Dua Puluh

4.6K 460 48
                                    

Tepat pukul setengah sembilan malam, tiga orang yang ditunggu Artika itu akhirnya sampai. Syani dan Gerry tampak segar dengan baju rumahan. Sedang Jakra masih mengenakan kemeja dan celananya tadi pagi, hanya saja bajunya tampak sedikit berantakan dengan lengan yang sudah tergulung sesiku, tak serapi biasanya saat lelaki itu pulang kerja.

Jakra menenteng dua kotak kue dibelakang anaknya. Artika jadi terharu, ternyata Jakra membelikan ia kue sebagai ucapan maaf akan keterlambatan mereka dan tak menanggapi teleponnya.

"Baru pulang mas?" Artika menyambut mereka bertiga.

Senyum di wajah ketiganya langsung hilang saat ia menghampiri. Hati Artika mencelos, apa begitu tak menyenangkan kah dirinya sehingga mereka enggan membagi senyum itu padanya.

"Iya, maaf kami agak terlambat. Tadi makan malam di rumah Syara dulu, kasian dia semingguan ini tinggal di rumah berdua dengan Rara." Jawab Jakra.

"Bertiga yah, sama Arkan." Celetuk Gerry.

Yang langsung ditanggapi kekehan oleh ketiganya. Hanya Artika yang terdiam, hatinya terasa nyeri saat mendengar itu. Gerry dan Syani ingin langsung pamit kekamar, tubuh mereka terasa lelah dan mengantuk.

"Mas bawa apa itu?" Artika mencoba mengalihkan pembicaraan dengan melihat bawaan Jakra.

"Oh iya, ini buat Syani dan Gerry. Tadi aku beli pas belanja sama ibunya Syani." Jawab Jakra santai.

Jantung Artika serasa turun ke bawah, hatinya sakit saat mendengar Jakra dengan santainya bercerita bahwa ia habis berbelanja bersama Syara. Sudah sedekat apa memangnya mereka sekarang, bukankah Jakra kemarin sudah kecewa karena Syara sudah punya anak dari suaminya itu.

"Kirain Ibu dan Rara aja yang dapat taunya kita juga. Makasih yah, tau aja aku suka matcha." Ucap Syani tersenyum sumringah menerima kotak kue itu.

"Makasih black forest nya yah." Timpal Gerry.

Dengan segera dua anak itu meninggalkan Jakra dan Artika. Lalu masuk ke kamarnya masing-masing setelah menaruh kue pemberian Jakra ke kulkas. Tak lupa masing-masing dari mereka membawa piring kecil berisi potongan kue yang Jakra berikan tadi.

"Jangan lupa gosok gigi sebelum tidur." Teriak Jakra yang di acungi jempol oleh keduanya.

"Mas gak beliin sesuatu buat aku sebagai permintaan maaf?" Pancing Artika sambil menekan emosi nya.

Ia berharap suaminya itu masih menyimpan satu kejutan untuknya.

"Gak ada Tika, kamu makan ajalah kuenya anak-anak, kan kamu juga gak suka makan yang manis-manis karena jaga penampilan. Dan kenapa juga aku harus minta maaf, memang ada yang salah. Udah ah aku capek mau mandi lalu langsung tidur." Jawab Jakra cuek.

Lalu langsung bergerak meninggalkan Artika yang ternganga sendirian. Dadanya terasa sakit luar biasa, karena rasanya keberadaan dirinya semakin hari semakin diabaikan, terutama belakangan ini. Disaat Syara di ajak belanja dan dibelikan sesuatu. Ia bahkan tak diberikan apa-apa, bahkan entah kapan ia pernah belanja berdua dengan Jakra.

Artika mencoba mengingat ingat, pernahkah mereka berbelanja bersama. Ah iya pernah satu atau dua kali, saat awal-awal menikah dulu, sudah sangat lama sekali. Bahkan terakhir kali Jakra memberinya sesuatu pun saat awal menikah dulu. Karena Artika sering protes dengan selera Jakra yang tak sesuai dengannya. Setelah itu Jakra hanya memberikan kartu kredit guna memenuhi nafsu belanjanya yang gila.

Setitik air mata mengalir di pipinya, sesakit ini rasanya diabaikan oleh suami dan anak. Sudah terlambat kah ia jika ingin memperbaiki semuanya. Tak ingin terlena, Artika segera memanggil mbok Inah, meminta makanan di atas meja dikemas. Nafsu makan Artika seketika menguap malam ini.

"Kenapa aku gak dibelikan apa apa Mas? Aku cemburu tau kamu beliin Isyara kue sedangkan aku enggak." Ucap Artika sedikit merajuk saat mereka berbaring diatas ranjang.

"Kamu tahu kue apa yang aku beli? Lapis Surabaya, kamu gak mungkin lupa kan dulu aku menolak keinginan Syara saat minta dibelikan kue itu. Waktu itu aku sama kamu lagi makan malam berdua, sementara dia menunggu aku sendirian di rumah tanpa kabar. Aku ingin menebus kesalahanku waktu itu, karena itu aku membelikan kue yang pernah diinginkannya meski tertunda sangat lama." Jelas Jakra menekan emosinya.

Artika terdiam ia tak mungkin lupa saat itu. Karena dialah yang meminta Jakra menemaninya makan di restoran mewah saat itu, bahkan mengabaikan Syara. Sakit ternyata rasanya merasakan apa yang Isyara rasakan saat itu. Tidak ini masih bukan apa apa, dia lebih kuat dari Syara, jadi ia tak boleh segampang ini terbawa perasaan kecewa. Lagipula tak mungkin mereka akan balikan bukan, karena Syara memiliki suami yang sangat menyayangi dan mencintainya, jangan lupa dengan bayi mungil yang setahun ini melengkapi kebahagiaan mereka.

"Lain kali kabari aku ya Mas kalau pulang terlambat." Artika mencoba mengalahkan.

Jakra hanya menggumam menjawab perkataan Artika, tubuhnya terasa lebih lelah. Apalagi setelah mengingat kejahatannya dulu. Entah kenapa ia bisa sebegitu mudahnya berpaling. Tak ingin lebih lanjut mengutuk diri, Jakra memutuskan tidur memiringkan tubuh membelakangi sang istri yang setia memperhatikannya dari tadi.

Artika mencium pipi Jakra sebelum memejamkan mata. Ada setitik harapan Jakra akan membalas ciumannya, namun sayangnya ia tak mendapatkan itu. Boro-boro Jakra membalas, membalikkan tubuh kearah nya saja Jakra enggan.

Entah sampai kapan ranjang mereka kembali dingin seperti ini. Dulu Jakra sempat kembali bersikap sedikit hangat, tepatnya saat Isyara hamil hingga beberapa bulan sehabis melahirkan. Mereka bahkan sempat beberapa kali berhubungan intim. Dulu Artika menduga Jakra ingin memperbaiki hubungan pernikahan mereka, namun sayangnya itu tak bertahan lama dan perlakuan Jakra padanya kembali seperti semula. Entah apa yang salah.

Bukannya Artika tak pernah curiga, apalagi memikirkan kemungkinan suaminya memiliki wanita lain atau main serong, karena tak mungkin rasanya ada lelaki yang tahan tak melampiaskan hasrat primitifnya. Hingga akhirnya Artika sempat menguntit sang suami selama satu bulan penuh untuk menemukan bukti itu, namun sayangnya suaminya bersih, semua dugaan itu tak terbukti sedikitpun.

Dan bodohnya pengintaiannya malah tertangkap oleh Jakra sendiri. Tidak Jakra tak marah ataupun mengamuk seperti yang ia duga. Jakra hanya tersenyum sinis dan bersifat skeptis, sambil mengatakan

"Takut ya kamu akan bernasib sama seperti Isyara."

Setelah itu Artika menghentikan kegiatan menguntitnya, tak ada gunanya. Lagipula dia sudah tertangkap basah juga, jadi tak ada alasan untuk melanjutkan kegiatan sia-sia itu. Namun sayangnya sejak saat itu, Jakra semakin bersikap dingin kepadanya. Bahkan permintaan maaf dan penjelasannya pun tak banyak merubah kondisi mereka.

Bukannya Artika tak ingin memiliki rumah tangga yang hangat, namun kesibukannya merawat dan mempercantik diri dari awal menikah dulu membuatnya abai akan tugas dan tanggung jawab seorang istri dan ibu. Ia takut Jakra berpaling mengingat dirinyalah yang membuat Jakra berpaling dari istrinya dulu.

Jadilah sekarang ia pasrah sambil menguatkan diri untuk terus mempertahankan pernikahan mereka sampai maut memisahkan.
____________________

Semoga suka.. ☺️

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang