Dua puluh enam

3.9K 416 19
                                    

Setelah melalu proses yang cukup panjang akhirnya Jakra kembali menyandang status duda untuk kedua kalinya. Ia tak bisa menjabarkan apa yang dirasakannya saat ini. Ada perasaan lega, sedih dan menyesal. Tidak ia bukannya sedih dan menyesal telah bercerai dari Artika, lebih kepada menyesali kebodohannya di masa lalu hingga kini.

Jakra sudah tak ingin berandai-andai, karena ia sudah lelah dengan angan kosong yang tak mungkin jadi nyata. Kini ia hanya ingin fokus merawat dan membesarkan dua anaknya. Anak dari rahim dua wanita yang berbeda. Menikah lagi sudah tak ada dalam pikirannya, jikapun harus menikah ia hanya ingin Isyara yang jadi istrinya, tidak yang lain.

Ia ingin membahagiakan Syara, melimpahi dengan kasih sayang, perhatian dan harta. Karena hal itu tak pernah ia lakukan saat mereka masih berstatus suami istri dulu. Namun sudah ada yang membahagiakan Syara saat ini, jadi ia tak mungkin melakukan itu.

"Mas.."

Suara ketukan pelan di kaca mobil, membuat Jakra tersadar bahwa ia sudah melamun cukup lama di dalam mobilnya. Segera Jakra membuka kaca mobilnya.

"Ada apa Tika?"

Artika, wanita itu beberapa bulan belakangan ini tampak kurusan, hanya itu saja, karena tak ada yang berubah dari penampilannya. Yah harta gono-gini dan uang tunjangan yang diberikan Jakra lebih dari cukup untuk memenuhi gaya hidup mewahnya beberapa tahun kedepan tanpa perlu bekerja, atau sampai wanita itu tua mungkin jika ia mau hidup sederhana.

"Bisa kita ngobrol sebentar?"

Artika ingin sekali mengobrol baik dengan Jakra, mungkin untuk terakhir kalinya, sebenarnya sudah lama Artika ingin melaksanakan niatnya itu, tapi setiap habis sidang Jakra selalu langsung bergegas pergi tanpa bisa ia kejar.

"Untuk a.."

"Aku mohon Mas, sebentar saja."

"Jika soal uang tunjangan aku tidak akan..."

"Bukan, bukan tentang itu."

"Oke, aku tunggu Esspreso."

Tanpa basa-basi Jakra langsung meninggalkannya. Tidak Artika tidak butuh tumpangan karena ia juga membawa mobil sendiri, pemberian Jakra dulu. Tapi hatinya terasa sakit diperlakukan seperti orang jahat oleh mantan suaminya itu.

Segelas americano dan caramel macchiato tersaji di hadapan mereka. Jakra terus menatapnya malas, sementara Artika terus meremas tangannya, menguatkan dirinya yang tiba-tiba merasa gugup.

"Aku mau minta maaf.."

"Sudah aku maafkan." Sambar Jakra.

"Mas.."

"Apa?"

"Kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini Mas? Apa salah aku sampai kamu benci begitu? Jika itu soal perpisahan kamu dengan Isyara, itu kesalahan kita berdua, bukan cuma aku. Lagipula harusnya dari awal menikah kamu benci aku karena perpisahan kalian, bukan sekarang." Ujar Artika berapi-api.

"Aku bukan membenci kamu, tapi aku membenci diri aku sendiri. Setiap melihat wajahmu aku langsung terbayang kebodohan ku di masa lalu. Maaf jika buat kamu salah paham."

"Jadi memilih aku itu kebodohan?"

Hanya seringai tipis yang di tampilkan Jakra menganggapi pertanyaan Artika.

"Jadi apa yang ingin kamu bicarakan? Kamu bukan ingin ngajak bertengkar kan saat ini?"

"Aku cuma mau kasi tahu Mas kalau aku akan berubah, jadi jika suatu saat Gerry memutuskan untuk hidup bersamaku tolong jangan dihalangi."

"Yah, jika Gerry sudah dewasa nanti dia berhak memutuskan hidupnya sendiri." Tanggap Jakra bijak.

"Dan jika aku sudah berubah menjadi lebih baik nanti tolong jangan minta rujuk padaku karena pasti aku tolak." Ucap Artika dengan sangat yakin.

Jakra tertawa keras mendengar penuturan penuh percaya diri Artika tadi. Rujuk dengan Artika sama sekali tidak ada dalam daftar hidupnya. Sebaik apapun wanita itu nanti, ia hanya akan menjadi bagian pahit hidupnya.

"Pasti, aku bahkan berani berjanji padamu soal itu. Kamu tahu kan kalau aku ini lelaki yang tak pernah ingkar janji Tika."

Deg..

Jantung Artika serasa diremas kuat. Bukan seperti itu niatnya mengucapkan kalimat tadi. Ia hanya ingin Jakra berpikir bahwa ia juga bisa berubah menjadi wanita baik, dan berharap Jakra sedikit menyesal dengan kalimat itu. Nyatanya jawaban Jakra malah kembali melukai hatinya.

Artika bahkan sudah menuliskan semua rencananya untuk menjadi wanita baik. Ia sudah bertekad untuk berubah. Demi bisa menarik Gerry ke sisinya, lalu setelah itu Jakra. Artika masih tak ingin melepas Jakra, ia hanya menganggap ini bagian ujian kehidupan untuk mempersatukan mereka kembali.

"Jangan terlalu yakin Mas. Buktinya sekarang Mas menyesal setelah lihat Isyara berubah lebih baik, bukan tak mungkin Mas menyesal nanti melihat aku berubah lebih baik."

Jakra hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ucapan mantan istrinya itu.

"Percaya diri kamu gak pernah hilang ya, dulu aku suka dengan itu, tergila-gila mungkin, tapi sekarang rasanya menggelikan. Kamu tahu perbedaan kamu dengan Syara? Syara itu wanita yang sabar, baik dan penyayang sedari awal kami berpacaran dulu. Ia tak banyak berubah, karena memang tak perlu. Dan itulah yang membuat aku menyesal kenapa baru sekarang menyadarinya. Kenapa aku menyia-nyiakan wanita sebaik itu untuk mendapatkan..." Jakra menghentikan ucapannya, karena ia tahu perkataannya itu akan menyinggung perasaan wanita di hadapannya itu. Jadilah ia hanya menatap tajam Artika tanpa berniat melanjutkan perkataannya.

"Ya ya, aku memang tak sebaik Isyara sekarang, tapi kedepannya siapa yang tahu. Aku juga punya banyak kelebihannya yang aku tahan saat berumah tangga dengan kamu Mas." Kembali dengan tingkat kepercayaan diri Artika yang tinggi, ia terus menyombongkan hal yang belum jelas kebenaran. Hanya saja Artika tak suka direndahkan oleh Jakra terus menerus seperti ini.

"Aku menunggu saat itu terjadi. Aku harap apa yang kamu ucapkan hari ini bukan sekedar bualan atau omong kosong Tika, karena ucapan inilah yang akan menunjukkan kualitas dirimu di masa depan." Tanggap Jakra sambil meneguk americano-nya.

Artika menelan ludah getir, ia terlalu percaya diri. Jangan sampai ia lebih dulu menyerah sebelum membuktikan ucapannya kepada mantan suaminya itu. Sifatnya yang suka menganggap dirinya lebih inferior dibanding orang lain itu, tak akan semudah itu hilang. Ia tak suka disamakan, apalagi dibandingkan.

"Mas lihat aja nanti." Ucap Artika penuh keyakinan.

*****

"Hai Ger?"

"Oh hai Ra, udah pulang? Mana Syani?"

Rara, segera mendekati Gerry begitu melihat remaja lelaki itu sedang duduk di ruang keluarganya sambil memegang buku yang sepertinya tak dibaca. Rara mengerti jika bagaimanapun juga perpisahan kedua orangtuanya akan menimbulkan rasa sedih. Walau hubungan antara Gerry dan sang Bunda tidak terlalu akrab, tapi yang namanya ikatan darah tak ada yang tahu.

"Syani ikut les dulu, jadi dia agak siangan mungkin pulangnya, Ibu masak apa ya, laper banget. Eh iya kami udah makan?" Cerosos Rara, gadis itu sengaja mengajakku berbicara agar bisa membuat Gerry sedikit melupakan rasa sedihnya.

"Belum, gak laper."

"Ya udah yuk makan sama-sama, biar dikit tetep harus makan Ger, belajar itu menguras otak dan energi. Kapan kamu bisa nambah tinggi kalau makannya dikit terus habis cuma buat berpikir." Bujuk Rara setengah memaksa.

Tak bisa menolak akhirnya Gerry mengikuti Rara ke meja makan walau sebenarnya ia tak ada selera. Wajah sumringah merekah di wajah Rara saat melihat cah kangkung pedas kesukaannya terletak di atas meja. Setelah mencuci tangan dan mengambil dua piring untuk mereka, Rara dengan bersemangat mengambil nasi dan lauk pauk. Menyantapnya menggunakan tangan kanan. Gerry yang sudah biasa melihat itu hanya bisa menggelengkan kepala. Sesederhana itu bahagia buat seorang Rara.

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang