anak yang sedang berpelukan itu, namun langkahnya ditahan karena Bagas lebih dulu mendekati mereka. Mengelus bahu Syara lembut dan rambut Syani.

"Ini yang papa tunggu, makasih udah menjadi Syani yang dulu." Ucap Bagas.

Seketika Syara melepaskan satu tangannya untuk memeluk pinggang Bagas. Mereka berpelukan bertiga dan Bagas dengan santainya mencium puncak kepala Syara.
Pemandangan itu terpampang jelas dihadapan Artika saat melihat suasana haru pagi ini di ruang tamu mereka. Syara, Syani dan Bagas sedang berpelukan hangat, Rara yang menangis haru dengan Gerry yang mendekatinya bahkan menepuk pundak anak tiri Syara tersebut dengan hangat. Bahkan tatapan Jakra yang berdiri didepan pintu tak lepas dari pasangan yang berpelukan itu dengan tatapan iri, marah dan cemburu.

Cemburu? Tak mungkin Jakra cemburu. Dirinya yang sangat cantik modis begini tak mungkin tak menyenangkan hati dan membanggakan Jakra jika dipandang, level kecantikan Syara masih jauh dibawahnya. Jadi mungkin tatapan cemburu Jakra itu karena rumah tangga mereka sudah lama tak sehangat itu. Artika menerawang, apakah pernikahan mereka pernah sehangat itu. Bahkan olahraga panas di ranjang saja sudah sangat lama tak mereka lakukan. Entah kapan terakhir kali mereka melakukan itu. Saking lamanya, bahkan Artika tak ingat. Jadi bagaimana Jakra memenuhi kebutuhan biologisnya selama ini. Apakah Jakra menyalurkan ke tempat yang salah. Pikiran Artika langsung kusut seketika.

"Tika, kenapa berdiri disana." Tegur Jakra.

Rupanya acara peluk-pelukan itu telah selesai entah kapan. Bahkan mereka sudah duduk rapi di sofa. Hanya dirinya yang berdiri dengan nampan berisi beberapa toples camilan. Artika langsung bergegas memasang senyumnya, duduk di samping Jakra yang memilih duduk di sofa single. Alhasil mereka duduk berdempetan dan Jakra tak nyaman dengan itu.

Dan kelima pasang mata menatap aneh sikap Artika yang duduk menempel dengan Jakra. Seolah ingin menunjukkan kemesraan namun terlihat dipaksakan karena wajah Jakra yang tak nyaman.

"Tante gak duduk disini aja, sempit banget kayaknya, ayah kelihatan gak nyaman." Celetuk Rara melihat sikap aneh bundanya Gerry itu.

Ehh..

"Tante lagi pingin deket sama om. Biar gak kalah sama papa dan ibu kamu." Jawab Artika yang terasa aneh di telinga mereka yang mendengar.

Artika merasa tak terima dan tersinggung ditegur seperti itu, bahkan Jakra saja tak menegurnya, bagaimana bisa anak kecil itu seenaknya saja menegurnya. Jakra tak mungkin merasa tak nyaman, apalagi dipepet oleh tubuh seksinya, mungkin suaminya itu sedang menahan gairah maka terlihat tak nyaman. Begitu kan.

Artika melihat Jakra yang juga melihatnya, namun bukan wajah menahan gairah yang dilihatnya, tapi wajah dingin menahan amarah yang tak pernah Artika lihat sebelum nya. Wajah itu terlihat menyeramkan, nyali Artika menciut dan seketika dia memilih duduk di samping Rara yang lebih lengang.

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang