Sakit.. pusing.. nyeri..
Tapi elusan lembut di kepalanya ini membuat Syani enggan membuka mata. Dia rindu aroma dan sentuhan lembut yang selalu ibu berikan. Jika ini mimpi Syani tak ingin terbangun. Tanpa sadar setetes air mata lolos di pipinya. Tangan lembut itu lalu menghapus air mata Syani dengan pelan.
"Kenapa nangis nak, apa kamu sebegitu gak sukanya sama ibu sampai saat tak sadar saja meneteskan air mata. Apa elusan ibu mengganggu kamu?" Lirih Syara sambil melepaskan tangannya dari rambut Syani.
Syani kaget, ia pikir apa yang ia rasakan barusan hanya mimpi hingga ia berusaha membuka matanya pelan. Mengerjab perlahan sebelum pandangan matanya fokus dengan apa yang terlihat di depannya. Dinding putih dengan bau desinfektan khas rumah sakit. Akhirnya disini juga ia berakhir.
"Syukurlah sudah sadar nak, ibu panggil dokter dulu ya." Syara memencet tombol di samping brangkar Syani.
Tak lama seorang laki-laki dengan jas dokter dan sepasang perawat memasuki kamar tempat ia dirawat. Mengecek keadaan nya, setelah selesai ia menjelaskan apa yang terjadi sama Syani. Asam lambung dan over dosis obat karena lambungnya yang sudah kebal karena keseringan mengkonsumsi obat maag membuat Syani nekad meminum obat yang banyak dijual dipasaran itu lebih dari dosis seharusnya, yang mengakibatkan lambungnya memberontak, hingga berakhir tak sadarkan diri. Beruntung maag yang di alaminya masih belum masuk tahap akut, jadi bisa sembuh asal rutin mengonsumsi obat dan kembali pantang makan makanan yang memancing reaksi di lambungnya.
"Kenapa gak bilang ayah dan bunda kalau kamu gak bisa makan olahan tepung sebelum makan nasi nak?" Tanya Syara lembut.
Tapi saat melihat tatapan intens Syani, Syara menutup mulutnya. Dia khawatir saat mendapat kabar Syani masuk rumah sakit. Pikir Syara, Syani terlalu bahagia merasakan berbagai jenis makanan baru hingga tetap nekad mengkonsumsinya walau dengan resiko lambungnya akan bermasalah hingga selalu menyetok obat maag. Syara tak ingin Syani tambah membencinya jadi lebih baik dia tutup mulut dan tak ikut campur soal itu.
"Maaf, ibu jadi buat kamu gak nyaman. Gimana perasaan kamu sekarang?" Tanya Syara.
Yang lagi-lagi tak di tanggapi Syani. Anak itu hanya menatap nya dengan tatapan sedih, kecewa atau entahlah rindu mungkin. Syani terlihat terluka, entah oleh siapa. Apakah kedatangannya disini membuat anak gadisnya terluka. Syara kembali merasakan denyut nyeri di dadanya.
Padahal Syani hanya meluapkan rasa kecewa, sedih dan terluka pada dirinya sendiri. Yang membutakan mata dan hati, meninggalkan satu-satunya wanita yang tulus menyayangi dan merawatnya.
"Ibu udah memutuskan menjual rumah kita nak. Ibu gak bisa terus-terusan hidup ditempat dimana kenangan kamu terpatri disana. Ibu pingin bahagia seperti kamu, jadi ibu memilih untuk membangun hidup baru ibu. Kamu bahagia kan hidup sama ayah dan bunda. Sayangi mereka seperti kamu menyayangi diri kamu sendiri." Ucapan Syara terjeda sesaat.
"Dan ibu udah memutuskan buat nerima lamaran om Bagas, ayah Rara. Kami lagi mengurus persiapan buat menikah. Mungkin dua atau tiga
bulan lagi kami akan menikah. Kamu mau datang kan? Kalau enggak mau gak apa kok, asal jangan lupa sama ibu ya. Ibu juga selalu doain kamu.""Ibu, Rara dan papa udah datang." Suara ceria Rara terdengar saat Syara menyelesaikan cerita nya. Sedang Syani tetap setia dengan kebungkaman nya.
Ia shock, kaget, tak percaya setelah mendengar penuturan sang ibu dan kini orang yang akan merebut kasih sayang ibunya hadir di depan mata. Seketika ia ingat ucapan Rara beberapa waktu lalu. Yah itu adalah pertemuan terakhir mereka karena setelahnya Syani sengaja menghindari Rara.
Ia tak suka bergantung pada bantuan Rara saat disekolah ditambah hatinya terasa tak rela saat tahu ibunya menyiapkan bekal untuk selain dirinya, apalagi saat Syani tahu jika ibunya memasak makanan kesukaan Rara di bekalnya.
Bagaimana Syani tahu, secara tak sengaja ia mendengar Rara dengan bangga menceritakan sambil memamerkan isi bekalnya dari sang ibu kepada teman barunya. Rara anak yang ceria, ramah dan menyenangkan jadi mudah baginya mendapatkan teman baru tak sepertinya. Syani merasa tak terima saat mendengar klaim Rara atas ibunya dan semakin tak terima saat mendengar apa yang terjadi hari ini.
"Hai Syan, gimana kabar kamu?" Sapa Rara agak canggung.
Syani tersenyum tipis mencoba tak menampakkan raut getirnya.
"Udah mendingan, makasih udah mau jenguk." Balas Syani.
Rara membalas dengan senyum tulus. Seperti itulah Rara, gadis kecil yang selalu tulus dan ceria, namun berubah tegas dan berani saat membantu dan membela orang lain jika terjadi perudungan di depan matanya."Nanti kalau udah masuk sekolah aku buatin bekal untuk kamu ya, aku udah bisa masak loh dikit-dikit diajarin ibu." Rara menyengir sambil memandang Syara.
Reflek Syara mengelus kepala gadis itu tanpa menyadarinya mata Syani menatap nanar kearah mereka. Mungkinkah ini karma. Secepat ini. Batin Syani bergolak.
"Cepat sembuh ya Syan. Kata ibu, kamu suka apel sama pir, jadi om beliin itu aja, semoga dokter gak ngelarang kamu makan itu ya." Bagas memandangi Syani tulus.
Yah Bagas dan Rara adalah sepasang orang tua dan anak dengan sifat yang istimewa dimata Syani. Dia menatap Bagas tertegun. Ayahnya saja tak tahu dengan apa yang dia suka, sedangkan Bagas orang luar yang masih berstatus calon ayah langsung mencari tahu apa yang ia suka. Syani terharu. Ditambah kali ini Bagas mengelus puncak kepala Syani. Tanpa Syani sadari Bagas paham akan raut sedihnya saat melihat Syara mengelus Rara tadi, jadi dia spontan melakukannya itu untuk Syani.
Syani kaget dan hatinya terasa hangat oleh sentuhan itu. Sentuhan itu terasa berbeda dengan sentuhan ayahnya.
"Maaf, kamu gak suka ya om kayak gini."
Syani menggeleng cepat, "gak kok om. Aku cuma kaget aja bukan gak suka."
Syara mengalihkan pandangan nya kearah Bagas dan Syani. Setelah dua bulan tak bertemu, akhirnya ia bisa melihat langsung dan mendengar suara Syani. Hatinya menghangat melihat interaksi keduanya. Syara semakin yakin dengan keputusan nya.
Hingga kedatangan Jakra membuat mereka refleks menghentikan aktivitas itu. Mendapat tatapan dari beberapa pasang mata bersamaan itu terasa aneh bagi Jakra. Hingga matanya menatap kearah laki-laki yang pernah dilihatnya bersama Syara di sebuah kafe entah berapa minggu lalu. Laki-laki yang membuat Syara tersenyum manis. Jakra yang dari awal tak suka dengan laki-laki itu jadi tambah tak suka saat melihat Syani tampak nyaman berada didekatnya.
Tunggu sebentar, siapa laki-laki ini dan anak perempuan yang juga tampak nyaman berada didekat Syani. Mengapa aura keluarga bahagia menguar jelas dihadapannya. Ini menyilaukan, membuat hatinya merasa tak suka, karena ia tak ingin melihat Syara dan Syani bahagia dengan lelaki lain selain dirinya. Pecundang, egois dan brengsek, mungkin itu kata yang tepat untuknya. Jakra tak peduli, tapi sebelum itu ia harus memastikan satu hal.
"Maaf anda siapa ya?" Tanya Jakra menekan egonya dengan pura-pura sopan.
Bisa saja laki-laki itu ayah temannya Syani yang dipaksa anaknya menjenguk temannya bukan, atau tetangga mereka yang memang berhati mulia, bisa saja dia sudah berkeluarga. Ia tak boleh langsung berpikiran buruk.
"Kenalkan saya Bagas, calon suami Syara dan ayah sambung Syani." Jawab Bagas telak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menukar Hidup
ChickLitTak selamanya kalimat tak apa hidup sederhana asal bahagia itu relevan dengan yang Syara rasakan. Karena nyatanya sang anak lebih memilih kemewahan daripada kesederhanaan. Meski anaknya tahu, bahwa lelaki yang mengaku ayah itu telah mencampakkan dan...